Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21.
"kamu pikir bisa seenaknya di saat suasana hatimu tidak baik, kau ingin mempermalukan saya disini" tukas Samudera memarahi Zahra yang baru saja pulang. Mereka saat ini sudah berada di dalam rumah.
Zahra hanya bisa menunduk, dia tak bisa menjawab. karena rasanya dadanya sesak saat bicara. Rasa sakit atas perlakuan ayahnya begitu masih membekas dan dia tak bisa membicarakan nya dengan Samudera.
"KAU PUNYA MULUT KAN, JANGAN JADI BISU JAWAB UCAPAN SAYA" bentak Samudera.
Zahra sedikit kaget dan melihat kearah Samudera, matanya memerah menahan tangis.
"I.. iya mas, a.. aku minta maaf" ucap Zahra lirih, matanya mulai berkaca.
"aku minta maaf kalau aku membuatmu malu disini, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi aku mohon hari ini saja ijin aku sendiri, jangan mengganggu ku, dadaku sesak mas. aku ingin menyendiri" ucap Zahra, suaranya sudah mulai serak.
Samudera menyadari hal itu, dia melihat wajah Zahra yang memerah dan matanya juga mulai sembab, sebulir bening air mata menetes dari mata indah perempuan itu.
Hening, hanya terdengar Zahra yang terisak. Samudera melihat itu merasa sedikit nyeri di hatinya. entah mengapa dia merasa kan rasa sakit itu.
"Ke kamar mu sana, kita bicara besok lagi" ucap Samudera pada akhirnya. entah mengapa melihat Zahra menangis membuatnya merasa kasihan.
Zahra tak berani melihat kearah Samudera, dia masih menunduk.
"kalau begitu aku ke kamar dulu mas" ucap Zahra dan berjalan pergi meninggalkan Samudera yang mematung di tempat, tak berani bicara.
"sebenarnya bagaimana kehidupannya di keluarganya. Kenyataan macam apa ini" ucap Samudera, merasa frustasi. Dia frustasi karena tujuannya menikahi Zahra untuk balas dendam pada Zera tapi Zahra malah korban dalam keluarganya.
.......................
Samudera bangun lebih dulu, dia berjalan ke dapur belum ada siapa-siapa di sana. Di membuka kulkas mengambil air minum dari dalam lemari es itu, lalu pandangannya melihat kearah kamar Zahra.
"apa dia belum bangun? " Gumam Samudera bertanya-tanya. matanya tak lepas dari kamar yang masih tertutup tersebut.
"sudahlah mungkin dia memang belum bangun" ucap Samudera, tak masalah. Kali ini dia akan membiarkan Zahra bermalas-malasan, dia ingin memberi waktu perempuan itu untuk memenangkan diri.
Samudera mengambil panci kecil, dia akan merebus air. Dia juga berjalan lagi ke arah kulkas melihat isi kulkasnya saat ini. apakah ada sayuran yang bisa di masak untuk hari ini.
Tapi saat dia akan melihat kulkas, ponsel yang ada di saku celananya itu berdering. Dia langsung mengambil ponsel miliknya tersebut.
"iya halo Letda Yanuar" ucap Samudera saat mengangkat panggilan itu.
"halo bang, hari ini ada kunjungan dari Danyon. Bang Samudera lupa ya, kok jam segini belum muncul" ucap Letda Yanuar mengingat kan Samudera.
"astaga, iya saya lupa. ya sudah saya sebentar lagi kesana sama istri" ucap Samudera buru-buru mematikan panggilannya. bisa-bisanya dia lupa kalau ada kunjungan dari Danyon serta jajaran.
Samudera menaruh begitu saja pancinya di meja dapur dan buru-buru berjalan ke kamar Zahra. Dia harus membangunkan perempuan itu, karena ia harus di dampingi istri saat menyambut Danyon.
Tok, tok...
Samudera mengetuk pintu kamar Zahra perlahan, tapi tak ada sahutan dari dalam.
"kemana dia.., tumben jam segini belum bangun" lagi Samudera mengetuk kembali kamar Zahra.
dan kali ini ada sahutan dari dalam.
"iya mas" sahut Zahra lirih.
Samudera memutar knop pintu, karena pintu itu pasti tidak di kunci.
"kau kenapa lemot sekali, " Samudera masuk sambil mengomel dan dia melihat Zahra yang mulai duduk perlahan. perempuan itu terlihat lemas.
Samudera terdiam melihat Zahra yang terlihat lemas,
"kamu kenapa? kamu sakit? " tanya Samudera datar.
"badanku agak nggak enak mas, maaf aku juga bangun kesiangan" jawab Zahra.
Samudera berjalan mendekat kearah Zahra, tanpa di duga dia langsung menyentuh dahi perempuan itu. Samudera melebarkan matanya menatap Zahra yang juga terkejut.
"badannya panas" batin Samudera.
Tapi dia juga tidak bisa pergi tanpa Zahra, karena ini hal penting kunjungan formal.
"ada apa ya mas? " Tanya Zahra sedikit mendongak menatap Samudera. Samudera yang tadinya sedikit melamun langsung menatap Zahra.
"cepat mandi, pakai baju persit temani saya menyambut Danyon" ucap Samudera menyuruh Zahra cepat bangun.
"iya mas" Zahra tidak menolak meskipun badannya terasa tidak enak dan sedikit lemas.
"ya sudah, saya juga mau mandi. Kamu siap-siap, saya tunggu di luar" tukas Samudera pada Zahra.
"iya mas" jawab Zahra lirih.
Samudera diam sambil memperhatikan Zahra yang bangun perlahan untuk ke kamar mandi. Dia melihat Zahra yang terlihat lemas,
"apa aku nggak usah ajak dia" batinnya menatap Zahra yang berjalan perlahan.
"harus, ini penting. apa kata Danyon nanti kalau istriku tidak mendampingi ku" batin Samudera lagi, dia langsung berjalan keluar menepis pikirannya itu.
.................
Pagi itu halaman markas mulai dipenuhi jajaran prajurit yang berdiri rapi. Mobil dinas Danyon sudah terparkir, dan suasana kunjungan tampak formal dan tertib. Samudera berdiri tegak, dengan Zahra di sampingnya—mengenakan seragam Persit yang rapi meski wajahnya sedikit pucat.
Zahra menahan rasa tak nyaman di tubuhnya. Kepalanya sedikit berat, perutnya mual, dan tubuhnya menggigil walau cuaca cukup hangat. Namun, dia tetap berusaha tersenyum dan berdiri tegak di sisi suaminya.
“Siap, laporan kompi siap diterima, Komandan,” ucap Samudera tegas saat berdiri di depan Danyon dan jajaran perwira lainnya.
Danyon menatap Samudera dengan pandangan serius lalu mengangguk pelan.
“Bagus, Lettu Samudera. Saya harap kompi kalian bisa terus menjaga kinerja seperti ini. Apalagi kalian sudah masuk daftar rotasi pengawasan lintas sektor.”
“Siap, Komandan,” jawab Samudera.
Zahra berdiri di samping Samudera, sesekali menatap pria itu yang terlihat sangat serius dan fokus. Ia tahu suaminya tipe keras yang selalu menjunjung kehormatan dan disiplin tinggi. Maka dari itu, dia tak ingin jadi beban meskipun tubuhnya terasa semakin melemah.
Danyon menoleh sebentar ke arah Zahra dan mengangguk sopan. Zahra membalas dengan senyum tipis dan sopan pula.
"kalau begitu kita pamit lebih dulu, saya harap kamu bisa memberikan contoh yang baik untuk anggota lain Danki karena sekarang sudah di temani pendamping" ucap Danyon sambil menepuk bahu Samudera.
"siap ndan" jawab Samudera memberi hormat.
Setelah beberapa menit Danyon berjalan pergi, menuju mobilnya karena harus mengunjungi tempat lain. Saat Danyon dan jajaran sudah pergi dan Samudera mengajaknya berjalan tiba-tiba dunia Zahra mulai berputar. Pandangannya kabur, dan telinganya berdenging.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menahan tubuhnya agar tetap tegak.
Tapi tubuhnya tak kuat lagi.
“Zahra…” gumamnya lirih sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke samping.
“Zahra!” seru Samudera, yang refleks menangkap tubuh istrinya tepat sebelum menyentuh tanah.
Semua mata langsung menoleh. Beberapa ibu-ibu Persit terkejut dan segera mendekat.
“Bu Danki pingsan, cepat panggilkan tim medis!” perintah salah satu persit,
Samudera mengangkat tubuh Zahra dengan dua tangannya, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia tak peduli pada pandangan orang atau formalitas, yang ada di pikirannya hanya Zahra.
“Zahra, bangun… ini saya, Samudera,” ucapnya lirih di sela kekalutannya.
Beberapa menit kemudian, Zahra dibawa ke klinik kecil yang berada di dalam area markas. Samudera mendampingi, menunggu di sisi ranjang sambil memegangi tangan Zahra yang dingin dan lemah.
"kenapa dia tiba-tiba pingsan" ucap Samudera, ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya. Apa karena dia kehujanan semalam di tambah dia menangis semalaman. "aish, kenapa aku sekhawatir ini" ucap Samudera.
***