"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Sama Saya
Kantin Nuswantara Properti siang itu cukup ramai. Deretan meja dan kursi hampir penuh oleh para karyawan yang sedang menikmati makan siang. Tak terkecuali Indira dan Revan yang duduk di sudut dekat jendela kaca besar. Dari sana, mereka bisa melihat suasana luar gedung yang terik diterpa matahari.
Revan menaruh nampan berisi seporsi ayam lada hitam dan segelas es lemon tea di depan Indira. "Cuma ini yang tersisa di counter. Saya ambilin ini aja, ya."
Indira tersenyum sopan. "Gak apa-apa, Pak. Makasih, ya."
Gerakan tangan Revan berhenti sejenak. Bibirnya mengeluarkan decakan pelan sambil melirik Indira. "Udah berapa kali saya bilang, gak usah panggil 'Pak' kalau di luar kerjaan. Panggil Revan aja," ujarnya santai sambil duduk di hadapan Indira.
Wanita itu hanya terkekeh ringan sambil mengusap leher yang tak gatal. "O-oke, R-Revan." Jujur saya, ia tak terbiasa memanggil Revan tanpa embel-embel 'Pak'. Rasanya kurang nyaman.
Obrolan mereka berlangsung santai. Sesekali diselingi tawa kecil saat keduanya saling lempar candaan soal pekerjaan. Revan yang memang dikenal sebagai atasan yang ramah, tampak begitu menikmati percakapan itu. Ia bahkan tak ragu memuji ide-ide brilian Indira terkait strategi promosi Cluster Alam Raya yang belum lama ini dipresentasikan di forum kecil internal mereka.
"Kamu tuh, ya ... harusnya udah pegang posisi manajer pemasaran dari dulu. Ide-ide kamu segar dan selalu berhasil menerobos pasar," puji Revan dengan tulus.
Indira menggeleng cepat dengan senyum tertahan. "Aduh, belum, deh. Itu posisi ketinggian. Saya belum sanggup."
Sementara itu, tak jauh dari meja mereka, Rada dan Rendi baru saja duduk sambil meletakkan makanan.
Sejujurnya, Rada merasa tak nyaman dan tidak bebas karena Rendi ikut serta. Namun, ia tak bisa mengusir atau melarang sebab takut pria itu curiga.
Rada duduk dengan pandangan lurus ke depan. Lebih tepatnya ke arah Indira dan Revan yang tengah makan bersama. Ia berusaha bersikap tenang meski matanya tetap saja tajam.
Lagipula, suami mana yang senang melihat istrinya makan siang dengan pria lain?
"Kenapa, Rad?" tanya Rendi penasaran, sebab sejak tadi Rada terus menatap ke depan.
"Gak apa-apa," jawab Rada singkat. Ia mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut. Namun, pikiran dan hatinya tetap saja kalut.
"Udah lama banget baru lihat lagi Pak Revan sama Indira makan siang bareng. Itu kalau Adnan lihat, cemburu gak, ya?"
Sial!
Rada seketika mengepalkan tangan dalam diam. Lagi-lagi nama Adnan yang disebut sebagai suami Indira.
"Kalau aku jadi A—"
"Makan, Ren. Waktu gak berhenti selama kamu ngomong," potong Rada. Malas sekali ia mendengar nama pengkhianat itu kembali disebut.
Rendi berdecak. Meski begitu, ia tetap mengikuti ucapan Rada untuk lanjut makan tanpa bicara. Benar juga. Jika tiba-tiba waktu istirahat sudah habis dan perutnya belum terisi penuh, kan, bahaya!
Sembari menikmati makan siang, Rendi sesekali melirik Rada yang tampak makin intens memandang meja Indira dan Revan. Sungguh ia jadi makin penasaran.
"Rad?"
"Hem."
"Kamu suka sama Indira?"
Bungkam. Mulut Rada seketika terkunci setelah mendapat pertanyaan itu dari Rendi.
"Gak apa-apa, jujur aja. Saya gak akan bilang ke siapa pun." Percayalah, Rendi bisa memegang ucapannya.
Akan tetapi, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Rada. Pria itu hanya menunduk sebentar, lalu menyendok makanannya perlahan.
Di meja seberang, Revan baru saja menyeka mulutnya dengan tisu. Ia menatap Indira dengan raut serius, tetapi tetap hangat.
"Tadi pagi aku ngobrol sebentar sama Kepala Divisi Pemasaran. Katanya kamu bantu banget dalam penyusunan materi promosi Cluster Alam Raya."
Indira tersenyum kecil. "Ah, gak juga. Saya cuma kerjain tugas aja. Lagian itu gak dikerjain sendiri. Ada Rumi juga."
Revan terkekeh pelan. "Kamu tuh selalu merendah, ya. Tapi bagus kok, saya suka."
Indira terdiam sejenak setelah 2 kata terakhir meluncur dari bibir Revan. Mengapa terdengar ambigu di telinganya?
Ucapan itu memang terdengar tulus, tapi ada sesuatu dalam intonasinya yang membuat Indira merasa canggung.
Wanita itu berdeham sejenak sembari menyesap lemon tea miliknya. Ia tak menanggapi lagi ucapan Revan dan memilih memantau sekeliling. Namun, jantungnya tiba-tiba berdegup tak karuan kala matanya bertabrakan dengan sepasang mata tajam milik Rada.
'Dia ada di sini juga?' batin Indira resah. Jangan sampai Rada salah paham padanya.
Indira buru-buru mengalihkan pandangan. Kemudian, meletakkan gelas berisi es lemon tea miliknya dan bersiap untuk bangkit.
"Makasih makan siangnya, ya. Saya balik dulu. Jam istirahatnya udah mau habis."
Revan segera ikut bangkit. "Sama-sama. Nanti kalau kamu mau, kita bisa lunch bareng lagi."
Indira hanya tersenyum tipis, lalu segera melangkahkan kaki. Ia ingin keluar dari kantin ini dalam keadaan sendiri. Namun, saat belum jauh melangkah, pertanyaan dari Revan berhasil menghentikan gerakan kakinya secara paksa.
"Kamu ke kantor naik busway, kan? Nanti pulang bareng saya aja gimana?"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'