Warning⚠️
Siapkan tisu karna banyak adegan mengharukan mungkin akan menguras air mata.
_____
Menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda bernama Firman yang berprofesi sebagai seorang pengedar obat-obatan terlarang. Sekian lama berkecimpung di dunia hitam, akhirnya Firman memilih berhijrah setelah mendapatkan hidayah melalui seorang anak kecil yang ia temukan di tepi jalan.
Akan tetapi, semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak halang rintangan yang menghambatnya keluar dari dunia hitam.
"Jack, mungkin aku akan keluar dari dunia hitam ini."
"Kau jangan gila, Man! Togar akan mencari dan membunuh kau!"
Dapatkan Firman keluar dari dunia hitam setelah bertahun-tahun berkecimpung di sana. Dan apakah ia akan Istiqomah dengan pendiriannya, atau akan kembali kejalan yang dulu yang pernah ia tempuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Hentakan kuat itu menghantam bagian depan mobil, membuat nafas semakin menggebu-gebu Cairan merah segar mengalir ke pipi. Dalam kegelapan malam itu, Firman tidak lah peduli dengan keadaan diri sendiri. Yang terpikir olehnya keadaan Raihan yang sejak tadi berceloteh di sebelahnya, tapi kini tidak lagi terdengar suara itu. Seatbelt yang membelit badan di buka kasar.
"Argh." Firman mengerang kesakitan ketika menggerakkan tangan kanannya. Rasa sakit di tahan, pintu mobil coba di buka tapi tidak bisa.
Firman menoleh ke arah tempat Raihan duduk, lalu bergerak kesana. Seatbelt yang melingkar di badan si kecil di buka dan tubuh itu di letakkan diatas pangkuan.
"Aan... Bangun, sayang." Pipi si kecil di tepuk-tepuk mencoba menyadarkan.
Firman semakin cemas ketika tiada respon yang di berikan si kecil.
Bagian tubuh lain di periksa Firman, tidak ada terlihat olehnya luka. Dan pada saat tangannya menyentuh kepala si kecil, terasa basah dan lengket. Firman mengangkat telapak tangannya dan melihat dari dekat telapak tangan yang putih telah berubah merah.
"Raihan.... Bangun.... sayang....."
"Tolong! Tolong!" Firman berteriak sekuat hatinya. Wajah si kecil di kecup berkali-kali, walau anyir menusuk rongga.
Sentuhan di kepala membuat Firman terjaga. Wajah yang di telungkupkan ke kasur diangkat. Lalu Firman bergegas berdiri ketika mendengar tangisan Umar di sebelahnya.
"Ssssthhh.. Jangan nangis, ayah disini." Kepala Umar di usap sambil melabuhkan duduk di pinggir ranjang itu.
Hangat sentuhan tangan Firman membuat tangis Umar perlahan reda.
Firman juga menyentuh kening dan leher si kecil dengan telapak tangannya. "Ya Allah, masih panas." Lalu Firman membetulkan letak slang infus sebelum merebahkan badan di sebelah Umar.
"Adik jangan nangis lagi. Nanti nafas adik sesak." Jari-jarinya mengusap pipi Umar yang di basahi air mata.
Mata sendiri masih terasa berat karna dari tadi malam hingga siang ini, baru sebentar tadi ia memejamkan mata. Tidurnya yang sekejap itu pun di usik mimpi hingga membangunkan Umar.
Jack telah di suruh Firman pulang untuk istirahat. Kasihan Firman melihat sahabatnya itu sudah dua malam mengemudi.
"Yayah," panggil Umar masih terisak.
"Iya, ayah di sini sayang." Firman memandang wajah Umar. Sisa tangis si kecil kembali di seka Firman. "Sudah, jangan nangis lagi."
"Adik ngak awu bobok di cini," lirih Umar. Dia tidak nyaman di sebabkan ada jarum infus di punggung tangan.
"Iya, nanti kita pulang. Tapi sebelum itu kita harus tidur di sini dulu, sampai dokter mengizinkan adik pulang. Ayah akan disini temankan adik. Sudah jangan nangis lagi."
"Memangnya adik cakit ya, Yayah?" tanya si kecil polos.
"Iya, adik demam. Nanti juga sembuh."
"Demam itu apa?"
Firman tertawa pelan sambil mengusap rambut si kecil. "Demam itu, ketika ada bakteri jahat masuk ke badan adik. Setelah itu dia merusak saluran pernafasan adik di sini." Firman menyentuh bagian leher Umar. " Setelah itu dia rubah suhu badan adik jadi panas."
"Yayah, adik ngak awu teman sama bakteli itu," rengek Umar.
"Iya, nanti ayah marah dia. Sekarang adik tidur ya," balas Firman. Tangannya masih menggosok kepala Umar yang terbaring.
"Yayah angan pelgi, adik awu bobok sama Yayah," gumam Umar. Rasa hangat telapak tangan Firman membuatnya nyaman.
"Iya, ayah disini."
"Celamat bobok Yayah. Celamat bobok Nana, celamat bobok Didi," gumam Umar, menyebut teman-temannya yang ada di panti sebelum memejamkan mata.
Kuku tangan Umar yang kebiruan di usap Firman. Kaki kecilmya juga sudah di pakaikan kaus kaki agar ia tidak merasa kedinginan.
Pengajuan untuk mengadopsi Umar masih dalam proses. Tapi Firman tidak memikirkan hal itu. Yang terpenting baginya sekarang ini ialah kesehatan Umar.
Pesan SMS kembali di buka. Pesan Aisyah yang di terimanya saat berada di kampung kembali di baca.
"Kalau bang Ash tidak sibuk, besok datanglah kerumah saya. Abang saya ingin bertemu bang Ash."
Dengkuran halus Umar mulai terdengar, mata si kecil juga sudah terpejam rapat.
Firman menyentuh pipi si kecil. Tubuh itu sudah lebih berisi di banding pertama kali ia menemukan Umar di tepi jalan. Wajah si kecil juga lebih ceria dengan kasih sayang yang di berikan Firman, walaupun terkadang si kecil sering menangis saat berada di panti karna bertengkar dengan teman-temannya.
***
"Mari masuk." Aisyah mengajak Firman keruang tamu rumahnya. "Kenalkan ini Abang saya, Michael."
Firman tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan pria berbadan tegap di depan. "Ashrafi," ucapnya memperkenalkan diri.
"Mari, silahkan duduk," balas Michael mempersilahkan tamunya duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa panjang.
Aisyah berlalu ke dapur membuat minuman untuk tamunya. Dua pria yang masih lajang itu di tinggalkannya di ruang tamu. Biarlah mereka saling memperkenalkan diri dulu.
"Dari mana?" tanya Michael.
"Dari rumah sakit," balas Firman.
"Oh iya, Aisyah bilang Umar demam. Apa dia sudah baikan?" Michael kembali bertanya. Sedikit banyak ia tahu cerita Umar dari adiknya.
"Dia sudah baikan. Tapi saya akan biarkan dulu dia berada di rumah sakit. Mungkin itu lebih baik untuknya, karna di sana ada dokter yang memantau kesehatan dia."
Michael mengangguk. "Ya, itu lebih bagus. Pastikan dulu dia benar-benar sehat, baru di bawa pulang. Oh ya, nama saya Michael. Abang Aisyah." Michael memperkenalkan dirinya setelah berbasa-basi dengan lelaki yang duduk berhadapan dengannya. Ternyata lelaki yang selama ini di ceritakan Aisyah, tidak seburuk yang ada di pikirannya. Hatinya sedikit lega setelah melihat lelaki yang akan mendampingi adiknya.
"Ya, Aisyah juga sering menceritakan tentang abang dengan Kak Diana. Aisyah juga bilang Abang bisa menolong saya. Saya begitu berharap anak saya bisa sembuh seperti anak-anak normal lainnya," balas Firman.
Michael menghela nafas dalam-dalam. "Ya, kemarin malam Aisyah memang sudah mengatakan itu. Abang juga sedang mengusahakan. Dokter bilang apa tentang jantung Umar?"
"Dokter bilang Umar harus segera di operasi. Tapi itulah..." Firman mengeluh kecil. Sebenarnya bisa saja ia mendapatkan uang secara cepat. Tapi ia tidak ingin kembali mengulang dosa lama. Sekarang ini semuanya ia serahkan pada yang diatas.
Kunfayakun. Semua terjadi atas kehendakNya. Sekeras apapun manusia berusaha, jika Allah tidak izinkan semuanya tidak akan terjadi. Dan sebaliknya jika Allah berkendak, apa yang tidak terfikir oleh manusia bisa saja terjadi.
Aisyah berjalan sambil menenteng seteko air yang baru saja di buatnya. Air dalam teko di tuang kedalam tiga gelas kaca dan di dekatkan pada Firman dan abangnya, lalu ia melabuhkan duduk di kursi panjang di sebelah Michael.
"Terimakasih," ucap Firman pelan.
Aisyah mengukir senyum membalasnya.
"Jangan khawatir, nanti abang dan teman-teman akan tolong mencari dana untuk operasi Umar. Doakan semuanya berjalan lancar. Baru-baru ini kami kecolongan. Banyak dana yang di selewengkan oleh anggota kami. Untungnya Kak Diana cepat menyadari."
"Astagfirullah, siapa yang melakukan?" Aisyah menyela. Kaget mendengar cerita abangnya.
"Sudah pasti orang dalam juga." Michael sudah malas berburuk sangka dengan anggotanya sendiri. Masalah ini dibiarkannya begitu saja.
"Apa Abang ada kaitan dengan yayasan panti asuhan Al-Iman?" Firman ikut bersuara. Aisyah memang pernah menceritakan jika abangnya sering menyalurkan dana ke panti asuhan itu. Panti asuhan yang di kelola oleh Taleben dan dokter Fadli.
"Ada. Sebelum ini kami memang membuat program untuk merenovasi panti asuhan itu."
"Apa bang Michael kenal dokter Fadli?" tanya Firman lagi.
"Tentu saja. Dia teman abang. Dia juga salah satu penyandang dana di panti itu."
"Berhati-hati lah dengan dia." Firman coba mengingatkan.
Michael mengerutkan kening. "Kenapa? Orangnya baik kok."
"Saya kenal dia. Abang berhati-hatilah dengan dia. Jangan terlalu percaya dengan dia." Firman tidak mau membuka kedok dokter Fadli secara lansung karna ia tahu, Michael tidak akan percaya.
"Aisyah juga sudah lama curiga dengan dia." Dokter Aisyah kembali bersuara. "Waktu itu Aisyah pernah tanya, dia kerja di rumah sakit mana. Tapi dia tidak beritahu, malah dia selalu datang ke klinik Aisyah. Tahu-tahu Aisyah dengar dia sibuk mengurus panti asuhan dengan Abang. Aneh kan? Dan satu lagi. Aisyah juga pernah lihat dia menjumpai seorang anak kecil yang meminta sedekah-"
"Maksud Aisyah?" potong Michael dengan kening berkerut.
"Mungkin panti asuhan itu adalah sebuah sindikat yang menyuruh anak-anak di sana meminta sedekah. Tapi itu hanya kesimpulan Aisyah saja sih."
"Jangan asal ngomong, nanti jatuhnya Fitnah. Lagian tuduhan Aisyah itu tidak ada bukti," bantah Michael. Gelas kaca berisi minuman di depannya diambil dan di teguk sedikit.
"Tapi Abang harus tetap berhati-hati. Terkadang orang yang kita percayalah yang akan menikam kita dari belakang." Firman kembali mengingatkan. Ia tidak akan memaksa Michael percaya dengan yang dikatakannya. Biarlah pria itu mencari tau sendiri.
"Ya, setelah ini Abang akan lebih berhati-hati. Mari silahkan minum," balas Michael menawarkan Firman minum.
Firman tersenyum kecil, lalu gelas di depannya diambil dan di teguk beberapa kali.
"Ashrafi ini senior Aisyah waktu di kampus dulu ya?" Michael mengganti topik obrolan. Ia ingin mengenal lebih jauh lagi lelaki di depannya.
"Ya. Tapi saya hanya kuliah dua semester saja. Ada masalah pribadi membuat saya memutuskan berhenti," jawab Firman.
"Oo... Kalau sekarang kerja Ash apa?"
"Hm, kerja. Sebelum ini saya kerja jadi kurir. Tapi rasanya bosan juga. Sekarang ini saya berdirikari mencoba peruntungan dengan jadi tukang service ponsel dan leptop. Mungkin saya akan teruskan pekerjaan itu." Firman sedikit menunduk ketika berbicara. Sungguh, ia segan menceritakan tentang pekerjaannya pada Michael. Tapi pekerjaan yang di gelutinya sekarang ini membuatnya nyaman karna tidak banyak menyita waktu. Ia tetap bisa menghadiri majelis ilmu dan menjenguk Umar di panti.
"Bagus juga itu. Tidak terikat dengan aturan. Nanti lama-lama juga berkembang."
Firman tersenyum kecil mendengar respon Michael.
***
Hari ini adalah hari yang istimewa bagi Muhammad Rizki, atau yang lebih di kenal dengan Jack. Penantian yang telah lama di harapkan sejak pertama kali melihat pelayan restoran itu telah sampai ke fase terakhir. Masa lajangnya akan berakhir hari ini dan akan berubah status menjadi suami yang akan menjadi kepala keluarga, setelah beberapa Minggu berlalu ia berhasil memenuhi syarat yang diajukan Nayla dengan mengkhatamkan kitab Awjazul Mukhtasarat
Malam sebelumnya, Firman di ajak Jack kerumah Nayla untuk melamar. Dan alhamdulilah orang tua Nayla menerima Jack dengan tangan terbuka. Semua urusan pernikahan di urus cepat oleh orang tua Nayla. Mereka juga ingin Nayla mendapatkan pengganti setelah kematian menantu pertama mereka.
Jack merasakan telapak tangan sendiri berubah dingin. Padahal di dalam mesjid tidak ada AC yang menyala. Hanya kipas angin yang berputar di beberapa sudut. Jari-jarinya di patahkan untuk menghilangkan rasa gugup.
"Senyumlah sedikit. Sudah wajah jelek, tambah jelek kalau kau tegang seperti ini," bisik Firman.
Jack tersenyum kambing. Saat ini rasa percaya dirinya pudar.
"Kemarin kau begitu semangat ingin menikah dengan dia. Sekarang malah cemas kayak mayat hidup. Apa yang kau cemaskan. Tinggal jabat tangan penghulu, beres." Walau Firman belum pernah berada di posisi Jack. Tapi ia tahu sedikit banyak proses Ijab-Qabul.
Jack menghela nafas dalam. Sesekali ia menoleh melihat orang di sekeliling. Peci di buka, lalu rambut di raup kebelakang sebelum peci di pasang lagi. Rasa gugup belum juga hilang.
Pandang Firman beralih pada Umar berjalan ke arahnya. Tangan si kecil di bimbing lalu di dudukkan diatas pangkuan. "Adik mau kemana? Kenapa tidak duduk diam saja sama bu dokter?" tanya Firman.
Aisyah yang duduk di barisan ibu-ibu memandang mereka dari jauh. Tadi ia sudah coba menghalangi Umar agar tidak berjalan di tengah orang-orang, tapi bocah itu tetep bersikeras ingin ke tempat ayahnya.
Ada juga sebagian mata yang melihat kedekatan Firman dan Umar, beranggapan kalau Aisyah mungkin istri Firman dan Umar anak mereka berdua.
"Adik ocan. Adik awu puyang," balas Umar.
"Sebentar lagi kita pulang. Sekarang adik sama bu dokter dulu ya?" bujuk Firman.
Rambut Umar di sikat menggunakan jemari tangan.
"Ufgh." Umar mengeluh. Bocah itu masih duduk diatas pangkuan Firman.
"Peci adik mana?" Firman baru menyadari peci putih anak angkatnya tidak berada di kepala.
"Ngak awu." Umar memegang kepalanya sendiri sambil menoleh kiri dan kanan. Tadi ia memang memakainya, sekarang entah kemana benda itu. "Sudah ilang."
Firman yang juga ikut meliarkan mata mencari keberadaan peci anak angkatnya, menemukan benda itu di tangan dokter Aisyah. "Tuh, ada sama bu dokter. Jangan di buka lagi. Sana duduk sama Bu dokter. Ingat, jangan lari-lari atau berteriak. Nanti di marah orang," pesan Firman. Baju Umar yang kusut di rapikan. Ini adalah baju Koko yang di belikan dokter Aisyah. Dan banyak lagi pakaian yang di sumbangkan Michael. Jadinya Firman tidak perlu memikirkan lagi pakaian untuk anak angkatnya.
"Ingat kata ayah. Jangan lari-lari." Sekali lagi Firman berpesan. Ia tidak ingin Umar berlari-lari sementara sebentar lagi acara akad nikah akan berlansung.
Umar mengangguk pelan. Terpaksa ia kembali ke dokter Aisyah karna Firman tidak mau mengajaknya bermain. Bocah itu melangkah di sela sela orang yang duduk, lalu berhenti di depan dokter Aisyah.
Dokter Aisyah tersenyum kecil melihat wajah cemberut Umar. "Di marah ayah, kan? Itulah gak mau dengar apa yang bu dokter bilang." Tubuh Umar didudukkan diatas pangkuan. Peci yang sejak tadi di pegang di pakaikan lagi ke kepala. Aisyah juga memeriksa leher Umar untuk memastikan kesehatannya.
"Bu doktel, ainan adik tadi mana?"
"Ada." Aisyah mengeluarkan mobilan yang di simpannya di dalam tas. "Nih."
Umar mengambil mainan itu untuk menghilangkan rasa bosan.
Aisyah tersenyum dalam hati melihat tingkah bocah itu. Permohonan Firman atas pengambilan Umar sebagai anak angkat sudah melalui tahap akhir. Tidak lama lagi, bocah yang belum genap tiga tahun itu akan sah jadi anak angkat Firman sepenuhnya.
"Bumm.... Bummm..." Mobilan di tangan di jalankan diatas karpet mesjid sambil mulut menirukan bunyi knalpot.
Nayla yang duduk di sebelah Aisyah ikut tersenyum melihat tingkah Umar, walau tidak ada yang tahu karna ia menggunakan cadar putih.
kasian Aisyah 😢
luar biasa Aisyah dengan ucapannya ya...
karena sebaik baik memohon pertolongan & perlindungan hanya kepada ALLAH SWT saja.
thoyyib Author thoyyib...👍
semoga alur di bab ini Author bisa menggiring pembaca, agar bisa juga Istiqomah menjadi pribadi yang lebih baik.
semangat & sehat sehat ya Thor 💪
Wallahu a'lam bisawwab 🙏