Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas Tipis Suka dan Duka
Di tengah perjalanan pulang menuju Manguntirto, kuda Shantand berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang mulai disinari cahaya mentari pagi. Di sampingnya, labu tuak tergantung tenang di punggung kuda. Angin semilir membawa aroma dedaunan lembab, dan suasana pegunungan terasa damai. Namun suasana damai itu tak mengurangi semangat Bhaskara untuk menggoda muridnya.
Dari dalam labu tuak, suara Bhaskara menggema lembut namun penuh canda,
"Kamu sudah punya rencana mau ke mana setelah ini, muridku?"
Shantand menoleh sedikit sambil menyunggingkan senyum. Sorot matanya menyiratkan semangat yang baru, dan wajahnya memang tampak lebih berseri. Dengan tenang ia menjawab,
"Apakah Guru lupa? Saat ini kita harus ke Kota Raja. Sudah saatnya kita memasok ikan dan tahu ke sana… seperti kesepakatan dengan Neng Silvana."
Bhaskara terkekeh kecil. Tapi bukan Bhaskara namanya kalau tak mampu menebak isi hati muridnya.
"Hehehe… bukan hanya mengantar ikan dan tahu, tapi juga… hatimu, bukan?"
"Hatimu sudah tertawan, Neng Silvana yang ayu denok itu, hahahaha!"
Shantand terbahak, tak mampu menyembunyikan rona hangat di wajahnya. Kuda yang ia tunggangi pun ikut meringkik pelan, seolah menyetujui ejekan Bhaskara.
"Guru ini… memang selalu bisa membaca isi hati. Tapi tidak salah juga… Silvana memang berbeda."
Nada suaranya berubah sedikit lebih dalam, lebih serius.
"Dia bukan hanya cantik, tapi juga berani… dan tulus. Aku merasa, dia layak diperjuangkan."
Bhaskara mendengus pelan, namun nada suaranya kini lebih lembut.
"Bagus… Seorang pendekar sejati bukan hanya tahu kapan harus bertarung, tapi juga tahu untuk siapa ia hidup dan berjuang."
Sayangnya untuk urusan Asmara,gurumu ini tidak banyak pengalaman. Kecuali pengalaman pahit..Bhaskara tertawa getir..
“aku hanya berpesan,Hati-hati terhadap hatimu…jangan mudah terbawa perasaan..”
Shantand mengangguk pelan. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang mulai menurun menuju lembah. Hatinya tenang, tapi pikirannya waspada. Perjalanan menuju Kota Raja bukan sekadar urusan logistik, tapi juga ujian bagi hatinya—dan mungkin bagi ilmu yang kini telah ia warisi dari dua guru sakti.
Sepanjang perjalanan menuju kampung halamannya di Manguntirto, wajah Shantand tampak berseri-seri. Matahari pagi menyusup malu-malu di sela dedaunan, dan angin berhembus semilir membawa harum tanah yang lembap.
Namun, bukan karena pemandangan atau angin pegunungan yang membuat hati Shantand riang.
Bukan pula karena hasil perjalanan sebelumnya yang penuh berkah.
Melainkan karena satu nama yang senantiasa mengendap di pikirannya—Silvana.
Kota Raja bukan sekadar tujuan dagang baginya. Bukan pula tempat di mana istana megah dan pasar ramai menyambut kedatangannya. Tapi karena di sanalah tinggal seorang gadis yang telah diam-diam mencuri hatinya.
“Ah, Neng Silvana…” gumam Shantand sambil menepuk lembut leher kudanya, “kau bahkan lebih terang dari lampion-lampion di alun-alun Kota Raja.”
Bayangan akan bertemu kembali dengan gadis manis berwajah cerah, berhati lembut namun tegas itu membuat langkahnya terasa ringan. Ia teringat tatapan mata Silvana yang jenaka, dan cara gadis itu menggulung lengan baju ketika membantu membungkus tahu yang mereka kirim tempo hari.
Bhaskara, yang entah dari mana bisa membaca perasaan muridnya, terkekeh dari dalam labu tuak.
“Heh, muridku… kau sungguh telah berubah. Dahulu hanya diam dan tertutup, sekarang matamu berbinar hanya karena membayangkan senyum seorang gadis.”
Shantand tak menjawab, hanya tersenyum. Tapi dalam hati ia tahu: perjalanan ini bukan hanya tentang tahu dan ikan—tapi juga tentang harapan yang ingin ia perjelas. Tentang perasaan yang ingin ia sampaikan. Suatu saat nanti.
Kuda terus melangkah pelan menuruni bukit, melewati ladang jagung dan pohon jati yang menjulang. Langit semakin biru, dan mentari menggantung tinggi seperti turut mengiringi langkah seorang pemuda yang tengah jatuh cinta… dan siap menjemput takdirnya.
Namun meski bayangan Kota Raja dan Silvana telah menorehkan senyum di wajahnya, tetap saja pulang ke kampung halaman membawa ketenangan yang berbeda.
Shantand teringat wajah bapaknya yang keras namun penuh kasih, dan emak yang tak pernah berhenti menyiapkan masakan hangat meski tubuh nya capek dengan banyaknya aktifitas. Rumah tua berdinding papan itu, dengan suara ayam berkotek dan suara lesung menumbuk padi, adalah tempat di mana hatinya selalu merasa utuh.
“Ah… Manguntirto…” bisiknya pelan, seolah memanggil nama kampungnya bisa menghapus segala letih di pundak.
Udara siang mulai hangat, dan cahaya mentari memantul di permukaan jalanan tanah yang mulai mengeras. Perutnya mendadak bergejolak. Krukkk…
Shantand tersenyum geli sambil menepuk perutnya sendiri.
“Hehe… rupanya rinduku pada rumah tak mengenyangkan perutku, ya…”
Tak jauh dari tikungan jalan, terlihat sebuah warung makan kecil beratap rumbia. Asap tipis mengepul dari dapur belakang, menguar aroma sedap tumisan sayur dan gorengan hangat.
Ia menarik kendali kudanya perlahan dan berhenti di depan warung itu.
Suasana sederhana namun hangat. Di sudut warung, beberapa petani tengah duduk santai menikmati makan siang mereka dengan tangan belepotan sambal, ditemani tawa ringan yang akrab.
Shantand turun dari kudanya, lalu menyapukan pandang ke sekeliling sebelum masuk ke dalam.
“Monggo den... silakan duduk...” suara serak khas perempuan tua menyambutnya. Mbok Sarmi, bertubuh mungil dan memakai kain jarik lusuh, menghampirinya sambil menaruh segelas air kendi dan senyum tulus.
“Ada nasi jagung, sayur lodeh, tahu goreng dan sambal terasi... cocok buat perantau lapar seperti njenengan.”
Shantand mengangguk mantap sambil tersenyum, “Kalau begitu, Mbok, saya pesan semuanya. Dan… tambah tempe goreng kalau ada.”
“Wah, sudah pasti, Nak. Nampaknya njenengan baru pulang dari perjalanan jauh ya?”
Shantand hanya menjawab dengan anggukan, tapi matanya menatap jauh ke depan... Seolah warung kecil itu menjadi tempat jeda dalam perjalanan panjang menuju masa depan—masa depan yang mungkin dipenuhi dagangan tahu, pertemuan kembali… dan cinta yang belum sepenuhnya tersampaikan.
***
Biasanya warung Mbok Sarmi ini ramai dengan canda tawa petani yang singgah melepas lelah, pedagang yang melepas dahaga, atau ibu-ibu yang membawa anak mereka menyuapi nasi megono sambil bergosip ringan. Tapi hari ini… suasana itu seperti dikekang sesuatu yang tak terlihat. Ada hawa aneh menggantung di udara—dingin tanpa angin, sunyi walau penuh orang.
Shantand yang baru saja duduk, sempat menikmati sepiring nasi pecel dan gorengan tempe kesukaannya.
Baru suapan ketiga, Mbok Sarmi menghampiri sambil menyeka tangan ke celemek batik tuanya. Ia tersenyum hangat, tapi sorot matanya menyimpan kegelisahan.
“Den, njenengan ini mau pulang ke mana? Kelihatannya habis dari luar kota, ya?” tanyanya ramah seperti biasa.
Sambil mengunyah perlahan, Shantand menjawab,
“Rumah saya sudah dekat kok, Mbok. Saya pulang ke desa Manguntirto.”
Pyarr!!!
Tiba-tiba kendi di dekat kaki Mbok Sarmi terjatuh sendiri, memecah keheningan. Airnya menyebar membasahi lantai tanah.
Beberapa pelanggan yang mendengar Shantand mau pulang ke Desa Manguntirto tersentak, lalu saling berpandangan sejenak—wajah-wajah mereka tiba-tiba berubah tegang.
“Hati-hati, Mbok…” ucap Shantand sambil tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. Tapi Mbok Sarmi hanya diam, memungut pecahan kendi dengan tangan bergetar. Wajahnya pucat. Bibirnya seperti ingin bicara… tapi tak jadi.
Yang lebih aneh lagi, beberapa pelanggan yang tadi asyik makan, kini buru-buru menghabiskan suapan terakhirnya.
Tanpa bicara banyak, mereka berdiri, membayar sekenanya, lalu keluar dari warung satu per satu. Bahkan ada yang menunduk saat melewati Shantand, seolah tak ingin bertemu pandang.
Shantand menyipitkan mata. Ia merasa, ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh semua orang.
“Mbok… ada apa sebenarnya?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas namun tetap sopan.
Mbok Sarmi tersenyum canggung.
“Ah… tidak, tidak apa-apa Den. Cepat dihabiskan saja makannya ya. Nanti keburu dingin.”
Jawaban ini semakin membuat Shantand penasaran.. apa yang telah terjadi dengan Desanya??