Seson 2 Dewa Petir Kehancuran......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Kota Seriibu Bunga
Langit pagi mulai cerah. Kabut tipis yang semula menggantung seperti tirai lembut kini perlahan tersibak, memperlihatkan rona biru pucat yang menghiasi cakrawala. Di kejauhan, suara kokok ayam bersahutan, menyambut pagi dengan semangat yang menular ke setiap makhluk yang hidup di sekitar kediaman keluarga Yu.
Lei Nan berdiri di depan kamar kecilnya. Udara pagi masih menusuk, tapi ia tak bergeming. Kedua matanya menatap lurus ke depan, seolah memandangi sesuatu yang jauh lebih besar dari halaman rumah ini. Ia mengenakan pakaian baru: jubah abu-abu tua yang dilapisi mantel panjang berwarna gelap, disulam dengan pola awan dan petir di bagian dada—simbol warisan teknik Tinju Petir yang ia pelajari.
Sebuah kantung kain sederhana tergantung di pinggangnya, berisi barang-barang penting seperti pil pemulih, batu roh tingkat rendah, dan segulung kecil kain berisi salinan teknik dasar yang ia salin sendiri dengan tulisan tangan yang telaten.
Yu Lian berjalan menghampirinya dari arah dapur belakang. Ia mengenakan pakaian perjalanan berwarna hijau daun muda, dengan kerudung tipis yang terikat di leher. Di punggungnya tergantung sebuah tas kulit kecil, dan di pinggangnya terdapat sebuah pedang ramping bersarung biru keperakan. Langkahnya ringan, namun penuh keyakinan.
Lei Nan sedikit melirik ke arah gadis itu, lalu mengangguk kecil.
“Sudah siap, Lian’er?”
Yu Lian tersenyum lembut dan menjawab pelan, “Kita bisa berangkat sekarang."
Langkah kaki dua anak muda itu menyusuri jalan tanah yang mulai mengering, meninggalkan halaman kediaman keluarga Yu yang sudah menjadi tempat latihan dan ketenangan Lei Nan selama beberapa pekan terakhir. Meski jarak menuju Kota Seribu Bunga disebut-sebut hanya dua jam, Lei Nan tak ingin terburu-buru. Ia memperlambat langkah, memandangi sekeliling, membiarkan matanya menjelajahi tiap sudut dimensi langit ini.
Hutan yang mereka lewati dipenuhi pohon-pohon tinggi menjulang dengan cabang yang menyebar seperti tangan-tangan raksasa. Daunnya lebat, menyerap sinar matahari pagi yang menembus dari sela-sela ranting, menciptakan gurat-gurat cahaya keemasan di tanah berlumut.
“Tempat ini... terasa asing tapi juga familiar,” gumam Lei Nan perlahan.
Yu Lian yang berjalan di sisinya menoleh, “Kau merasakannya juga?”
Lei Nan mengangguk. “Di tempat asalku, ada hutan serupa. Tapi di sini, qi di udara terasa... lebih hidup. Lebih berat, namun lembut. Seperti bisa disentuh.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Kau belum pernah keluar dari klanmu sebelumnya, bukan?”
Lei Nan menunduk sedikit, lalu menjawab jujur, “Tidak. Semua waktuku dihabiskan untuk latihan dan... bertahan hidup.”
Keduanya melanjutkan perjalanan tanpa banyak kata. Hanya suara dedaunan yang bergesekan dan sesekali langkah kaki binatang kecil yang menyelinap di balik semak-semak menjadi pengiring sunyi mereka. Beberapa kali burung berwarna cerah melesat melewati mereka, suaranya nyaring namun cepat lenyap ditelan udara.
Lei Nan terus memperhatikan sekeliling. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, menyerap qi di sekitar, dan merasakan bagaimana energi itu mengalir melalui pori-pori kulitnya, lalu menyatu di dantian. Sejak kekuatan misterius dalam dirinya bangkit malam itu, sensitivitasnya terhadap qi meningkat pesat. Kini ia bahkan bisa membedakan lapisan qi: mana yang liar, mana yang tenang, mana yang berasal dari unsur api, air, atau angin.
“Kita hampir sampai,” ucap Yu Lian, menunjuk ke arah cakrawala.
Dari celah pepohonan, siluet sebuah kota mulai tampak. Dinding tinggi berwarna kelabu tua berdiri kokoh, dan di atas gerbang utama terpasang papan besar bertuliskan tiga huruf kuno: Seribu Bunga.
Mendekat ke gerbang, Lei Nan memperlambat langkahnya. Tapi bukan karena lelah—melainkan karena terkejut. Dua penjaga gerbang berdiri tegak di sisi kiri dan kanan. Tubuh mereka kekar, wajahnya serius, dan di tangan mereka tergenggam tombak berlapis besi qi.
Tapi bukan penampilan mereka yang mengejutkan Lei Nan—melainkan aura mereka. Dengan satu pandangan saja, Lei Nan langsung bisa merasakan fluktuasi energi dari tubuh mereka. Stabil, kuat, dan menekan.
“Ranah Inti Emas... awal,” gumamnya lirih.
Yu Lian menoleh cepat. “Kau bisa merasakannya?”
Lei Nan mengangguk pelan. “Penjaga gerbang saja sudah mencapai tahap itu... bagaimana dengan pemimpin kota ini?”
Yu Lian tidak langsung menjawab, hanya tersenyum tipis sambil mengeluarkan beberapa koin dari kantung kecil di pinggangnya. Dengan tenang, ia menyerahkannya kepada penjaga sebagai biaya masuk dan memberikan sedikit anggukan hormat. Penjaga membalas dengan diam dan memberi jalan tanpa memeriksa lebih jauh.
“Di kota ini, kekuatan bukan hal yang ditutupi,” ujar Yu Lian pelan. “Tapi itu juga yang membuatnya aman... dan berbahaya.”
Setelah melewati gerbang, dunia seakan berubah. Kota Seribu Bunga bukan kota biasa. Jalan utama yang membelah kota terbentang luas, terbuat dari batu biru tua yang bersih dan keras. Di sisi-sisinya berdiri bangunan-bangunan dengan arsitektur menawan—atap-atap berwarna ungu lembut, dinding yang dihiasi relief bunga, dan jendela kaca bulat berbingkai kayu hitam.
Aroma harum bercampur di udara. Bunga-bunga berwarna merah, ungu, dan putih bermekaran di setiap sudut kota, menjadikan namanya bukan sekadar hiasan. Kota ini hidup, namun dalam keanggunan yang tenang. Penduduk berjalan dengan langkah ringan, namun jelas mereka bukan warga biasa. Beberapa menyandang pedang, beberapa mengenakan jubah kultivator, dan di antara kerumunan, aura kekuatan tersebar ke segala arah.
Lei Nan dan Yu Lian mengenakan jubah panjang yang menutupi sebagian besar tubuh mereka. Ini bukan karena takut—tapi karena berhati-hati. Ras Bulan, seperti Yu Lian, dikenal akan kecantikannya yang menawan namun juga langka. Meskipun kota ini aman, bukan berarti bebas dari mata serakah.
Setelah beberapa belokan, mereka akhirnya tiba di depan sebuah bangunan sederhana namun mencolok. Sebuah kedai teh, dengan papan kayu tua bertuliskan:
Kedai Seribu Teh
Bangunannya tidak besar. Hanya dua lantai, dengan teras kecil dan beberapa meja bundar di luar. Di dalam, suasananya lebih sunyi dan damai. Aroma teh melati dan daun kering menyambut mereka begitu pintu didorong.
Lei Nan dan Yu Lian duduk di salah satu meja dekat jendela. Pandangan Lei Nan menyapu ruangan—hanya ada beberapa pengunjung, semuanya tampak biasa. Tapi entah mengapa, hatinya merasa tidak tenang.
Pelayan datang, seorang pemuda dengan senyum sopan. Rambutnya disisir rapi, dan ia mengenakan pakaian abu-abu bersih.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanyanya sopan.
Lei Nan tidak menjawab panjang. Ia hanya mengucap pelan, “Aku ingin memesan... Tujuh Air Mata.”
Sekejap, perubahan terjadi. Senyum si pelayan menghilang. Mata yang semula hangat kini menatap tajam. Ia menunduk sedikit dan berkata datar, “Mohon tunggu sebentar.”
Ia pergi dengan langkah cepat namun teratur. Yu Lian menoleh pelan ke Lei Nan, bibirnya bergerak tanpa suara: Siap-siap.
Tak sampai lima menit, seorang pria tua muncul dari tangga di ujung ruangan. Ia mengenakan jubah hitam polos, rambutnya putih bersih diikat ke belakang. Wajahnya tidak menunjukkan usia—hanya ketenangan, seperti batu yang telah merasakan ribuan musim.
Ia duduk di hadapan Lei Nan dan Yu Lian, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun segera setelah duduk, suasana di dalam kedai berubah drastis.
Suara langkah berhenti. Pengunjung di meja lain tampak menegang. Aura membunuh—dingin dan tajam—muncul dari berbagai penjuru ruangan.
Lei Nan tak bergerak. Ia hanya merasakan bulu kuduknya berdiri. Kedai ini... bukan sekadar tempat minum teh. Ini adalah sarang pembunuh.
Namun pria tua itu tersenyum kecil, seolah tahu apa yang dipikirkan Lei Nan.
“Kau datang dari mana, anak muda?” tanyanya.
Lei Nan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu mengeluarkan gulungan surat dari dalam mantelnya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan pria tua itu.
Surat itu dibuka perlahan. Mata pria itu menelusuri tiap kata. Saat ia selesai membaca, ekspresinya tidak berubah. Tapi seluruh tekanan membunuh yang mengelilingi kedai tiba-tiba lenyap—seolah tidak pernah ada.
“Jadi... Kau mencari pemimpin Mo,” ucapnya pelan.
Di jawab anggukan oleh Lei Nan