Daren begitu tergila-gila dan rela melakukan apa saja demi wanita yang di cintainya, Tapi cintanya tak terbalas, Sarah yang di cintai Daren hanya mempunyai secuil perasaan padanya, Di malam itu semua terjadi sampai Sarah harus menanggung akibat dari cinta satu malam itu, di sisi lain keduanya mau tidak mau harus menikah dan hidup dalam satu atap. Bagaimana kelanjutan kisah Mereka. akankah Daren bisa kembali menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Sarah? Dan apakah Sarah bisa mengejar cinta Daren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melebihi Segalanya
Semenjak kabar buruk Itu, dua keluarga besar yang di hormati menjadi murung, beruntung media dan para warta tidak berhasil mengendus kabar menyakitkan itu, Seperti berkabung Pak Anjas terus mengurung diri di dalam kamar bahkan beberapa kali masuk rumah sakit, Sampai di mana anak tertua Fadli, harus pulang ke Indonesia beserta membawa istri dan satu anaknya.
"Kak, pindah lah, Perusahaan membutuhkan kamu." Ucap Pak Anjas di atas ranjang.
Fadil menatap Diandra sang istri. Diandra hanya diam tak memberi respon apapun.
Kali ini pandangan Pak Anjas beralih ke menantunya. Menarik tangannya penuh kelembutan. "Diandra, ayah ingin meminta maaf sebelumnya, tinggal lah di sini, di sini keluarga mu, di Belanda kalian hanya hidup bertiga tanpa ada orang tua atau sanak saudara."
Diandra sudah tidak mempunyai orang tua, keluarganya yang ia kenal hanya sang nenek, itu pun sudah lama meninggal, untuk tetap di Belanda, Diandra beralasan tidak ingin meninggalkan tanah air tercinta. Tapi melihat bagaimana sekarang sang ayah mertua terbaring lemah di ranjang membuat Diandra bimbang.
"Biar Diandra pikiran terlebih dahulu Ayah," Ucapnya pelan.
Pak Anjas mengangguk, memalingkan wajah ke arah lain sembari menutup mata. "Ayah Merasa gagal sebagai orang tua, Sekarang adikmu Sarah, dia sedang menderita, tapi ayah tidak bisa berbuat apa-apa."
Fadil segera beralih duduk di samping sang ayah. "Ayah jangan katakan itu, semua ini bukan salah ayah."
"Ayah hanya takut, Pak Darwin ingin menarik uangnya karena Sarah tidak bisa memberikan keturunan untuk penerus keluarga."
"Jika dari awal akan seperti ini, Fadli tidak akan setuju, Fadli akan temui Daren,"
Pak Anjas segera menarik tangan Fadil. "Jangan kak, Daren tidak tau apa-apa, dia sangat mencintai adikmu, ini urusan ayah dan pak Darwin."
"Tapi Daren harus tau,"
"Daren dan Sarah sudah tau, ini hanya ketakutan ayah, Ayah seperti merasa kalau Pak Darwin akan meminta haknya." Kembali Pak Anjas berlinang air mata, terbaring nya ia di rumah sakit karena memikirkan uang yang mana jumlahnya triliun itu.
"Perusahaan baru saja bangkit, akan sangat di sayangkan kalau Pak Darwin mendesak ayah." lanjut Pak Anjas, menghela napas beberapa kali.
"Ayah hanya memikirkan perusahaan, pikiran bagaimana Sarah." Terlihat Fadli menjadi kesal, sedikit menaikan volume suaranya untuk menyadarkan sang ayah.
"Itupun demi masa depan Sarah, tapi sekarang masa depan adikmu seperti di ujung tanduk." Ucap Pak Anjas lemas.
Fadli diam seketika, kamar super mewah lagi besar itu kembali sunyi meninggalkan rasa sedih dan terpuruk.
"Mudah-mudahan Pak Darwin bisa menerima kenyataan ini, Jika Sarah harus mempertahankan bayi dalam kandungannya itu akan lebih bagus, setidaknya dengan begitu Sarah bisa memberi mereka penerus perusahaan." Di sana Fadli bersuara sama lemesnya, bahkan kehadiran sang istri di sisinya tidak serta Merta membuat dirinya tenang, Keadaan benar-benar kalut. perusahaan tengah di pertaruhan di tambah kesehatan Pak Anjas yang semakin menurun..
"Tapi jika Sarah kekeh ingin mempertahankan bayi itu, nyawanya bisa terancam." Papar Pak Anjas dengan wajah murung.
Di sana Fadli diam membisu pun Diandra yang sama terpukulnya.
"Semoga ada keajaiban untuk adikmu." Lanjut Pak Anjas penuh harap.
...
Langit nampak mendung di atas sana, Kamar yang sunyi tak bertepi rasanya, kegundahan si pemilik kamar jelas terasa, Di tepi ranjang, sosok perempuan cantik dengan wajah pucat tertegun seorang diri, mengabaikan seruan di pintu kamar.
Tok...tok...
"Sar, bukan pintunya, ini aku Jesica sama Nagita."
Di ambang pintu kamar berdiri tiga sosok perempuan, Jesica, Nagita dan Bu Nadin, sudah 10 menit lamanya ketiganya berdiri meminta Sarah membuka pintu. Tapi nihil Sarah enggan mempersilahkan kedua temannya itu masuk.
Jesica saling tatap, keduanya menghela napas pasrah. "Dia udah makan Bi?" Tanya Nagita, menoleh ke arah Bu Nadin yang mana mengangguk pelan.
"Sudah tadi bareng Den Daren,"
"Mending kita pulang aja Jes, biar Sarah nenangin diri dulu, dia butuh waktu juga kan." Usul Nagita sembari menarik tangan Jesica.
Pada akhirnya kedua gadis cantik itu meninggalkan pintu kamar lalu duduk di sofa untuk menyeruput teh yang tadi di buatkan Bu Nadin.
"Sudah dua Minggu sikap Non Sarah seperti itu," Ucap Bu Nadin mengabarkan.
"Terus bagaimana dengan Daren?" Tanya Jesica dengan wajah sedih.
"Den Daren selalu bersama Non Sarah, tidak pernah pergi sedikit pun, tapi hari ini Den Daren harus ke kantor ada rapat penting."
Jesica dan Nagita mengangguk, terlihat ada guratan rasa bahagia setitik di wajah keduanya.
"Saya lega mendengarnya, Ya sudah Bi, kami permisi."
...
Di kantor. Daren termenung sendirian, menatap denting jarum jam dinding, Beberapa kali menghela napas berat seakan jelas dunia akan runtuh. Tidak pernah mendapatkan ujian seberat ini setelah sang bunda Pergi untuk selamanya, kini rasa itu kembali datang, otaknya yang terus bekerja tidak memberi sedikit pun untuknya beristirahat. Keadaan benar-benar kacau, beruntung sang ayah tidak memberi tekanan di saat situasi sekarang ini.
Tiba-tiba ponsel Daren berdering.
"Kenapa yah?"
"Ayah akan ke Jakarta besok."
Daren mengerutkan kening heran, mau apa gerangan sang ayah datang ke Jakarta?
"Ok."
Panggilan terputus.
"Mau ngapain ya Ayah ke sini?" Daren terus bertanya, sampai waktu pulang pun tiba.
Pukul 5 sore Daren sampai rumah, Ia segera mengetuk pintu kamar, kebetulan Bu Nadin sudah pulang karena memang pekerjaan Bu Nadin hanya sampai pukul 2 sore saja.
"Assalamualaikum, Yank, aku pulang." Teriak Daren dari balik pintu.
Sarah yang mana tengah bercermin di depan kaca sehabis mandi segera membuka pintu kamar.
"Waalikumsalam," Jawab Sarah, tersenyum manis menyambut sang suami.
Daren pun ikut tersenyum, mengecup bibir Sarah seperti biasa. "Kamu udah makan?"
"Belum, kan tunggu kamu." Sahut Sarah manja, menggelayut di tubuh Daren yang masih berbalut baju kerja.
"Aku mandi dulu, nanti kita makan sama-sama."
Sarah mengangguk, lalu membiarkan Daren masuk kedalam kamar mandi sedangkan dirinya sibuk menyiapkannya pakaian ganti.
Tring....Satu buah pesan masuk, Sarah melirik layar ponsel Daren. Ada satu buah pesan dari seseorang.
'Den Daren, besok Den Daniel dan Kinan mau ngadain acara 7 bulanan,'
Entah apa kelanjutan dari pesan itu, yang jelas hal itu membuat Sarah tersentak, dalam diam Sarah merenung.
"Jadi selama ini, Daren masih mencari tau tentang Kinan," Sarah nampak tak percaya, berusaha mengusap air mata yang menetes. Jelas wajahnya terpukul, kenapa dirinya baru tau, tapi pertanyaannya kenapa Daren masih mencari tau tentang hidup Kinan, selama ini hubungan dan suka cinta yang terjalin hanya kedok semata? Kata-kata Cinta yang pernah terlontar indah itu hanya kiasan.
Di ujung lemari hias Sarah terisak, begitu overtaking tentang Daren sang suami.
"Mungkin karena kondisi ku Daren kembali berpaling."
Kebetulan Daren membuka pintu kamar mandi, Sarah segera menyeka pipinya lalu berlalu ke luar kamar.
Daren tak menaruh rasa curiga, ia mendekati ranjang di mana pakaiannya sudah tersedia pun gawai miliknya yang tersimpan rapi di dekat nakas.
Di dapur, Sarah berusaha mengatur napas, menangkan diri untuk terlihat baik-baik saja. beberapa kali melatih cara tersenyum.
"Ga, aku harus seperti orang bodoh, mungkin Daren hanya-
Tak ada lagi kata, otaknya buntu, alasan apa kiranya Daren masih mencari tau tentang Kinan. Sarah Terisak kembali. Tapi waktu terus berjalan Daren sebentar lagi keluar.
"Ok Sarah, kamu harus tenang."
...
Pak Dahlan baru saja masuk kedalam ruang kerjanya. Di ikuti Satu pelayan serta membawa dua orang laki-laki.
"Saya permisi Pak." Ucap si Pelayan undur diri.
Pak Dahlan menjentikkan jarinya meminta si pelayan untuk keluar.
"Kalian duduk," Pinta Pak Dahlan.
Kedua laki-laki yang masih sangat muda itu duduk dengan sopan.
"Ini hasil lab milik Nona Sarah yang sebenarnya." Ucap salah satu laki-laki itu, menyodorkan amplop coklat ke atas meja.
Pak Dahlan segera mengambilnya. Menatap amplop itu dengan tawa kecil. "Kerja kalian bagus. Saya akan menjamin kalian akan segera menjadi tenaga medis di sana,"
"Kami sangat berminat mengabdi di rumah sakit itu Pak, Kami tidak ingin terus magang di sana." Keduanya saling tatap penuh semangat.
Pak Dahlan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalian tenang saja, saya akan membantu kalian, untuk sekarang ini bayaran untuk kalian." Dua amplop coklat tebal Pak Dahlan sodorkan.
Kedua laki-laki itu mengambilnya dengan wajah berbinar. "Terimakasih, Pak,"
"Masing-masing 50 juta, sesuai kesepakatan."
...
Di dalam kamar, Pak Anjas nampak gelisah. Keringat bercucuran di wajahnya. Tubuhnya terasa panas. Sampai di mana dadanya terasa sesak.
"Dadaku, sesak," Pak Anjas segera bangun. Berusaha mengatur napas tapi rasa sesak tetap tinggal.
"Pak, Pak, bapak kenapa?" Satu pelayan wanita yang mana baru saja akan keluar kamar selepas membawa botol air berlari dengan panik.
"Fadil, dadaku sesak."
Pelayan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil Fadli.
"Den Fadli, Bapak Den,"
...
Sarah terlihat murung, duduk berdua bersama Daren terasa menyedihkan, pesan tadi terus terbaca di otaknya, Sampai di mana Sarah mencabik lauk di piring.
Daren melirik aneh, segera menarik tangan Sarah yang sibuk menganiaya udang di piringnya.
"Yank, kamu kenapa?"
Sarah perlahan menarik tangan dari genggaman Daren. Gelengan kepala menjadi jawaban.
Daren menghela napas berat, menggeser kursi untuk mendekati Sarah.
"Kamu kenapa? Huh, kita udah bicara masalah itu, kamu dan aku sudah setuju Ayah juga setuju dengan keputusan kamu untuk tetep Mempertahankan bayi kita, Sekarang sikap kamu aneh begini, kamu mau makan apa? Biasanya orang kan suka ngidam, mau liburan mungkin."
Daren menepuk keningnya tak enak. "Aku lupa, kamu di larang berpergian jauh dulu."
Daren seakan asik sendiri, melupakan Sarah yang kini bercucuran air mata.
"Loh kok kamu nangis, kenapa? kalau aku ada salah aku minta maaf." Daren mengusap lembut pipi Sarah, tapi Sarah segera menepis.
Sarah yang tidak ingin melihat Daren berlari ke kamar, Daren lekas mengejar.
"Yank, yank, kamu kenapa sih?"
Di tengah langkah Daren, telepon di dekat televisi berdering, ingin sekali mengabaikannya. Tapi hatinya berkata segera angkat. Alhasil Daren beralih ke telepon.
"Siapa ini?" Tanya Daren malas..
"Den Daren, Bapak Masuk rumah sakit." Ucap orang di sebrang telepon penuh ketakutan.
Daren mengerutkan kening bingung, bapak siapa?
"Bapak siapa? maaf."
"Pak Anjas, Den."
segera Daren melepaskan telepon, berlari ke kamar dan mengetuk secepat kilat.
"Yank, buka, Ayah kamu masuk rumah sakit."
Sarah langsung membuka pintu kamar, terkejut Mendengar ucapan Daren. "Ayah masuk rumah sakit?"
Daren mengangguk, "Iya, ayah masuk rumah sakit."
Tak membuang waktu, keduanya langsung ke rumah sakit, Fadil memberi tau rumah sakit di mana Pak Anjas di rawat, rumah sakit yang sama seperti sebelumnya. Bahkan meminta Sarah dan Daren lekas datang.
Beberapa menit kemudian, Sarah dan Daren tiba di rumah sakit.
Fadli menunggu di ambang pintu ruang ICU. ini adalah kesekian kalinya Pak Anjas keluar masuk rumah sakit, tapi sekarang mungkin yang terparah, sampai harus di masukkan ke ruang ICU.
"Kak," Teriak Sarah setelah tiba.
"De," Fadli memeluk Sarah. Bergantian memeluk Daren..
"Gimana ayah? Kenapa bisa seperti ini." Tanya Sarah, terisak tak kuasa menahan rasa takut di hati, setiap Pak Anjas masuk rumah sakit seperti hantaman baru besar yang di rasakan Sarah. Segala kemungkinan buruk terus menghantui pikirannya.
"Kakak juga ga tau, pelayan di rumah bilang ayah lagi tiduran langsung bangun mengeluh sesak." Kata Fadli menerangkan.
"Udah yank, kamu tegang, in syaallah ayah akan baik-baik aja," Daren menarik Sarah tapi Sarah menoleh.
Hal itu membuat Daren jelas kebingungan, karena tak sebab sang istri bertingkah tidak seperti biasa, Daren hanya menganggap kalau itu adalah bawaan dari calon anaknya.
Sabar Daren, Sabar.
Beberapa menit mereka menunggu, Daren duduk berjarak dengan Sarah, sedangkan Sarah memilih bermanja di bahu sang Kakak, Dianda sendiri duduk di samping Fadli. Keadaan terasa sunyi apalagi di luar hujan rintik-rintik.
Pintu ICU tiba-tiba terbuka. Suster riuh di ambil Pintu..
"Semua keluarga Pak Anjas, tolong masuk."
...
Teman-teman yang masih sangat setia menunggu cerita Daren dan Sarah, aku ucapkan terimakasih banyak, cerita mereka akan terus berlanjut, in syaallah sampai tamat, tapi akhir-akhir ini, aku jarang up episode karena aku sakit lagi, 🤗 mohon bersabar ya, kalau kesehatan ku kembali in syaallah aku rajin up. kalian jaga kesehatan juga ya. Apalagi di cuaca seperti ini. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga dan meridhoi kita, amin....