"Tidak ada pengajaran yang bisa didapatkan dari ceritamu ini, Selena. Perbaiki semua atau akhiri kontrak kerjamu dengan perusahaan ku."
Kalimat tersebut membuat Selena merasa tidak berguna menjadi manusia. Semua jerih payahnya terasa sia-sia dan membuatnya hampir menyerah.
Di tengah rasa hampir menyerahnya itu, Selena bertemu dengan Bhima. Seorang trader muda yang sedang rugi karena pasar saham mendadak anjlok.
Apakah yang akan terjadi di dengan mereka? Bibit cinta mulai tumbuh atau justru kebencian yang semakin menjalar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LyaAnila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25 : Menjadi Bayang-Bayang
Unit apartemen 326 masih berbau alkohol yang tak menyengat, meskipun lantainya sudah bersih kembali. Sang empunya masih duduk di kursi tempat biasa dia mengawasi grafik saham. Kali ini kesadarannya sudah kembali normal, tidak ada botol minuman yang ia genggam. Tidak ada kepala yang menunduk, namun yang ada hanyalah tatapan kosong dan pusat perhatiannya pada layar laptop yang menyala.
Gatra Daraksha Maheswara
Nama itu terus muncul mengganggu pikirannya. Dadanya sesak, rahangnya mengeras. Ia menyadari bahwa semua kejadian yang terjadi ini bukan hanya sekadar kebetulan.
Pintu ruang kerja tiba-tiba terbuka. Kedua teman Bhima yakni Bagas dan Dion masuk tanpa diminta dan membawa kopi dan beberapa camilan untuk dinikmati.
"Tidur apa terjaga?" Tanya Dion sambil meletakkan kopi dan camilannya di meja.
"Terjaga. Gue nggak bisa tidur, Gas," sanggah Bhima.
"Atau nggak niat aja buat istirahat in badan sama otak?" Dion pun tak mau kalah beradu argumen dengan Bhima, ia berdiri sambil menyenderkan bahunya di samping pintu.
Mendengar perlawanan itu, Bhima membisu. Bhima kemudian memutar laptopnya untuk memperlihatkan semua data-data tentang Gatra.
"Bener. Semua jejak digital yang mengkambing hitamkan lu sama Selena di satu server yang sama. Yaitu Gatra." Terang Bagas.
"Tunggu, kenapa Gatra bisa dapat info detail terkait Bhima?" Tanya Dion penasaran.
Bagas menarik napas berat. "Hemthhh, karena Gatra orang yang kerja di saham juga."
"Jujur, gue belum cerita apapun ke Selena tentang Gatra," tambah Bhima pelan.
Dion langsung menimpali, "Ya gimana lu bisa cerita sama dia njir. Orang pertemuan kalian aja udah diwarnai saling beradu argumen gitu," cibir Dion.
Mendengar cibiran Dion, Bhima langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela di ruang kerjanya. Ia melihat beberapa orang berlalu-lalang, bersenda gurau dan lampu-lampu jalan berpendar menerangi sepanjang jalan.
"Gue kasihan sama Selena kalau kek gini caranya," kata Bagas menimpali.
"Kenapa kek gitu," Dion menimpali kembali.
"Lu bayangin aja. Dia korbannya Bhima sama Gatra secara nggak langsung," tambah Bagas.
"Nggak yakin gue kalau misal Selena tau, dia bakal maafin Bhima apa nggak."
Hati Bhima mencelos mendengar pernyataan Bagas. Betul juga, misalkan Selena sudah mengetahui semua ini. Nggak tau dia marahnya Selena padanya. Tapi ini memang murni kesalahannya, karena dari awal dia udah nuduh Selena tanpa bukti yang mendasar.
"Lu menjauh justru buat semuanya jadi runyam, bodoh." Cibir Dion.
"Terus, gue harus gimana, semuanya udah terjadi." Balas Bhima tak kalah kerasnya.
"Udah, njir. Kalian kek anak kecil aja. Untuk sekarang, tenangin kondisi hati lu, Bhim. Kalau lu ladenin muncung nya si Dion. Lu bakal kepancing terus. Udah tau sendiri kalau Dion ngomong pedes nya kek apa. Udah, yang penting gimana sekarang caranya kita selamatkan Selena dari ular berbisa itu," Bagas berusaha meredam semua kekacauan ini. Diantara mereka, Bagas lah yang memiliki regulasi emosi yang paling bagus.
"Gue mau jadi bayangan," kata-kata itu akhirnya terlontar setelah terjadi ketegangan diantara Bhima dan Dion.
******
Bagas dan Dion pun meminta penjelasan terhadap pernyataan Bhima dengan mengeryitkan kening mereka masing-masing. "Jadi bayangan. Gimana nih maksudnya?" Timpal Dion.
"Untuk saat ini, gue nggak bakal muncul di hadapan Selena dulu," respon Bhima. "Tapi gue ngawasin dia dari jauh," tambah Bhima lagi.
"Lu gila ya. Justru itu buat dia makin leluasa deketin Selena." Ingin rasanya Dion melayangkan pukulannya itu ke arah Bhima. Supaya dia sadar akan kesalahan dia.
Bhima mengambil napas panjang untuk berusaha meredam emosinya. Karena ia tadi juga ingat pesan Bagas untuk tidak menanggapi Dion.
"Gue tau gue salah. Makanya itu, gue mau berusaha nebus kesalahan gue."
"Sadar juga akhirnya kalau dirinya salah," Dion terus mencibir Bhima bukan karena ia benci. Tapi dia sudah jengah aja melihat kelakuan bodoh temannya itu.
"Oke, sekarang gini aja. Gue sama Bagas yang ngawasin Selena dari dekatnya, lu dibelakang layar aja dulu untuk saat ini." Dion terdiam perlahan. "Tapi, lu nggk usah khawatir. Gue sama Bagas cuma jagain Selena doang. Bukan mau rebut dia, ya." Terang Dion.
Mendengar pernyataan dari Dion, Bhima terkejut. Teman yang sedari tadi ingin menghabisinya ternyata mau mengambil risiko yang sangat besar.
"Nggak nggak. Ini masalah gue. Gue nggak mau libatin kalian," cegah Bhima.
"Apa peduli kita, njir. Lu kawan kita dan dia udah main di wilayah kita. Justru kek gini bakal mudah karena kita bisa baca strategi yang dia buat."
"Yang gue lihat, Gatra nih main nya halus banget. Dia mainin psikologis nya Selena. Nah, waktu Selena udah percaya penuh sama dia. Baru dia menunjukkan taringnya."
"Dia kek gitu berapa lama?" Tanya
"Kurang bisa di prediksi. Kalau Selena udah nyaman. Dia bakal beraksi." Tambah Bagas.
"Dia nggak boleh sendirian, we." Bisiknya.
"Dan dia kali ini memang udah sendirian," tambah Dion.
"Kalau memang gue harus korbanin semua yang gue punya. Gue rela. Asal Selena aman." Lirihnya.
******
Sinar mentari menyusup perlahan di celah tirai jendela ruang tamu. Selepas diskusi panjang lebar kemarin. Bagas dan Dion langsung kembali ke rumah masing-masing juga untuk menjalankan misi.
Sang empunya yang tak lain adalah Bhima berdiri lebih gagah dari kemarin. Ia meraih gawainya dan menghubungi Bagas.
"Owh ya. Satu hal lagi," ucapnya. "Setiap pergerakan kecil Gatra ke Selena tolong kasih tau gue," pintanya.
"Siap bos," jawab Bagas.
"Dan buat Dion," Bhima berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Hajar aja gue kalau misalkan gue ngelakuin hal gila lagi," pintanya. Karena ia tau kalau Dion lah yang paling mudah tersulut emosinya.
Dalam telfon, dia pun terkekeh dan mengatakan "Nggak usah lu suruh, mungkin kalau nggak ada undang-undang bakal dipenjara kalau nyiksa orang, gue pasti nyiksa lu habis-habisan sih," respon Dion terkekeh.
Bhima yang mendengar godaan itu hanya tertawa ringan. Setelah dirasa arahan ini sudah matang. Bagas dan Dion langsung mengintai di sekitar taman biasa Selena terlihat.
Setelah telepon ditutup, keheningan kembali menguasai ruang tamu itu. Bukan tentang kehampaan, melainkan ketegangan sebelum badai masalah menerjang.
Keputusan Bhima untuk menjadi bayangan dalam permainan ini bukan karena ia takut, bukan karena dia lemah dan bukan karena ia tak peduli. Tetapi karena ia takut kalau bergerak secara terang-terangan akan lebih membahayakan posisi Selena.
Dan untuk pertama kalinya, ketakutannya ini bukan tentang kehilangan kontrol. Melainkan tentang aksi yang digunakan untuk menyelamatkan seseorang yang bahkan ia tidak tau alasan untuk menyelematkan seseorang itu apa motifnya.
******
Lihatlah Selena, jiwa yang kini dirundung mendung, Langkah kakinya berat, tertatih di sela duri yang kian tajam. Masalah datang padanya bak hujan badai yang tak kunjung usai, Satu luka belum kering, seribu perih sudah menanti di ambang pintu.
Dunia mungkin melihatnya sebagai sosok yang malang, Namun bagimu, biarlah ia menjadi pusaka yang harus kau jaga. Jadilah teduh saat dunianya membara, Jadilah rumah saat ia merasa asing di tanahnya sendiri.
Jangan biarkan api kecil di matanya padam tertiup duka yang bertubi-tubi. Genggam tangannya, bukan untuk mengekang, Tapi untuk membisikkan bahwa ia tidak lagi berjalan sendirian.
Bhima, jagalah Selena dengan seluruh ketulusanmu, Sebab di balik kerapuhannya, tersimpan permata yang hanya bisa bersinar, Jika kau beri ia rasa aman untuk kembali percaya pada cahaya.