Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Diriya terjatuh di tengah padang rumput yang tampak tak berujung. Angin berembus lembut. Tak ada bangunan, tak ada suara, hanya langit biru pucat dan rumput tinggi setinggi pinggang.
"Halo...? Kirana? Radit? Siapa pun...?"
Tak ada jawaban.
Ia berdiri dan berjalan, hingga menemukan bangku kayu kecil di bawah pohon rindang. Di sana, duduk seorang wanita tua berambut panjang keperakan.
"Akhirnya kamu sampai juga, Diriya."
Diriya berhenti. "Ibu... kenapa... Anda tahu nama saya?"
"Tentu saja. Aku... adalah kamu. Dari masa depan."
Diriya menelan ludah. "Apa maksudmu?"
"Duduklah. Ada yang harus kamu tahu."
---
Mereka duduk bersama di bawah pohon. Wanita itu mengeluarkan secarik kertas lusuh dari saku roknya.
"Ini surat yang pernah kau tulis untuk dirimu sendiri. Tapi tak pernah kau kirim. Ingat ini?"
Diriya membaca perlahan:
Untuk diriku di masa depan...
Jika kau membaca ini, berarti kau masih takut. Takut akan kemampuanmu, takut kehilangan orang-orang di sekitarmu. Tapi aku harap, suatu hari kau akan memilih untuk tidak lari lagi.
Air mata menggenang di mata Diriya.
"Aku menulis ini saat pertama kali melihat roh... saat aku sembunyi di balik lemari selama dua hari penuh."
"Dan sekarang kau bersama pemimpin investigasi arwah bersama sahabat-sahabatmu," jawab wanita tua itu.
---
"Kenapa aku di sini?" tanya Diriya.
"Karena kau masih belum berdamai dengan ketakutanmu. Ingat saat kau melihat wajah Radit pertama kali kerasukan? Kau gemetar. Tapi tak ada yang tahu, karena kau tersenyum."
Diriya menggenggam tangannya. "Aku takut kehilangan mereka. Kirana, Kezia, Jalu, Nila, Radit. Mereka satu-satunya yang membuatku merasa berani."
"Tapi keberanian sejati datang dari dirimu sendiri. Mereka hanya membantu menyalakannya."
Tiba-tiba langit menjadi gelap. Angin berubah kencang. Pohon-pohon bergerak seperti hidup.
"Waktu kita habis," kata wanita tua itu. "Kau akan diuji, Diriya. Bukan oleh hantu. Tapi oleh dirimu sendiri."
---
Diriya tiba-tiba berdiri di cermin besar. Di seberangnya, tampak dirinya—tapi versi yang lemah, pucat, dan gemetar.
"Kau bukan aku!" teriak Diriya.
"Aku adalah kamu... yang memilih bersembunyi. Yang membiarkan orang lain terluka agar bisa tetap nyaman."
"Aku tidak seperti itu lagi!"
Bayangan itu menyeringai. "Benarkah? Saat Kirana hampir dikurung di dunia lukisan... kau hanya berdiri. Saat Radit kerasukan, kau hanya menangis. Kau belum berubah."
Diriya berlari dan meninju cermin.
CRAASH!
Cermin pecah. Bayangan lenyap.
---
Ia terbangun dalam pelukan cahaya. Sosok wanita tua tadi menunduk dan berkata lembut, "Kau telah memilih. Kau telah berani. Dan itu cukup."
---
Saat tubuhnya perlahan terserap kembali ke lorong waktu, Diriya mendengar suara Kirana dari kejauhan.
"Dir! Kau dengar aku? Kau kembali... Kita belum selesai."
Diriya tersenyum tipis.
"Aku siap. Kali ini... aku tidak akan lari lagi."
Radit terbangun dalam gelap. Tak ada cahaya, tak ada suara. Namun saat ia melangkah, lampu gantung tua menyala satu per satu di atas kepalanya.
Ia berada di lorong sekolah. Tapi koridornya berbeda—lebih panjang, lebih sempit, dan di dinding tergantung foto-foto dirinya. Bukan hanya foto biasa, tapi momen-momen saat ia berbohong, gagal, atau membuat keputusan salah.
"Selamat datang, Radit," suara berat terdengar.
Di ujung lorong, sesosok pria berdiri. Wajahnya... Radit sendiri. Namun versi yang lebih dewasa, lebih tinggi, dengan sorot mata dingin.
"Aku?" tanya Radit ragu.
"Aku adalah kau, jika kau terus hidup tanpa memperbaiki kesalahanmu."
---
Mereka berjalan bersebelahan menyusuri lorong yang semakin aneh.
"Ingat ini? Saat kau meninggalkan Kezia sendirian di pemanggilan roh pertama? Saat kau marah pada Jalu karena dia lebih cepat membaca simbol kuno darimu? Saat kau diam-diam iri pada Kirana?"
"Itu... masa lalu."
"Tapi kau tidak pernah mengakuinya. Kau simpan dalam-dalam. Seolah-olah kau tidak pernah salah."
Radit mengertakkan gigi. "Aku tahu aku bukan yang terbaik, tapi aku bertarung bersama mereka. Aku... belajar."
"Belajar tanpa mengakui? Lihatlah."
Sebuah pintu terbuka. Radit melihat teman-temannya duduk membicarakan sesuatu.
"Radit? Dia pintar, tapi... kadang sok tahu."
"Dia suka menutupi kekhawatirannya dengan marah-marah."
"Aku suka dia... tapi aku ingin dia jujur pada perasaannya."
Suara terakhir itu... Kezia.
---
Radit terdiam. Ia merasa seperti dihantam kenyataan.
"Kau tidak akan bisa melindungi mereka jika terus menutup dirimu. Buka, Radit. Sebelum waktumu habis."
Bayangan Radit menunjuk ke cermin besar.
"Kalau kau memang berubah... katakan. Pada dirimu sendiri."
Radit berdiri di depan cermin. Menatap dalam.
"Aku bukan sempurna. Tapi aku belajar. Aku bukan pemimpin, tapi aku teman. Aku bukan yang tercepat, tapi aku tidak akan berhenti. Dan... aku minta maaf. Pada semua yang pernah kuabaikan."
Cermin bersinar. Suara gema berkata:
Maafmu diterima... jika disertai perbaikan.
Bayangan Radit tersenyum. Lalu menghilang seperti debu ditiup angin.
---
Lorong berubah menjadi langit malam. Bintang-bintang berkilau. Suara Kirana perlahan terdengar.
"Radit... kita menunggumu..."
Radit menatap langit. "Aku kembali. Dengan hati yang lebih terbuka."
Bersambung