Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Peperangan
Benua Barat.
Langit malam di atas Kepulauan Anluo telah berubah menjadi kelam tanpa bintang. Kabut ungu kehitaman melayang-layang di udara, meresap ke tulang, seperti napas kematian yang membayang. Seluruh pulau diselimuti aroma darah dan abu, menandakan bahwa perang tak lagi dapat dielakkan. Kilatan cahaya samar-samar menghiasi cakrawala yang dilanda badai spiritual, dan suara rintihan tanah yang hancur menggema tanpa henti.
Boom!
Sebuah suara ledakan besar mengguncang tanah. Daratan retak, bebatuan mengambang di udara sebelum tercerai berai oleh semburan energi kegelapan. Gelombang kejut menyapu seluruh pulau, menerbangkan reruntuhan bangunan dan tubuh-tubuh tak bernyawa.
"Aaargh!" jeritan manusia terdengar memilukan.
Bayangan hitam raksasa berdiri di kejauhan, dengan dua tanduk melengkung yang seolah menusuk langit. Tubuhnya diselimuti lapisan baja gelap bersisik, dan dari punggungnya menjulang sayap tulang hitam yang mengepak pelan, namun cukup untuk membuat langit terbelah. Di balik topeng tanduk tajam yang menutupi wajahnya, dua mata merah menyala bagai bara neraka, mengawasi semua dari ketinggian seolah dirinya adalah takdir itu sendiri.
Itulah Peng Shao — Kaisar Agung Kegelapan Mutlak.
Setiap langkahnya menciptakan lubang kehampaan di tanah. Di belakangnya, jutaan pasukan siluman dengan berbagai bentuk menjijikkan membanjiri daratan, menyapu seluruh pertahanan manusia seperti badai tak terbendung. Jeritan dan gemuruh pertempuran bercampur menjadi simfoni kematian. Api ungu membakar menara penjaga, dan formasi spiritual terakhir pun runtuh di bawah tekanan kehendaknya.
Di puncak sebuah tebing terjal, berdiri dua belas sosok bercahaya. Tubuh mereka berlumuran luka, pakaian compang-camping, tapi aura dari setiap sosok membelah angin, seolah masih sanggup melawan takdir itu sendiri.
Masing-masing dari mereka adalah pilar kekuatan umat manusia di benua barat. Martial Sovereign puncak — orang-orang yang telah mengabdikan hidup mereka untuk mempertahankan tanah kelahiran dari kehancuran. Teman, saudara, dan guru. Kini, mereka berdiri di ujung dunia, menghadapi kehancuran yang nyata.
"Pergilah, Muzhao!" teriak seorang pria tua berjubah emas dengan separuh wajahnya terbakar. Suaranya menembus ledakan dan raungan.
"Aku tidak akan meninggalkan kalian di sini!" jawab Duan Muzhao, darah menetes dari pelipisnya, suaranya dipenuhi amarah dan kepedihan.
"Ada hal yang lebih penting. Dunia harus tahu bahwa Kegelapan Mutlak telah muncul. Hanya kau yang bisa menyampaikannya!" teriak yang lain, suara perempuan paruh baya dengan mata yang bersinar dengan api surgawi.
Langit kembali bergetar. Sebuah tombak hitam sebesar gunung meluncur dari langit, menabrak pertahanan spiritual terakhir. Cahaya runtuh. Tanah mencair. Tubuh-tubuh berhamburan.
Boom!
Duan Muzhao nyaris terpental, namun salah satu pilar melompat, menahannya dengan satu tangan, lalu menghantam tanah membentuk lingkaran teleportasi kuno di bawah kakinya.
“Kalau kau mati di sini, maka tidak ada lagi harapan!” teriaknya, lalu dengan segenap kekuatan spiritual, melempar tubuh Duan Muzhao ke dalam formasi.
Cahaya putih menyelimuti tubuhnya saat ia terlempar ke dalam pusaran ruang, dan untuk sesaat dunia menjadi diam. Dari kejauhan, tatapan Peng Shao mengarah langsung ke titik itu, dua mata kegelapan menembus lapisan ruang.
Sebelum formasi itu runtuh, Duan Muzhao sempat melihat sahabat-sahabatnya menantang langit. Tubuh mereka terbakar, namun tetap berdiri.
Ledakan terakhir mengguncang langit.
Boom!
Lalu... hening.
***
Pagi itu, cahaya mentari belum sepenuhnya menembus kabut di atas Lautan Utara. Di balik dinding kristal yang menyusun ruang pertemuan utama Istana Sayap Kebebasan, aroma teh spiritual menguar samar. Sepuluh tetua dengan jubah perak duduk dalam formasi setengah lingkaran, sementara di ujung meja bundar itu, Ming Rui dan Rong Fan duduk berdampingan. Zhang Wei hadir pula di sisi kanan mereka, diam dan menyimak, tubuhnya masih menyimpan luka dalam akibat pertarungan dengan Kui, sang pewaris kehendak Dewa Siluman. Sisa-sisa kehancuran Alam Qianlong masih membekas dalam pikirannya—sebuah bencana yang tak pernah mereka duga akan menghapus satu dunia kecil hanya karena duel dua entitas muda.
Ming Rui menatap layar kristal transparan yang menggantung di tengah meja. Dua hari yang lalu, langit di seluruh dunia memperlihatkan kemunculan nama baru—Peng Shao, yang terukir dengan warna gelap dan berkedip dalam tekanan spiritual yang tidak bisa dijelaskan. Dunia mengguncang, namun tidak ada yang benar-benar tahu dari mana kekuatan itu berasal. Kecuali satu petunjuk: Benua Barat. Tempat yang telah lama tertutup kabar, tak ada interaksi sejak kejatuhan Kaisar Agung Pasir Emas sekitar 4700 tahun lalu.
“Dunia telah lama melupakan Benua Barat,” ucap Ming Rui perlahan, tangannya menyentuh permukaan meja. “Tapi dunia tidak bisa mengabaikan suara langit. Nama itu muncul dengan kekuatan yang bukan dari hukum manusia biasa.”
Rong Fan menyambung, nada suaranya tenang namun berlapis beban keputusan. “Masalahnya, kita tidak tahu apakah kemunculan Peng Shao adalah bentuk permulaan bencana atau kelahiran kultivator ekstrem dari Benua Barat. Selama ini tak ada kontak sedikit pun dari sana. Apakah dia ancaman bagi Benua Tengah dan dunia… itu pertanyaan yang harus kita jawab sebelum terlambat.”
Salah satu tetua, seorang pria berjanggut kelabu dengan mata tajam, membuka suara. “Kita bisa kirimkan para pengamat roh untuk menyusup ke benua barat. Kalau Peng Shao benar-benar bergerak, akan ada pergeseran energi spiritual di garis isolasi itu. Kita hanya perlu mendeteksi riaknya.”
Tetua lain mengangguk. “Tapi kita tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dua hari ini, kekuatan siar dari namanya belum pudar. Seolah langit sedang memberi tanda bahwa ia telah mencapai kedudukan tertinggi.”
Ming Rui menatap Rong Fan. “Jika dia benar ancaman, maka ini bukan sekadar tugas bagi kita saja. Dunia harus bersatu sebelum gelombang besar menghantam.”
Rong Fan mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Namun kita tak bisa bertindak gegabah. Informasi yang kita miliki terlalu sedikit. Satu hal yang pasti, kita butuh satu orang lagi yang mampu menembus Deific Realm sesegera mungkin untuk menghadapi segala kemungkinan.”
Mata para tetua bergerak ke arah Zhang Wei, yang meski duduk tenang, auranya masih belum sepenuhnya pulih. Rong Fan meliriknya sebentar, lalu berkata, “Sayangnya, buah Dao yang menjadi satu-satunya kunci untuk menerobos batas manusia telah lenyap bersama runtuhnya Alam Qianlong. Kita kehilangan peluang besar saat itu.”
-//Catatan : Buah Dao ini mirip dengan Buah Bencana, hanya saja di khususkan untuk ras manusia. Sementara buah bencana dikhususkan untuk ras monster, iblis dan siluman.//-
Beberapa wajah menunjukkan penyesalan. Pohon Dao Suci hanya tumbuh di wilayah tertentu dan membutuhkan ribuan tahun untuk menghasilkan satu buah. Buah Dao bukan sekadar sumber kekuatan, melainkan kunci spiritual untuk menghancurkan batas tubuh fana dan menyentuh hukum suci yang hanya bisa diakses oleh makhluk di atas Martial Sovereign.
Brakk!!!
Belum sempat pembahasan itu berlanjut lebih dalam, seorang prajurit pengintai berlutut di ambang pintu, wajahnya tegang.
“Lapor! Kami menemukan seorang lelaki dalam kondisi sekarat di pesisir barat laut. Berdasarkan teknik penyegelan yang menyelimuti tubuhnya, besar kemungkinan dia berasal dari Benua Barat!”
Ruangan seketika sunyi. Ming Rui bangkit, matanya menyipit tajam. “Apa dia masih hidup?”
“Masih, Tuan. Tapi denyut rohnya sangat lemah. Kami membawanya ke ruang pengobatan tingkat tinggi.”
Ming Rui dan Rong Fan bertukar pandang, lalu menoleh ke arah Zhang Wei. Pendekar muda itu masih diam, namun dalam tatapannya, ada seberkas kilau tajam yang seolah baru saja kembali dari kedalaman kehancuran.
“Jika dia benar-benar berasal dari Benua Barat,” gumam Rong Fan pelan, “maka teka-teki ini mungkin segera menemukan jawabannya.”