NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PASCA PISAH RANJANG PART 1

Tak terasa sudah memasuki tahun ajaran baru. Zahrana dan Mumtaz membutuhkan berbagai macam peralatan sekolah dan lain sebagainya untuk persiapan masuk sekolah. Uang hasil berhemat bulan kemarin kubelikan peralatan yang begitu penting saja untuk keperluan sekolah Zahrana dan Mumtaz. Sekiranya ada barang lama yang masih bisa untuk digunakan kembali, aku meminta mereka berdua menggunakannya. Aku agak sedikit tenang karena Zahrana sudah memiliki sepeda untuk pergi dan pulang sekolah. Sementara Mumtaz tidak memerlukan kendaraan untuk pergi dan pulang karena sekolah TK berada tepat di samping rumah. TK sederhana yang berkonsep seperti TK plus. TK murah, namun sangat berkualitas karena para tenaga pendidiknya memiliki pengalaman di sekolah Islam terpadu serta sekolah alam.

Masih tergiang ditelinga saat mas Anton mengomentari dengan pedas karena aku memilih sekolah TK itu untuk Mumtaz.

"kamu tuh bergaya sekali. Sudah tahu kamu nggak punya uang, bukannya milih TK milik pemerintah, malah milih sekolah di Tk plus di tempat Shinta. Karena kamu yang milih sekolah, kamu juga yang harus biayain kebutuhannya," kata mas Anton dengan kasar.

"Mas, TK ini sekolah murah lho. Ini masih mending. Dulu Zahrana sekolah di TK plus terpadu, mengingat aku juga harus mengajar di sekolah dasar Islam saat itu. Zahrana dulu SPP nya seratus ribu, dan aku menanggungnya sendiri semua, mulai dari biaya masuk sekolah dan spp. Itupun masih juga harus memikirkan bensin untuk keperluanku sekolah serta antar dan jemput Zahrana. Belum lagi bila aku ada rapat mendadak, otomatis aku membayar biaya tambahan atau sekedar memberikan makanan pada guru Zahrana karena ia dibawa pulang ke rumahnya. Ini Mumtaz hanya enam puluh ribu. Itu untuk SPP tiga puluh ribu dan kebutuhan membeli makanan ringan tiga puluh ribu per bulan. Tidak membutuhkan bensin untuk antar dan jemput sekolah. Mumtaz bisa pergi dan pulang sendiri. Aku bisa fokus momong si kecil di runah. Bila di TK milik pemerintah, jaraknya satu setengah kilo mas. Butuh antar dan jemput sekolah. Sedangkan dirumah tak ada motor sama sekali," jelasku.

Mas Anton menyembik.

"Halah, itu hanya alasanmu. Dulu saran ibuku tak kamu anggap. Zahrana biar sekolah di dekat rumah saja. Nanti mbak Nina yang akan antar jemput biar kamu bisa fokus mengajar. Untuk sekolah Mumtaz, kamu bisa kan pinjam motor mbak Juwati sebentar. Kamu aja yang malas," ujar mas Anton tak mau kalah.

"Mas, sekolah pilihan ibumu, itu sekolah TK biasa. Para orang tua terbiasa menunggu anak di sekolah, dari awal hingga pulang sekolah. Disana juga banyak penjual, baik penjual aneka jajan untuk anak kecil hingga sayur mayur serta semua kebutuhan untuk rumah tangga. Selain harus memberi saku Zahrana, juga tak enak rasanya bila tak memberi uang tambahan pada mbak Nina karena menunggu Zahrana. Selain itu, nanti anak akan terbiasa jajan di luar. Bila sekolah di TK plus, orang tua tidak diperbolehkan menunggu anaknya, ada materi tambahan untuk agama, ada makan siang, waktu pulangnya jam dua belas, seperti jamku pulang sekolah. Jadi tidak berat di bensin. Spp hanya seratus ribu rupiah. Bila dipikir kembali, bila Zahrana sekolah di TK biasa, uang seratus ribu, apa cukup untuk kebutuhan sekolah Zahrana? Spp benar hanya dua puluh lima ribu rupiah. Tapi untuk jajan Zahrana dan uang tambahan untuk mbak Ninq, apakah cukup uang seratus ribu untuk sebulan mas? Untuk sekolah Mumtaz, bila pinjam motor sekali dua kali, itu tak masalah. Tapi kalau harus pinjam untuk antar dan jemput sekolah setiap hari, aku ya sungkan mas. Iya kalau mbak Juwati dirumah, bila ia keluar gimana? Aku memilih sekolah ini, semua sudah kupertimbangkan dengan masak mas," jelasku panjang lebar pada mas Anton.

Entah mengapa mendengarkan penjelasanku, mas Anton terlihat kesal.

"Halah. Itu semua cuma alasanmu saja. Bilang saja, gengsimu itu gede bila anak sekolah di TK milik Pemerintah," tukas mas Anton sambil berlalu dari hadapanku.

"Andai kamu mau mengerti dan memahami sedikit saja mas," ucapku dalam hati.

Tak terasa waktu bergulir dengan begitu cepat. Sudah dua bulan, Aku menjalani hidup tanpa mas Anton. Aku dilema. Di satu sisi, aku merasa kecapekan karena harus mencari kebutuhan keluarga dan mengasuh anak sendiri. Namun di satu sisi yang lain, aku merasa tenang karena tidak sering berdebat dengan mas Anton serta yang paling penting tidak melihatnya asik game, sementara aku kelimpungan dengan aktifitas rumah tangga. Rasanya begitu sesak di dada saat aku melihat ia duduk dengan santai sambil nge game, sedangkan aku wira wiri seperti baling-baling bambu, dari dapur ke ruang keluarga, dari ruang keluarga ke dapur, kembali ke kamar mandi untuk mengecek baju yang berputar di mesin cuci bukaan atas. Bila cucian sudah mengering, aku langsung ke tempat jemuran guna menjemur semua pakaian karena mumpung hari masih pagi. Masak, mencuci baju sembari memantau aktifitas Arsenio adalah kegiatan rutin yang kulakukan setiap pagi.

Seperti biasa, aku mengecek gawaiku. Melihat jikalau ada pesan masuk sembari melihat email bila ada sesuatu hal yang penting. Ternyata jadwal babak penyisihan beasiswa dari daerah istimewa Yogyakarta telah keluar. Besok, pukul tiga sore, akan dimulai babak penyisihan secara online melalui google form. Untuk prosedur tes, tata cara log ini, soal babak penyisihan, serta waktu tes sudah ada di website tersebut. Untuk soal ada seratus buah mencakup semua mata pelajaran antara lain matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ilmu pengetahuan alam dan sains, ilmu pengetahuan sosial dan budaya, pendidikan kewarganegaraan serta mata pelajaran agama dengan durasi waktu seratus dua puluh menit. Bila dikalkulasi kembali, untuk satu soal saja, membutuhkan waktu satu menit lebih dua detik. Waktu yang bisa dikatakan agak sedikit kurang bila untuk mengerjakan materi yang berjubel seperti itu.

Untuk melakukan tes babak penyisihan, Zahrana membutuhkan belajar ekstra agar bisa mengerjakan sesuai dengan waktu yang telah disediakan.

Aku berusaha memberikan sarana dan prasarana tempat ujian terbaik sesuai dengan kemampuanku yaitu memberikan colokan listrik dengan kabel panjang agar ia merasa nyaman dan bisa bersandar di dinding bila kelelahan, paket data agar ujiannya lancar dan tidak terjadi kendala baik aliran listrik maupun sinyal. Kedua anakku, Mumtaz dan Arsenio, nanti akan kubawa ke halaman rumah agar tidak mengganggu Zahrana yang sedang ujian mengerjakan soal untuk babak penyisihan. Tak lupa aku mengecek kabel panjang itu masih berfungsi dengan baik ataukah tidak menggunakan tespen. Setelah kucek dan baik, kabel itu kugulung kembali dan kuletakkan di atas lemari agar tidak dibuat mainan oleh Mumtaz dan Arsenio.

Saat Zahrana pulang sekolah, aku menyampaikan tentang tes itu.

"Mbak, jadwal ujian untuk tes beasiswa sudah keluar. Ujiannya besok jam tiga sore. Istirahat dulu. Nanti malam belajar ya," ucapku pada Zahrana.

Ia mengangguk perlahan.

Aku meminta Zahrana untuk istirahat, kemudian belajar untuk tes babak penyisihan besok.

"Bu, hasil ulangan mid semester sudah dibagikan. Tolong ditandatangani sekarang ya. Besok harus dikumpulkan lagi soale," ucap Zahrana sembari menyerahkahkan map bersampul tebal berwarna hitam yang tertera nama madrasah ibtidaiyah serta pemilik rapot tersebut. Arini Zahrana.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!