Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 21.
...« Sibuk banget hari ini! »...
Di penghujung hari, arisan keluarga yang akan diselenggarakan di kediaman Keluarga Janala segera dimulai. Arasya sibuk membantu keluarga tersebut mempersiapkan segala hal. Beberapa menu makanan sudah tersaji di meja makan.
Kemudian membawa beberapa kursi dari gudang untuk ditambahkan ke meja makan. Meja tersebut yang biasanya hanya memiliki enam kursi, kini sudah bertambah sampai duapuluh kursi. Menurut informasi, tamu arisan mungkin akan melebihi jumlah kursi itu. Jadi, Mami juga menyiapkan karpet agar sebagian duduk di bawah.
Arasya yang sudah lelah, memutuskan untuk beristirahat di sofa. Ia mengambil nafas dalam-dalam sambil melamun. Masih ada beberapa jam sampai tamu arisan tiba.
“Dek, di rumah ada karpet lagi gak, ya? Ternyata karpet Mami kurang. Masih ada ruang kosong yang belum di isi.” Ujar Mami dari arah belakang sofa.
Arasya menoleh ke belakang, lalu menganggukkan kepalanya. “Ada, Mami.” Jawabnya yang bergegas bangkit.
“Mas, Mas Gavan. Tolong ambil karpet di rumah Adek!” teriak Mami.
“Aku bisa kok, Mami. Aku ambil sendiri aja.” Tolak Arasya atas bantuan gratis. Tetapi belum sempat ia melangkahkan kakinya, Gavan sudah muncul di hadapannya.
“Yuk, Dek.” Ajak Gavan. Yang mau tidak mau, Arasya pergi bersama lelaki tersebut.
“Bawa dua, Mas. Yang satu buat jaga-jaga nanti biar gak bolak-balik.” Ucap Mami sebelum keduanya menghilang dari balik pintu rumah.
Arasya berjalan di depan, sedangkan Gavan mengikuti di belakang. Keduanya memasuki rumah Arasya, lalu melangkahkan kakinya menuju area gudang. Ada dua karpet besar di sana, yang masih tersimpan rapi sebab tidak pernah dipakai.
“Ini, Dek?”
“Iya, itu. Ada yang kecil juga tapi di kamar Bunda sama Ayah.”
Gavan masuk ke dalam, membawa dua karpet itu tanpa kesusahan.
“Aku bantu satu, Mas.” Arasya menawarkan bantuan.
Hanya saja Gavan menggelengkan kepalanya, menolak. “Mas bisa, Dek. Kamu tutup pintu aja.”
Tidak berencana memaksa, Arasya mengangguk patuh. Bergantian berjalan di belakang Gavan, memberi sedikit jarak agar tidak terkena ujung karpet yang dibawa lelaki tersebut.
“Kakinya gimana, Dek? Udah mendingan?” tanya Gavan basa-basi.
“Udah kok.”
Gavan tersenyum tipis, tiba-tiba merasa kesal karena hubungan keduanya kembali meregang. Tidak seperti waktu liburan kemarin yang menempel satu sama lain. Jika bisa menyalahkan orang, Gavan ingin semua klien penting di luar kota itu menjadi tersangka utama atas meregangnya kedekatan antara dirinya dan Arasya.
“Setelah acara arisan selesai, Mas balik lagi kerja ke luar kota.”
Arasya hanya mengangguk, tidak tahu harus merespon apa. Toh, minggu lalu Gavan sama sekali tidak memberitahunya, apalagi memberi kabar meski hanya semenit saja, Gavan tidak lakukan.
“Adek mau ikut?”
“Eh ya ampun, Dek. Kamu bawa kunci pagar kamu gak? Kata Mami tadi disuruh pinjam halaman kamu buat parkir. Aduh ribet banget deh hari ini kenapa, ya.” Devan tiba-tiba berlari mendekati Arasya, kemudian menggandeng gadis itu kembali ke kawasan rumahnya.
Belum sempat Arasya menjawab pertanyaan Gavan, ia sudah dibawa pergi menjauh. Sambil merasa kebingungan, gadis tersebut menyerahkan kunci yang memang dijadikan satu olehnya kepada Devan. Kemudian Arasya menoleh ke belakang, mencari Gavan yang ternyata sudah tak ada di tempatnya.
“Tamunya banyak, Mas?” mencoba untuk melupakan percakapan mereka, Arasya bertanya pada Devan yang sibuk membuka pagar.
“Iya, banyak. Kemungkinan juga sebagian bakal nginep di rumah, Dek. Haduh, pasti nanti banyak bocil kematian yang ikut juga. Rame banget deh rumah kalau iya.” Jelas Devan sambil menyerahkan kunci beserta gemboknya pada si pemilik.
“Sip. Beres. Yok, masuk lagi.” Ajak Devan, merangkul pundak Arasya, menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah lagi.
Di sisi lain, Gavan sibuk menata karpet. Yang satu, ia sembunyikan dibalik lemari untuk berjaga-jaga seperti perintah Mami. Setelah selesai, ia berjalan menuju dapur. Melihat Mami serta adik iparnya yang masih berkecimbung dengan alat masak.
“Mas, udah?” tanya Mami tanpa menoleh ke belakang. Di mana Gavan mengambil duduk, berniat beristirahat sejenak.
“Udah. Ada sesuatu yang lupa lagi? Ingat-ingat dulu, Mi. Mumpung tamunya belum datang.”
Mami cekikikan mendengar penuturan Gavan. Si sulung mungkin sudah lelah sejak pagi menghadapi ingatan beliau yang semakin menurun sebab umurnya bertambah tua. “Udah, kok, Mas. Istirahat aja deh sana. Besok Mas beneran balik kerja, ‘kan? Harus jaga kesehatan, jangan sampai kecapekan.”
Gavan mengangguk, tetapi tetap memilih diam di tempat. Duduk sembari melamun menatap lemari pendingin.
“Dor!”
Gavan tersentak, menoleh ke belakang dan dengan cekatan menangkap si pelaku.
“HAHAHAHA STOP! MAS, LEPASIN! YANG NYURUH MAS DEVAN IH! HAHAHAHA!” teriak Arasya protes. Tawanya menggelegar ke seluruh area dapur sebab Gavan menggelitiknya tanpa ampun. Sedangkan Devan yang merupakan si biangnya, melipir ke arah sang istri sambil menahan tawa.
Mami dan Senaza hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan tiga bersaudara itu. Ada saja kelakuan mereka yang menyebabkan tawa ataupun perselisihan.
“Ah, udah, Mas. Capek.” Keluh Arasya, meskipun masih diselingi tawa lirih sesekali.
Gavan terkekeh, lalu menuntun Arasya untuk duduk dipangkuannya. “Sini, duduk.”
Arasya segera duduk tanpa banyak berpikir. Kemudian matanya mencari-cari Devan, si biang kerok yang membuatnya mendapat hukuman dari Gavan. “Mas Devan curang!” celetuknya setelah mengetahui posisi Devan yang berada di samping Senaza.
“Curang apa? Emang lagi main? Orang dari tadi Mas bantuin Kakak, kok.” Ujar Devan tidak berdosa. Pria tersebut semakin menempelkan tubuhnya pada sang istri. Berpura-pura sedang mengerjakan sesuatu membantu Senaza.
Arasya mendengus keras, mengerucutkan bibirnya merasa kesal. “Awas aja nanti.” Gumamnya penuh dendam.
Tanpa disadari oleh Arasya, gadis itu menyandarkan tubuhnya pada Gavan. Masih menggerutu dengan mata yang perlahan menutup. Membuktikan bahwa dirinya benar-benar kelelahan.
“Nahkan, adeknya kecapekan tuh.” Mami yang terlebih dulu menyadari. Senaza, Devan, bahkan Gavan sendiri langsung mengalihkan pandangannya pada Arasya.
“Lah, langsung molor aja tuh bocil.” Devan tak percaya melihat pemandangan di depannya.
“Yaudah, Mas Gavan. Pindah aja deh ke dalem. Sekalian Mas istirahat juga. Nanti biar Devan yang bangunin kalau tamunya udah pada dateng.”
“Lah, kok aku, Mi? Gak mau, ah. Mas serem kalau dibangunin.” Devan menolak mentah-mentah.
Gavan tersenyum tipis, ada sedikit fakta pada ucapan Devan. Ia merasa tidak suka saat dirinya dibangunkan, lebih suka apabila Gavan terbangun sendiri. Tetapi, tidak ada ekspetasi yang seindah realita. Gavan terkadang tidak bisa terbangun hanya karena alarm. Jadi, Gavan membutuhkan Mami ataupun Devan untuk membangunkannya meski ia tidak suka.
“Gak perlu. Mungkin nanti kalau udah rame juga bakal kedengaran sampai kamar.” Ujar Gavan yang langsung diangguki sang adik.
“Bener itu, Mi. Pasti keramean, jadi tidurnya terganggu deh.” Devan membenarkan perkataan kakaknya. Selalu berusaha memposisikan dirinya pada batas aman.
...« Terima kasih sudah membaca »...