NovelToon NovelToon
The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Mata-mata/Agen
Popularitas:288
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.

Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.

Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di mata mereka kita asing

Langkah para prajurit makin dekat. Tanah bergetar tiap kali mereka bergerak. Tidak satu pun dari mereka bicara, tapi sorot mata dari balik helm itu cukup untuk membuat siapa pun merasa kecil.

Yuni mengencangkan rahangnya. Satu tangan pelan menarik belati dari sisi kakinya. Gerakannya nyaris tak terdengar. Ia tak suka situasi seperti ini—dikepung, tak tahu medan, dan terlalu banyak ketidakjelasan. Di benaknya, yang paling logis sekarang hanya satu hal: serang duluan, sisanya nanti.

Tapi sebelum belatinya bisa meluncur, satu tangan menahan pergelangannya.

Dira.

“Jangan,” bisiknya. “Kita bukan di markas. Kita di rumah orang.”

Yuni menatapnya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap Dira paham—Yuni siap bertarung kapan pun. Tapi kali ini bukan waktunya.

Pemimpin pasukan itu melangkah satu langkah ke depan. Jubah biru tuanya berkibar ringan tertiup angin laut.

“Kalian belum menjawab,” ucapnya pelan. “Kalian bukan berasal dari wilayah mana pun yang dikenal oleh Terra. Nama yang kalian sebut… tidak tercatat dalam Pustaka Batas.”

Dira menarik napas. Tenggorokannya terasa kering. Tapi dia tahu, kalau mereka mau selamat, seseorang harus bicara.

Dan itu tugasnya.

Ia maju perlahan, satu langkah di depan timnya, lalu menatap pria itu. Meski jantungnya berdebar, Dira menahan wajahnya tetap tenang.

“Kami… bukan musuh,” ucap Dira. “Kami berasal dari benua lain. Dunia kami menyebutnya Asia. Dan kami berasal dari negara bernama Indonesia.”

Tak ada reaksi dari sang pemimpin.

Dira melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, “Kami datang ke sini karena ada ancaman besar yang menyerang negara kami… sebuah organisasi rahasia bernama Zwarte Sol. Mereka membangkitkan kekuatan gelap yang… kami belum sepenuhnya mengerti. Tapi itu bisa menghancurkan lebih dari satu dunia.”

Mata pemimpin itu menyipit. Masih tanpa ekspresi.

“Dari informasi yang kami temukan,” lanjut Dira, “benua ini menyimpan sebuah artefak penting. Dan kami percaya artefak itu… bisa membantu menyegel kekuatan gelap yang akan bangkit. Kami tidak datang untuk menyerang. Kami cuma ingin… memahami. Dan mungkin, kalau kalian bersedia, bekerja sama.”

Sunyi.

Angin mengalir pelan lewat sela-sela pepohonan. Satu daun jatuh, melayang, lalu menyentuh tanah.

Pemimpin pasukan itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Dira, lama.

Lalu ia bicara.

“Satu: kami tidak mengenal Asia. Dua: kami tidak mengenal Indonesia. Tiga: kami tidak tahu apa itu Zwarte Sol.”

Nadanya tetap tenang, tapi dingin.

“Empat: satu-satunya dunia yang kami tahu adalah Terra. Dan batas dari dunia ini adalah Dinding Es.”

“Dinding… Es?” gumam Noval dari belakang, nyaris tidak percaya.

Pemimpin itu melanjutkan, “Di luar dinding itu tidak ada kehidupan. Tidak ada langit. Tidak ada bumi. Hanya kekosongan. Jadi, kalian... yang mengaku dari luar dinding itu... adalah anomali.”

Dira mencoba bicara lagi. “Tapi kami bisa buktikan. Kami punya data. Kami bisa tunjukkan peta kami, komunikasi kami. Kami—”

“Bukti kalian tidak berlaku di sini.”

Seketika para prajurit mengangkat tombak lagi.

“Entah kalian musuh atau bukan… kedatangan kalian telah mengganggu keseimbangan. Dan semua yang mengganggu keseimbangan… harus dibawa ke Tempat Penentuan.”

“Tempat apa itu?” tanya Bagas cepat, berdiri di samping Dira.

“Tempat di mana keputusan tidak lagi dibuat oleh pasukan… tapi oleh Raja Terra.”

 

Mereka tidak diberi waktu untuk bertanya lebih banyak.

Pasukan membentuk formasi. Tanpa kata, mereka menggiring tim The Vault seperti tahanan—meski tidak ada borgol atau rantai. Tapi tatapan puluhan prajurit itu lebih dari cukup untuk membuat siapa pun merasa terkunci.

Mereka berjalan menembus hutan, lalu naik ke dataran tinggi. Vegetasi makin asing: pohon-pohon transparan seperti kaca, rumput berwarna ungu muda, dan serangga yang bersinar lemah seperti lampu malam. Langit tetap tertutup kubah samar—dan bahkan bayangan matahari pun terlihat kabur.

“Gue ngerasa kayak jalan di planet lain,” bisik Noval.

“Bukan planet,” sahut Intan. “Benua. Tapi... kayak benua yang nentang semua logika.”

Perjalanan memakan waktu berjam-jam, tapi tidak terasa terlalu lama. Mungkin karena udara di sini lebih tipis tapi tetap segar. Atau mungkin... waktu memang berjalan beda.

Akhirnya, mereka sampai di tepi tebing.

Dan di bawahnya... kota.

Bukan kota seperti di dunia mereka. Ini seperti percampuran antara masa lalu dan masa depan: bangunan dari batu giok dan kristal, jalanan melengkung, menara melayang pelan di udara, dan jembatan yang mengalirkan air di bawahnya. Semua tampak harmonis, tapi tidak kaku. Seperti ada irama dalam arsitekturnya.

“Wow…” Rendi sampai berhenti melangkah.

Dira terdiam. Ia ingin mengagumi pemandangan itu. Tapi dadanya justru makin sesak. Karena dia tahu… makin dekat mereka ke pusat kekuasaan, makin tipis ruang untuk bernegosiasi.

Pasukan menggiring mereka melewati gerbang kota. Penduduk yang melihat langsung menjauh—tidak panik, tapi jelas cemas. Anak-anak kecil dengan mata terang menatap dari balik tirai. Beberapa wanita tua berbisik pelan. Tidak ada suara keras. Tidak ada lemparan. Tapi diam-diam... penolakan terasa.

“Kita beneran alien di sini,” gumam Yuni pelan.

Dira mencuri pandang ke arah pemimpin pasukan. Masih dingin. Masih tak tertembus. Ia belum menyerah, tapi harapannya... mulai menipis.

Mereka dibawa ke menara tinggi di tengah kota. Bentuknya seperti obelisk raksasa dari batu hitam yang dilapisi sulur cahaya biru.

Di dalamnya... lift tanpa dinding mengangkat mereka ke puncak, melayang tanpa suara. Dan di atas sana... lorong panjang menuju satu pintu besar.

Prajurit berhenti. Pemimpin menatap Dira.

“Raja menunggu.”

Dira mengangguk pelan. Ia melirik timnya satu-satu. Mereka semua siap—meski ketakutan. Tapi tak satu pun mundur.

Pintu terbuka perlahan.

Di dalamnya, cahaya menyilaukan.

Dan sosok tinggi duduk di singgasananya.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!