“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Caspian Si Pecandu
Mata dia langsung melebar, "Lo pikir gue diperkosa?"
"Dan lo kira ini semua lucu? Dengar ya, gue punya usaha persis di sebelah sini. Gue nggak bisa bersikap santai aja kalau ada orang tolol yang bisa masuk seenaknya di toko kita terus nggak dilaporin. Gue nggak punya duit sebanyak lo. Jadi gue juga nggak punya alarm canggih yang bisa kasih tahu kalau ada yang masuk. Dan jelas gue juga nggak setuju sama keputusan lo mematikan alarm dan ngebebasin tuh orang bawa kabur entah berapa duit. Nggak ada juga pemilik usaha lain di jalan ini yang bakal setuju kalau mereka tahu apa yang barusan terjadi. Paham?"
Gue menyilangkan tangan di dada. Padahal sih, gue juga sebenarnya nggak berniat ngomong ke siapa-siapa. Gue bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi sumpah, dia bikin gue pengen ngamuk.
Bibir bawahnya mulai gemeteran, dan gue langsung buang muka. Gue lebih suka melihat dia keras kepala melawan gue, daripada sekarang, kelihatan kayak cewek rapuh yang butuh diselamatkan, dengan bibir tebalnya yang menggoda itu, sama mata besarnya yang seksi banget. Dan ya, pandangan gue akhirnya jatuh ke pahanya yang terbuka. Sial, susah banget buat nggak memperhatikan.
"Dia gak bakal ngerecokin usaha orang lain. Tolong, jangan bilang-bilang ke siapa pun. Bisa gak kita pura-pura kalau itu orang iseng yang lempar batu ke pintu gue? Gue bakal bayarin semuanya, beresin pintunya, dan gak ada yang perlu tahu lebih dari itu. Gue gak akan tenang kalau mikir dia bisa ngelakuin hal yang sama ke orang lain. Tapi sumpah, dia gak bakal kayak gitu. Gue bukan orang jahat," dia hapus air matanya, dan gue sodorkan satu tisu lagi ke dia.
Bodo amat, lah. Gue gak butuh drama sialan ini. Apalagi dia dari keluarga Batari, dan sekarang gue malah kejebak di tengah omong kosong ini.
"Lo punya dua pilihan, dan dua-duanya lo gak bakal suka."
"Lo benar-benar lagi nikmatin ini ya? Dekat-dekat sama gue padahal lo sendiri gak tahu kenapa lo benci sama gue."
"Lucu lo ngomong gitu, karena sekarang gue benar-benar benci lo, benci karena lo ngizinin si brengsek itu masuk rumah lo dan kabur kayak gak ada apa-apa. Gak bisa kayak gitu. Jadi pilihannya, kita lapor polisi, atau lo kasih tahu gue siapa pelakunya, dan gue yang memutuskan mau ngelaporin apa enggak."
"Lo tuh cowok tolol yang haus kekuasaan ya?" katanya sambil jalan memutar-memutar kecil di depan gue. Pas dia berhenti dan menyilangkan tangan di dada, kausnya naik dikit, kelihatan banget paha kurusnya. Gue langsung deg-degan. Mata gue otomatis turun ke pahanya, terus naik pelan-pelan ke badannya sampai akhirnya tatapan dia menangkap mata gue.
"Terserah lo mau bilang gue apa. Tapi itu kesepakatannya!"
"Kalau gue gak mau pilih dua-duanya?"
"Ya udah, gue telpon polisi dan bilang lo ngebantuin si brengsek itu buat kabur dan lo nolak buat ngelaporin. Lo tahu sendiri kan gimana orang-orang Royal Blossom kalau sudah membicarakan maling. Ini bakal jadi gosip sekota. Gak ada yang mau beli kopi lo kalau lo ketahuan belain penjahat."
Gue memang lagi ngeselin sekarang, dan susah banget nahan ketawa waktu lihat muka dia yang sampai melongo kayak begitu.
Dia hembuskan napas panjang. Matanya sempat melirik bibir gue sebentar, terus balik lagi ke mata gue. Setelah itu dia ngomong pelan, "Itu kakak gue."
"Caspian? Bukannya dia lagi di rehabilitasi? Dia ada di sini, di Royal Blossom?"
"Harusnya. Tapi sejak terakhir gue lihat dia minggu lalu, dia gak pernah balik rehab lagi. Dia pakai barang lagi," katanya sambil gemetaran, air matanya makin deras.
Sial.
Gue kenal banget sama rasa sakit itu. Gue sendiri tumbuh bareng pecandu. Gue juga lihat bagaimana Mama sama adik gue hancur gara-gara itu.
"Gue mohon, jangan laporin dia, Nauru. Keluarga gue udah cukup hancur. Mama-Papa gue bahkan gak tahu dia ada di sini sekarang. Dia bilang butuh duit buat balik ke tempat rehab. Dia lagi kambuh."
"Lo percaya dia?" tanya gue. Gue memang kesal sama orang itu. Tapi dari muka Ailsa, kelihatan banget dia sayang sama kakaknya. Sakitnya gak bisa disembunyikan.
Dan rasa sakit itu, gue juga pernah merasakan.
"Gue juga gak tahu. Tapi kalau gue nyerah sama dia sekarang, dia benar-benar bakal sendirian. Dia nyolong duit karena malu minta ke gue... kalau dia pakai duit itu buat beli barang lagi."
"Dia pakai topeng waktu kabur di gang belakang. Kok lo yakin itu dia?"
"Soalnya waktu dia masuk, dia nyuruh gue balik ke atas. Terus pas gue teriak ke dia, dia bilang butuh duit buat balik rehab. Jadi gue buka laci kasir dan lemparin duitnya ke dia. Dia pasang lagi maskernya, terus kabur bawa duit."
Gue garuk belakang leher, benar-benar bingung harus berbuat apa sama info ini. Hazerrie sih pasti senang banget, soalnya dia dari dulu pengen lihat si brengsek itu kena batunya. Jujur saja, gue juga gak keberatan.
Tapi lihat Ailsa yang segalau ini, bikin gue ragu.
"Oke. Gue gak bakal ngomong ke siapa-siapa. Tapi lain kali kalau ada yang kayak gini lagi, mending lo diam aja di apartemen, kunci pintu rapet-rapet, biarin alarm bunyi. Kalau dia gak sempat kabur sebelum polisi datang, ya sudah, berarti dia penjahat amatiran, soalnya lo tahu sendiri polisi di sini leletnya kayak siput," kata gue.
Bibirnya narik dikit ke atas, kayak nahan senyum.
"Ailsa, kalau dia lagi make, dia bisa berbahaya. Narkoba tuh selalu menang kalau sudah masuk darah."
Gue tahu dia ada masalah sama opioid. Satu kota juga tahu. Keluarga Batari sudah mati-matian buat menutupi kasus ini, tapi nama Caspian sudah terlalu terkenal, sering teler di mana-mana.
"Makasih. Lo gak usah nunggu. Gue udah gak apa-apa, kok," katanya sambil narik-narik bawah kaosnya, kayak baru sadar kalau dia gak pakai celana.
Gue geleng pelan. "Gue tetap bakal nunggu. Lo mau ke rumah Mama-Papa lo?"
"Enggak. Gue mau stay di sini saja."
"Yang benar aja. Gak bakal gue biarin."
Dan ya, kita ribut lagi.
Dia mungkin menang di perdebatan pertama, tapi yang ini?
Nggak bakal gue kasih menang.