Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab19
Leon duduk di balik meja kecil ruang pertemuan penjara, menatap wanita yang kini duduk di hadapannya. Jade tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Matanya tajam, menyimpan kemarahan yang menumpuk selama berbulan-bulan di balik jeruji besi.
"Aku ingin mengajukan banding, aku ingin bebas dan cari pelakunya sampai dapat!" kata Jade tiba-tiba, suaranya menggema di ruangan dingin itu
Leon mengangguk pelan, matanya tak lepas dari wajah Jade. "Kita akan bertemu di pengadilan minggu depan. Persiapkan dirimu," ujarnya mantap. Tak ada keraguan dalam nada suaranya.
Jade menunduk sejenak, sebelum kemudian mendongak dengan tatapan yang lebih tenang. "Baik, aku akan bekerja sama. Terima kasih sebelumnya karena berusaha membantuku," ucapnya, kini dengan nada yang lebih melunak, seakan mengakui bahwa dirinya butuh bantuan lelaki di hadapannya.
Leon menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ini adalah kewajibanku sebagai hakim, menghukum kejahatan. Asalkan terbukti kau tidak membunuh, maka hukumanmu akan diringankan. Karena menyerang korban, kau tetap harus mempertanggungjawabkan itu."
Jade mengangguk perlahan. Hatinya diliputi perasaan bersalah yang selama ini tak pernah ia utarakan. "Lakukan saja sesuai undang-undang negara... dan... aku minta maaf karena ulah Jane. Dulu dia mempersulitkanmu dan aku tidak tahu sama sekali," katanya pelan, seolah beban besar baru saja ia lepaskan.
Leon menatapnya lekat, ekspresinya datar namun penuh makna. "Jade, urusanku dengan Jane bukan masalah sama sekali. Dia tidak bisa mempersulit aku. Untuk saat ini, aku akan membantumu agar kau bebas dari penjara," katanya dengan nada tegas, memberikan sedikit harapan di balik dinding penjara yang membelenggu Jade.
Seminggu kemudian.
Ruang sidang dipenuhi ketegangan. Para hadirin menatap ke depan, menanti kebenaran yang akan terbuka dalam persidangan yang dinanti banyak pihak. Jade duduk di kursi terdakwa, mengenakan seragam tahanan, namun matanya tak lagi menunjukkan ketakutan. Di hadapannya Hakim Leon, membawa berkas-berkas penting yang menjadi kunci dari segalanya.
Persidangan dimulai.
Leon duduk dengan tenang, membacakan laporan kasus yang dia tangani. sementara layar di ruangan menampilkan rekaman foto kematian lima korban secara bergantian. Suara bisik-bisik terdengar di antara penonton ketika luka-luka yang mengerikan itu diperlihatkan.
"Tubuh korban membuktikan ada dua pelaku yang berbeda," katanya dengan suara yang lantang. "Pelaku pertama adalah Jade Valencia, yang melukai korban dengan satu sayatan dan tikaman. Setelah diperiksa lebih jauh, luka lainnya dilakukan oleh pelaku lain yang kini masih dalam penyelidikan."
Ia menunjuk pada foto yang menampilkan luka tikaman yang berbeda pola dan kedalaman. "Pelaku pertama telah meninggalkan lokasi kejadian. Saat itu, korban masih dalam kondisi bernafas, dan luka yang mereka alami tidak akan menyebabkan kematian."
Leon berhenti sejenak, membiarkan setiap kata menggantung di udara sebelum melanjutkan.
"Namun, setelah itu, pelaku kedua datang dan melakukan tikaman dan sayatan yang lebih dalam. Inilah yang menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, persidangan hari ini membuktikan bahwa Jade Valencia bukan pembunuh, melainkan hanya tersangka karena menyerang korban," pungkas Leon, sambil menutup berkas autopsi.
Ruangan hening. Jade mengatupkan kedua tangannya erat, seolah tak percaya bahwa kebenaran itu akhirnya terungkap.
Leon menatap ke arah jaksa penuntut yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Suara detik jam terdengar begitu jelas di tengah ruang sidang yang kini sunyi, semua mata tertuju pada dua tokoh penting yang tengah beradu argumen.
"Jaksa penuntut, apakah ada yang ingin Anda katakan?" tanya Leon dengan suara tegas, namun tetap menjaga wibawanya sebagai hakim.
Jaksa penuntut berdiri dengan penuh keyakinan. Ia membenarkan jas hitamnya, kemudian melangkah maju dengan berkas di tangan.
"Yang Mulia!" serunya, suaranya menggema dalam ruang sidang. "Lokasi kejadian tidak bisa membuktikan bahwa ada seseorang yang datang selain Jade Valencia. Rekaman CCTV juga telah mengalami kerusakan secara tiba-tiba, dan tidak ada saksi yang melihat siapa pun masuk atau keluar selain terdakwa."
Ia menatap ke arah Jade dengan tatapan tajam sebelum melanjutkan, "Perbuatan tersangka, Jade Valencia, membuktikan bahwa dia menaruh dendam terhadap para korban. Terutama karena kematian kakaknya, Jane Valencia. Motifnya jelas, dan hasil autopsi pun tidak secara langsung membuktikan adanya pelaku lain."
Beberapa orang di ruang sidang mulai bergumam, suasana terasa menegang. Jade menunduk, matanya berkilat menahan emosi. Ia tahu pertarungan belum selesai.
Leon mendengarkan dengan saksama, kemudian menatap tajam ke arah jaksa penuntut.
"Jaksa penuntut," ucapnya perlahan, namun tegas. "Walaupun rekaman tidak menunjukkan siapa pelaku lainnya, hasil autopsi membuktikan bahwa luka yang menyebabkan kematian bukan berasal dari tangan Jade Valencia."
"Pelaku kedua muncul setelah melakukan sesuatu pada sistem CCTV. Dan... setelah diperiksa oleh tim forensik digital, ditemukan bukti bahwa rekaman CCTV di lokasi kejadian—termasuk dari club malam di waktu yang sama—telah dimatikan secara sengaja oleh seseorang dari dalam sistem."
Leon berhenti sejenak, membiarkan suasana kembali hening, lalu menyambung, "Ini cukup untuk membuktikan bahwa ada orang lain selain Jade Valencia yang berada di tempat kejadian. Seseorang yang tidak ingin jejaknya terekam. Seseorang yang tahu apa yang dia lakukan."
Suasana ruang sidang makin memanas. Beberapa wartawan mulai menulis dengan cepat, kilatan kamera mulai bermunculan. Jade menatap Leon, dan untuk pertama kalinya, ada secercah harapan di matanya.
Persidangan baru saja memulai babak penting—babak di mana kebenaran mulai menemukan jalannya.
Jaksa penuntut kembali berdiri, nada bicaranya meninggi, didorong oleh emosi yang mulai tak terkendali.
"Yang Mulia, walau begitu… saya tidak begitu setuju dengan keputusan persidangan yang menyatakan Jade Valencia bukan tersangka pembunuhan!" serunya, suaranya menggema dan membuat beberapa hadirin saling pandang dengan cemas.
Leon menatap tajam dari balik meja tinggi hakim. Tatapannya menusuk, dingin, dan penuh wibawa. Ia bangkit perlahan dari kursinya, jubah hitamnya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya, lalu membalas pernyataan sang jaksa dengan suara yang dalam dan menggetarkan ruangan.
"Jaksa penuntut," ucapnya pelan namun mengancam, "apakah kamu… meragukan keputusanku sebagai hakim?"
Suara Leon tajam dan berat, bagaikan palu sidang yang sudah siap dijatuhkan. Ruang sidang mendadak hening—tak ada satu pun yang berani bergerak atau bersuara.
Jaksa itu terdiam sesaat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia tahu, satu kata yang salah bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap hakim dan pengadilan.
Leon tetap berdiri tegak, menunggu jawaban. Wibawanya seolah mengunci semua perhatian. Ini bukan sekadar adu argumen. Ini adalah pengingat bahwa hukum berdiri di atas bukti, bukan asumsi.
ayo katakan yg sebenarnya