follow Author..
IG : poppy.susanti.7927
FB : Poppy Susanti
Tiktok : Poppy Susan_33
"Menikahlah denganku, maka aku akan membiayai pengobatan adik kamu," seru Dava dingin.
Reva tidak bisa menolaknya, tidak dipungkiri kalau dia butuh biaya untuk pengobatan adiknya sedangkan Dava membutuhkan Reva untuk mengurus kedua keponakannya.
Bagaimanakah nasib pernikahan mereka, akankah mereka berbalik saling jatuh cinta dan berakhir dengan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Menjelang Melahirkan
Sembilan bulan kemudian...
Tidak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat, sudah sembilan bulan Reva dan Rian tinggal di kampung dan diperkirakan sebentar lagi Reva akan melahirkan anak pertamanya dengan Dava.
"Kak, Rian sekolah dulu kalau ada apa-apa tolong suruh tetangga untuk menyusul Rian ke sekolah," seru Rian.
"Iya, Dek."
Jarak sekolah Rian dengan rumah mereka tidaklah jauh, kalau berjalan kaki sepuluh menit pun sudah sampai.
Selama ini di depan Rian, Reva selalu memperlihatkan wajah yang ceria dan tidak pernah membicarakan Dava karena Rian tidak menyukainya. Berbeda halnya jika Rian sudah pergi, Reva akan mengurung diri di kamar dan menangis.
"Ya Allah, kuatkanlah hamba sebentar lagi hamba akan melahirkan semoga diberikan kekuatan dan kelancaran," gumam Reva.
Sementara itu di kediaman Dava, Amelia sudah sangat pusing dengan Dava yang setiap hari mabuk-mabukan. Semenjak Reva menghilang dan Dava tidak bisa menemukannya, sikap Dava berubah drastis.
Dava sering pulang larut malam dalam kondisi mabuk, bahkan dia tidak pernah sarapan di rumah dan hanya sibuk dengan pekerjaannya.
"Nek, Daddy sudah berangkat bekerja ya?" tanya Chika.
"Belum sayang, Daddy kamu masih tidur," sahut Mama Amelia.
"Apa Daddy pulang larut malam lagi?" tanya Cello.
"Iya."
"Kasihan Daddy, semenjak Mommy pergi Daddy jadi berubah tidak pernah bermain lagi dengan Chika dan Cello bahkan dalam seminggu, kita hanya bisa melihat Daddy pada hari minggu saja itu pun kalau Daddy tidak pergi, kalau pergi ya kita tidak akan pernah bertemu dengan Daddy," seru Chika sedih.
"Mommy jahat sudah meninggalkan kita dan membuat Daddy berubah, Cello benci sama Mommy," kesal Cello.
"Iya, Chika juga benci sama Mommy," sambung Chika.
"Eh, kalian jangan bicara seperti itu. Kalian tahu tidak, Mommy Reva pergi itu karena kesalahan Daddy dan Nenek jadi kalian tidak boleh benci kepada Mommy Reva, paham kalian!"
"Iya, Nek."
"Ya sudah, sekarang habiskan sarapan kalian, Nenek antarkan kalian ke sekolah."
Suasana rumah yang awalnya hangat dan penuh cinta berubah menjadi hambar dan dingin. Tidak ada lagi senyuman manis yang selalu menghiasi wajah tampan Dava, sekarang Dava berubah menjadi dingin kembali.
Dava mulai menggerakkan tubuhnya, dia memegang kepalanya yang terasa sangat pusing.
"Astaga, kepalaku pusing sekali ini," gumam Dava.
Dava bangun dan duduk di atas tempat tidur dengan masih memejamkan matanya. Kondisi kamar Dava sangat berantakan, cucian di mana-mana tidak seperti saat ada Reva, kamar itu selalu bersih dan rapi.
Dava berjalan gontai memasuki kamar mandi, dia mengguyur tubuhnya dengan air dingin berharap rasa pusing di kepalanya akan hilang.
Cukup lama Dava berada di dalam kamar mandi, hingga akhirnya Dava pun keluar dengan wajah yang sedikit lebih segar. Dava membuka lemari pakaian dan tidak sengaja melihat foto pernikahan dirinya dan Reva di atas meja.
Dava mengambilnya dan duduk di ujung ranjang sembari memperhatikan foto itu dan mengusapnya.
"Sayang kamu ada di mana? sudah sembilan bulan berlalu, apa kamu sudah melahirkan? apa kamu punya uang untuk biaya melahirkan?" gumam Dava.
Air mata Dava menetes ke atas foto Reva, kantung mata Dava sudah muncul. Bagaimana tidak, selama sembilan bulan ini Dava jarang tidur bahkan selalu mabuk-mabukan berharap bisa menentukan dirinya tapi ternyata mabuk-mabukan tidak bisa membuat hatinya tenang.
"Pulanglah sayang, aku mohon. Jangan terlalu lama marahnya, aku rela kamu marahi, aku rela kamu pukuli, asalkan kamu pulang ke sini," gumam Dava.
Pundak Dava bergetar hebat, lagi-lagi dia menangis dan entah sudah berapa kali dia menangis meratapi penyesalannya yang tidak berujung itu.
Setelah puas menangis, Dava pun segera memakai baju dan hari ini dia akan pergi ke kantor. Setidaknya dengan terus bekerja, dia akan sedikit melupakan rasa sakitnya.
***
Reva saat ini sedang beres-beres di rumah, sebentar-sebentar dia memegang pinggangnya sudah terasa panas bahkan kontraksi yang dirasakannya pun sudah semakin sering.
"Ya Allah sakit sekali," gumam Reva dengan meringis.
Reva duduk sebentar, merasakan sakit yang luar biasa itu. Seharusnya tiga hari yang lalu Reva sudah melahirkan tapi ternyata sampai saat ini Reva belum melahirkan juga.
Setelah dirasa sudah mulai baikan, Reva pun beralih ke halaman rumah untuk menyapu halaman rumah yang penuh dengan daun-daun kering yang berjatuhan.
Tiba-tiba Reva dikejutkan dengan air yang keluar dari daerah sensitifnya.
"Astagfirullah, air apa ini?" seru Reva panik.
Hingga beberapa saat kemudian, ada tetangga yang lewat depan rumahnya.
"Astagfirullah, Reva itu air ketubannya sudah pecah," seru si tetangga.
"Ya Allah, terus bagaimana Bu?" tanya Reva panik.
"Kamu harus segera ke bidan, sepertinya kamu mau melahirkan."
Tetangga Reva langsung berlari untuk meminta pertolongan, dan salah satu dari tetangga yang lainnya langsung berlari menyusul Rian ke sekolah.
"Ayo Reva, Pak RT antarkan kamu ke puskesmas," seru Bu RT.
Reva pun dibantu untuk naik ke atas motor Pak RT, dan Pak RT dengan cepat membawa Reva ke puskesmas.
"Bu bidan! tolong, Bu bidan!" teriak Pak RT.
"Ada apa, Pak?"
"Mbak Reva sepertinya mau melahirkan, tolong bantu."
Bidan desa itu pun membawa Reva ke ruangan bersalin, dan memeriksa keadaan Reva.
"Ya Allah, sakit sekali Bu bidan," lirih Reva.
"Mbak yang sabar, banyak-banyak istighfar dan tarik napas dan keluarkan secara perlahan," seru Bu bidan.
Reva pun melakukan apa yang diperintahkan oleh bidan, hingga tidak lama kemudian Rian pun datang dengan napas ngos-ngosan.
"Bu bidan, apa kakak saya sudah melahirkan?" tanya Rian panik.
"Belum, mungkin sebentar lagi."
Setelah diperiksa ternyata Reva baru pembukaan satu. Wajah Reva sudah dipenuhi dengan keringat menahan rasa sakit yang teramat sakit itu.
"Istighfar Kak," seru Rian.
Berjam-jam, Rian menemani kakaknya sungguh Rian tidak tega melihat kakaknya yang merasakan sakit itu.
"Ya Allah, kuatkan kakak hamba," batin Rian.
Dari siang sampai sore, bidan terus memantau Reva dan ternyata masih saja di pembukaan satu membuat bidan mulai cemas dan khawatir.
"Rian, bisa saya bicara sebentar?"
"Bisa, Bu bidan."
Rian pun mengikuti bidan ke dalam ruangannya.
"Silakan duduk."
"Terima kasih, ada apa Bu bidan? apa ada masalah?" tanya Rian khawatir.
"Rian, sepertinya Mbak Reva harus dirujuk ke rumah sakit soalnya Mbak Reva tidak ada rangsangan. Biasanya kalau sudah kontraksi seperti itu, akan ada rangsangan dari si bayi untuk segera keluar tapi Mbak Reva tidak mengalami itu dan Mbak Reva harus di caesar karena kasihan Mbak Reva harus merasakan kesakitan tapi dia tidak ada rangsangan sama sekali," jelas Bu bidan.
"Berarti kita harus bawa Kak Reva ke kota, Bu?" tanya Rian.
"Iya, kamu jangan khawatir kampung kita kan punya ambulance jadi kita bawa Mbak Reva ke rumah sakit sekarang juga."
Tidak mau berlama-lama, mereka pun segera membawa Reva menuju rumah sakit kota.
*
*
*
Guys, besok gak up dulu ya soalnya Author ada keperluan dulu🙏🙏
ceritanya bagus, alurnya hidup,.... banyak pesan moral didalamnya....