Joanna memiliki kehidupan yang bahagia. Keluarga yang menyayangi dan mendukungnya. Pekerjaan yang mapan dengan gaji tinggi. Dan calon suami yang mencintainya.
Sayangnya, kehidupan Jo hancur hanya dalam tempo singkat. Usaha keluarganya hancur. Menyebabkan kematian ayah dan ibunya. Dipecat dan bahkan tidak dapat diterima bekerja dimanapun. Dan calon suaminya menikah dengan putri konglomerat.
Dan semua itu karena satu orang. Konglomerat yang terlalu menyayangi adiknya sampai tega menghancurkan kehidupan orang lain.
Jo tidak akan pernah memaafkan perbuatan musuh terburuknya. Tidak akan
yang belum 20 tahun, jangan baca ya🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
"Untunglah tidak terjadi apa-apa" kata Brandon pada istri yang sekarang pulang bersamanya dari rumah sakit.
"Aku terlalu berlebihan. Apa kak Brandon akan membenciku karena itu?"
Brandon menggeleng.
"Tidak. Tentu saja tidak. Selama kau baik-baik saja"
Brandon merebahkan istrinya ke atas ranjang. Setelah memastikan posisi tidur istrinya nyaman, dia pergi ke dapur dan meminta pelayan menyiapkan makan.
"Baik Tuan Powell, kami akan mengantarkan makanan sesegera mungkin"
"Terima kasih"
"Anda tidak perlu berterima kasih lagi. Ini adalah pekerjaan kami"
Brandon kembali ke kamar dan melihat istrinya bermain ponsel.
"Aku sudah menyuruh pelayan menyiapkan makan. Sebaiknya kau tidur. Jangan bermain ponsel"
"Tapi membosankan sekali"
"Aku akan memijat kakimu, bagaimana?"
Brandon memijat kaki istrinya dan kemudian melihat pelayan mengantar makanan. Keduanya makan siang dan kemudian berbaring bersama di atas ranjang.
"Kak Brandon pasti lelah menjagaku di rumah sakit" kata istrinya manja.
"Tidak. Aku tidak lelah"
"Gara-gara aku, kak Brandon harus mengambil cuti. Tapi hal ini bagus. Aku jadi bisa melihatmu sepanjang hari. Juga menikmati perhatianmu"
Brandon tersenyum. Sebenarnya dia merasa sangat lelah. Kalau bisa memilih, dia merasa lebih baik berada di hotel dan bekerja. Daripada harus berada di sebelah istrinya yang terus menuntut perhatian. Tapi ... Bagaimanapun Katherine saat ini sedang mengandung anak mereka. Brandon tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja.
"Tapi kenapa sebenarnya perutmu tiba-tiba sakit?" tanyanya. Istrinya melepas pelukan dan berbaring ke arah yang sebaliknya.
"Tidak apa-apa"
"Apa kau menyembunyikan sesuatu?"
"Tidak"
Brandon tidak lagi bertanya. Tidak ingin membebani istrinya. Dia memilih untuk memejamkan mata, mencoba mengusir penat yang dirasakan selama dua hari ini.
Malam harinya, Brandon berjalan-jalan di taman dan melihat pergerakan besar di rumah kakak iparnya. Ada beberapa buket bunga masuk ke dalam rumah itu.
"Apa itu bunga?" tanya istrinya yang tiba-tiba muncul.
"Sepertinya"
"Tapi banyak sekali. Apa dia dekat dengan seorang wanita?"
"Wanita?" Lalu Brandon teringat pada seorang wanita yang menginap di kamar 890 hotel Crown. Tapi wanita itu sudah pergi.
"Siapa wanita yang bisa membuat kakakku melakukan semua itu? Pasti wanita itu berbeda dari yang lain. Apa kita harus melihatnya?"
Brandon kembali melihat ke arah rumah kakak iparnya. Lalu sebuah mobil sport berwarna putih muncul. Dengan decitan kencang, mobil itu berhenti tepat di depan rumah Tuan Anthony. Melihat keinginan besar istrinya mencari tahu, Brandon menghalangi.
"Ayo, masuk. Jangan mencampuri urusan Tuan Anthony" katanya berusaha mengajak istrinya.
Jo keluar dari mobil Supercar milik pria itu dan menatap rumah mewah yang ada dihadapannya. Meski sudah tiga kali dia kemari, semuanya masih terasa asing untuknya.
"Ini mobil sudah ku kembalikan" kata Jo yang dihubungi oleh sekertaris pria brengsek itu untuk mengembalikan mobil.
Meski sebenarnya kesal, tapi dia tidak punya pilihan lain. Dia lah yang sengaja membawa mobil itu, dan terpaksa harus menelan amarah untuk mengembalikannya.
"Anda diminta menyerahkan kunci ke Tuan Anthony"
"Aku sudah mengembalikan mobil. Urusanku selesai"
"Tapi Tuan Anthony ingin bicara dengan Anda"
Sesuai perkiraan, pria itu ingin bicara dengannya. Mengembalikan mobil hanyalah dalih agar Jo kesini.
"Kalau aku tidak mau?"
"Anda harus mau"
Melangkahkan kaki dengan berat ke dalam rumah pria itu, Jo terpana dengan keberadaan bunga didalamnya. Segala jenis bunga ada di tempat ini. Saat bertanya-tanya alasan bunga itu ada disana, pria brengsek turun dari lantai atas.
"Semua ini untukmu" kata pria itu lalu berjalan mendekat ke arahnya.
"Atau kurang? Apa ada bunga tertentu yang kau suka?" lanjut pria brengsek itu seakan tidak pernah melakukan apa-apa pada Jo.
"Mobil sudah ku kembalikan. Aku pergi" jawab Jo kemudian berbalik. Tapi pria itu dengan cepat menahannya pergi.
"Aku tidak membutuhkannya. Kau bisa membawanya kalau mau. Perhiasan. Apa kau suka kalung? Emas atau berlian? Bagaimana dengan rumah? Apartemen? Tanah?"
Pria ini ... Sedang melakukan sesuatu untuk membayar kelakuannya kemarin. Apa pria itu pikir dengan melakukan semua ini, memberikan apapun itu akan membuat kelakuannya terhapus begitu saja dari ingatan Joanna?
Tapi ... Sesuai dengan apa yang sore ini dia pelajari, Jo menatap mata pria itu dan menjawab.
"Semuanya"
"Apa?"
"Aku mau semuanya"
Alis pria itu naik. Seakan tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Jo.
"Kau ingin bunga, perhiasan, rumah dan tanah?"
"Kau yang menawarkan"
"Iya. Apa kau yakin?"
Jo tetap menegakkan pandangannya, tidak merasa malu pada jawabannya yang akan memberi efek buruk pada dirinya sendiri.
"Iya"
Pria itu tersenyum lalu mengangguk.
"Baiklah. Aku akan memberikan semuanya. Tapi ... Malam ini kau harus menemaniku. Juga malam-malam berikutnya. Kau akan tinggal disini, di rumahku. Dan tidak akan pergi sampai aku menyuruhmu"
Jo melihat sekeliling. Seperti memeriksa kelayakan rumah yang akan dia huni untuk beberapa waktu. Entah itu sehari, seminggu sampai pria itu bosan padanya. Dan menendang Jo keluar.
"Semua kebutuhanku, akan dipenuhi?" tanyanya.
"Semua. Aku akan menyiapkan semuanya"
"Tapi pasti membosankan terus ada di rumah. Aku harus tetap bekerja" katanya mencoba untuk memberikan batasan.
"Selama tidak mengganggu waktu kita bersama"
"Apa yang akan kudapat?" tanyanya, menatap kembali mata pria itu.
"Aku akan memberimu apartemen dan mobil. Juga semua pakaian, tas, sepatu dan perhiasan yang kau gunakan saat berada di sisiku"
"Tapi aku tidak mau disakiti secara fisik" kata Jo memegang lehernya yang sampai saat ini masih membiru.
Pria itu mengulurkan tangan, ingin memegang leher Jo. Tapi dia mengelak untuk memperjelas sisa trauma dalam pikirannya.
"Aku tidak akan melakukannya"
Memang tidak bisa dipastikan pria itu akan mengulangi perbuatannya atau tidak. Apalagi mengingat pria itu begitu sayang pada adiknya. Mungkin saja nanti Jo akan mengalami penyiksaan dan penderitaan yang lebih parah dari ini.
Tapi ...
"Pergunakan tubuhmu, dirimu, untuk membalas dendam pada Anthony Cooper"
Kata-kata yang dia dengar tadi sore, membuatnya terus berpikir bahwa mungkin ini satu-satunya cara untuk membalas semua yang dilakukan pria itu pada dirinya.
"Karena apa yang aku butuhkan belum tersedia. Malam ini aku akan tidur di motel. Kapan aku bisa pindah kemari?" tanya Jo begitu sombong.
Pria itu mendekat lalu menangkap pinggang Jo. Membawanya mendekat, melekatkan tubuh mereka.
"Aku akan mengirimkan mobil ke motel besok pagi. Semuanya akan siap dengan cepat"
Dengan paksa, pria itu mengangkat wajah Jo dan mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya. Jo tidak menolak dan hanya bisa menerima kecupan itu. Meski ingin menolak dan mendorong pria itu menjauh. Demi tujuannya, dia hanya bisa pasrah menerima dan mencoba untuk memperdalam kecupan itu. Menjadi ciuman tak berakhir.
"Aku harus pulang" kata Jo menghentikan apa yang mereka lakukan.
"Aku akan mengantarmu"
Biasanya Jo akan menolak dengan keras. Sesuai sifatnya dia pasti akan melakukan itu. Tapi kali ini tidak.
"Baiklah"