Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Ironi
Ayla melangkah keluar dari ruangan itu dengan napas berat. Udara malam Jakarta terasa pekat, seakan ikut menahan beban emosinya.
Arka dan Ira menyusul dari belakang. Mereka menatapnya penuh harap dan tanya.
"Kalau kau setuju, kami bisa langsung proses tuntutan pidana atas manipulasi rekam medis itu. Sherin, dan juga pihak rumah sakit yang terlibat," kata Arka pelan, memberi Ayla waktu berpikir.
Ayla terdiam. Matanya memandang langit gelap. Di pikirannya, berkelebat bayangan masa lalu—masa remajanya yang dihancurkan oleh satu lembar kertas berisi vonis palsu. Masa di mana ia mengurung diri dalam luka, merasa tidak layak dicintai, tidak berhak bermimpi menjadi ibu.
Laras muda dalam dirinya, yang dulu menangis diam-diam di balik pintu kamar karena merasa tak pernah cukup di mata orang tua angkatnya—masih hidup di dalam sana. Masih sakit.
"Aku bisa saja menghancurkan hidupnya sekarang," gumam Ayla, lebih pada dirinya sendiri.
"Tapi kalau aku lakukan itu... apakah aku akan merasa lebih baik? Atau justru sama kejamnya dengannya?"
Ira menggenggam tangan Ayla.
"Ini bukan tentang balas dendam, Ayla. Ini tentang keadilan."
Ayla menatap tangan Ira, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku akan menuntut pihak rumah sakit," katanya akhirnya. "Karena mereka punya kewajiban menjaga integritas sistem medis. Tapi untuk Sherin…"
Ia menatap jauh ke depan. "Biarlah Tuhan yang mengadili hatinya. Hidup sudah menghukumnya lebih dulu daripada aku."
Di ruangan interogasi
Sherin terduduk di kursi, tubuhnya gemetar. Ayla sudah pergi. Tapi kata-katanya—dingin, jujur, dan menusuk—masih menggema di benaknya seperti cambuk tanpa ampun.
"Kau bukan kalah olehku. Kau kalah oleh dirimu sendiri."
Sherin menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajahnya kini keriput dan letih, tak lagi bisa menyembunyikan kebusukan yang ia pelihara bertahun-tahun.
“Kalah oleh diriku sendiri…”
Air mata jatuh. Bukan karena penyesalan, bukan juga karena kasihan pada nasibnya—tapi karena rasa benci itu belum pergi. Dan kini, benci itu berubah menjadi iri yang semakin membara. Iri pada ketenangan Ayla. Iri pada kekuatan hatinya. Iri pada kenyataan bahwa bahkan setelah semua yang ia lakukan, Laras tetap utuh, tetap punya harga diri. Sedangkan dirinya? Hancur. Kosong.
“Kenapa aku tak bisa seperti dia?”
Sherin menangis—sendiri. Di dunia yang dulu ia pikir bisa ia taklukkan dengan tipu daya dan manipulasi. Tapi dunia tak tunduk padanya. Dan kebencian itu kini menjadi penjara yang ia bangun sendiri, bata demi bata.
Dan Laras?
Laras sudah bebas.
-----
Di Ruangan Ellen
Suara pecahan kaca memekik di udara, menggema hingga ke lorong luar. Sebuah vas kristal menghantam dinding, hancur berkeping-keping, menyisakan serpihan tajam yang berserakan di lantai marmer putih.
Ellen berdiri di balik mejanya, napas memburu tak beraturan. Rambut cokelatnya tergerai berantakan, sebagian menempel di pelipis yang basah oleh keringat. Sorot matanya tajam, berkilat oleh kemarahan yang membara dan kepanikan yang mencengkeram seperti badai yang hendak meledak. Jemarinya yang gemetar teracung ke arah Leo—yang menyamar sebagai Lia—pria yang baru saja melemparkan kabar paling menjijikkan dalam hidupnya.
“Kau bilang… dia kembali ke Indonesia? Dan Bayu menyusulnya?” desis Ellen. Suaranya rendah—tenang di permukaan, tapi tajam seperti sembilu yang siap menikam.
Lia mengangguk pelan. “Ya, Bu. Bayu sudah tiba di Jakarta beberapa jam lalu.”
Ellen terkekeh—getir, nyaris seperti seseorang yang kehilangan kewarasan. Tangannya mencengkeram lengan kursi dengan keras, buku jarinya memutih.
“Dan aku? Aku bahkan tidak bisa menemui suamiku sendiri… Seolah aku ini bukan siapa-siapa lagi baginya.”
"Kau memang bukan siapa-siapa baginya. Kalau tidak, mana mungkin kau mengurungku dalam sangkarmu," batin Leo, diam di tempatnya.
Pintu diketuk ringan. Seorang pria setengah baya masuk setelah dipersilakan. Ia berdiri di samping Leo—dingin, nyaris tak bernyawa. Sorot matanya tumpul, wajahnya bersih dari emosi. Orang kepercayaan Ellen. Diam, setia... dan licin seperti ular berbisa.
Ellen menoleh padanya, tatapannya tajam membelah udara seperti pisau. Wajahnya tegang, sorot matanya menyala dengan bara kemarahan yang nyaris meledak.
“Cari tahu semuanya tentang Laras—atau Ayla, atau siapa pun nama asli wanita sialan itu. Gali masa lalunya sampai ke akar. Bayu menyusulnya ke Indonesia, dan aku ingin dunia tahu siapa wanita itu sebenarnya.”
Ia menggeram, menggertakkan gigi.
“Aku ingin celah. Sekecil apa pun. Akan kupastikan semua orang melihatnya sebagai perusak rumah tangga—seorang pelakor yang merebut suami orang. Aku akan menghancurkannya. Aku ingin dia terlihat hina. Tak layak berdiri di sisi Bayu.”
Pria itu hanya mengangguk, perlahan, tenang dalam ketakutan. Ia tahu, ketika Ellen sudah berbicara dengan suara sedingin itu, maka tak ada ruang untuk nurani. Apalagi maaf.
Leo hanya berdiri membeku. Di balik penyamarannya, wajahnya netral—topeng sempurna yang menyembunyikan gemuruh di dadanya. Tapi di dalam sana… hatinya terombang-ambing. Bukan karena ketakutan, melainkan rasa miris yang diam-diam menyelinap, menyayat tanpa suara.
"Orang ketiga? Pelakor?"
Suara hatinya menertawakan ironi itu—pahit dan getir.
"Wanita itu… Ayla… dia tak pernah merebut siapa pun. Karena Bayu telah mencintainya jauh sebelum kau, Ellen. Jauh sebelum kau hadir dalam hidup pria itu. Kaulah orang ketiga. Kaulah pelakornya."
Leo menarik napas panjang, pelan, seolah berharap udara bisa menenangkan pikirannya.
"Kau memaksa masuk ke hati yang sudah penuh, yang sudah dimiliki Ayla. Kau menyingkirkan bayang-bayang wanita yang bahkan tak pernah lagi bersua Bayu selama dua dekade, tapi kau tak pernah menang. Bahkan setelah sekian lama… kau tetap kalah oleh sosok yang tak hadir."
Leo menunduk sedikit, matanya menatap lantai, kosong.
"Kau tak pernah bisa mengganti posisi Ayla di hati Bayu. Tak bisa menyentuh ruang yang bahkan tak lagi diisi oleh kehadiran, hanya oleh kenangan. Dan itu... sudah cukup untuk membuatmu kalah. Kalah telak. Tapi sayangnya, kau tak pernah menyadarinya atu mungkin pura-pura tak tahu."
Ellen tetap keras kepala. Terlalu keras. Ia menggenggam status sebagai istri Bayu seperti memegang mahkota berduri—membuatnya tampak agung, tapi perlahan menguras darah dan nuraninya.
Padahal sejak awal, Bayu tak pernah memberikan cinta. Tak pernah menyentuhnya dengan hati.
Nafkah batin?
Bahkan untuk sekadar memenuhi naluri biologisnya, Bayu tak sudi menjadikan Ellen tempat berlabuh.
Dan yang paling menyedihkan…
Leo—pria yang bahkan tak dianggap, hanya peliharaan dalam sangkar emas—justru menjadi satu-satunya pria yang pernah menyentuh Ellen.
Keperawanannya… bukan untuk suaminya, bukan untuk pria yang ia agungkan dengan buta, tapi jatuh pada lelaki bayangan yang hanya ia gunakan untuk melupa.
Untuk pelampiasan.
Sebatas memenuhi kebutuhan biologis yang tak pernah diberikan oleh pria yang menyandang status sebagai suaminya.
Bukan karena cinta, bukan karena sayang—melainkan karena hampa yang terlalu lama menggerogoti, dan ego yang menolak mengakui bahwa ia tak pernah dimiliki sepenuhnya.
Sebuah ironi paling sunyi:
Ia mempertahankan pernikahan demi cinta yang tak pernah menyentuh kulitnya, sementara tubuhnya justru diserahkan pada pria yang tak pernah ia cintai.
"Apa Ellen tak sadar," batin Leo lirih, "...bahwa status itu—meski bisa membuatnya berbangga—tak pernah mampu memberinya bahagia."
Ia melihat Ellen kembali berjalan ke jendela, memandangi langit kota yang mulai menghitam. Bahunya berguncang samar, entah karena marah, takut kehilangan, atau sekadar lelah mempertahankan sesuatu yang tak pernah ia miliki.
Ellen menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang tak bisa ia keluarkan dengan kata.
“Bayu milikku…” bisiknya. “Dia milikku. Dan aku tidak akan menyerah tanpa perang.”
Di balik punggungnya, Leo menunduk pelan—bukan sebagai bentuk hormat, tapi mungkin… sebagai bentuk duka.
"Haruskah aku berduka untukmu, Ellen? Karena terus memenjarakan dirimu sendiri dalam cinta sepihak yang telah lama membusuk?"
"Sedangkan aku... hanyalah bayang-bayang dalam istana kepalsuan yang kau bangun sendiri."
Ia tahu, Ellen tak pernah mencintainya. Ia hanyalah pemuas hasrat—sebuah boneka hidup yang dibeli mahal oleh wanita yang mengira kekuasaan bisa menggantikan kasih sayang.
Setiap belaian, setiap bisikan lembut di ranjang, tak lebih dari topeng—bayangan semu yang dibungkus dalam kebencian dan pelarian diri.
"Bagimu, aku cuma pelampiasan—mainan yang bisa kau kendalikan, kau pakai, lalu kau simpan kembali dalam gelap."
Malam-malam panjang yang ia habiskan di sisi wanita itu memberinya pandangan yang paling jelas:
"Kau bukan wanita kuat, Ellen. Kau hanya wanita penuh ambisi... yang terlalu kesepian untuk jujur pada hatimu sendiri."
"Dan kesepianmu… telah menjadi racun."
"Lalu aku... aku mungkin ikut mati karena racunmu."
---
Di koridor sepi hotel tempat Ayla menginap, seorang pria berdiri diam di depan pintu kamarnya. Seragam hotel membalut tubuhnya rapi, dan topi rendah menutupi sebagian wajahnya—menyisakan hanya rahang yang mengeras dan sorot mata yang tak berkedip.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu