Kirana Aulia, seorang asisten junior yang melarikan diri dari tekanan ibu tirinya yang kejam, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit, ia hamil setelah insiden satu malam dengan CEO tempatnya bekerja, Arjuna Mahesa.
Sementara Kirana berjuang menghadapi kehamilan sendirian, Arjuna sedang didesak keras oleh orang tuanya untuk segera menikah. Untuk mengatasi masalahnya, Arjuna menawarkan Kirana pernikahan kontrak selama dua tahun.
Kirana awalnya menolak mentah-mentah demi melindungi dirinya dan bayinya dari sandiwara. Penolakannya memicu amarah Arjuna, yang kemudian memindahkannya ke kantor pusat sebagai Asisten Pribadi di bawah pengawasan ketat, sambil memberikan tekanan kerja yang luar biasa.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!
IG : @Lala_Syalala13
FB : @Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
JADWAL UPLOAD BAB:
• 06.00 wib
• 09.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKSP BAB 6_Panggilan ke Puncak dan Tekanan Ganda
Kirana baru saja berhasil menyelinap masuk ke mejanya tanpa insiden. Ia mengenakan kemeja berlengan panjang tebal dan syal tipis, berusaha menyamarkan tubuhnya yang terasa dingin sekaligus panas karena demam dan mual. Ia berdoa agar hari itu berlalu cepat, sehingga ia bisa kembali menjadi bayangan.
Namun, sekitar pukul 08:30, Bima, Asisten Senior, menghampiri mejanya dengan wajah tegang.
"Kirana, kamu dipanggil. Sekarang," kata Bima, suaranya hampir tidak terdengar dan kirana pun mendongak.
"Dipanggil siapa, Pak? Ada masalah dengan laporan saya?"
"Bukan. Langsung oleh Pak Arjuna Mahesa," bisik Bima, matanya melebar.
"Bayu, Kepala Staf Khusus, baru saja menelepon. Katanya, kamu harus segera ke lantai Eksekutif. Jangan terlambat. Rapatnya jam 09:00."
Dunia Kirana seolah berhenti berputar. Sebuah panggilan langsung ke Lantai Puncak? Pertemuan empat mata dengan Sang CEO? Ketakutan yang selama ini ia coba kubur kini menyembur ke permukaan. Ia hanya bisa menelan ludah.
"Tapi... kenapa, Pak?"
"Saya tidak tahu! Dia hanya meminta semua asisten junior untuk 'rapat evaluasi performa pribadi'. Tapi kamu yang pertama. Cepat, Kirana. Jangan buat dia menunggu."
Dengan langkah gemetar, Kirana menuju lift eksekutif, jalur yang selama ini ia hindari. Selama perjalanan naik, ia mencoba menenangkan dirinya. Tenang, Kirana. Dia tidak ingat. Dia tidak mungkin ingat.
Jika dia ingat, dia tidak akan memanggilmu. Dia akan memecatmu diam-diam.
Namun, logikanya tidak mampu meredam debar jantungnya. Ia harus bersiap menghadapi CEO dingin yang kini tahu ia adalah salah satu karyawannya.
Saat Kirana berjalan menuju area lift, ponselnya bergetar di dalam tas. Itu adalah pesan dari Wulan.
Mama Tiri (08:45): Kirana! Mana uangnya? Kamu janji transfer kemarin! Kamu pikir saya mau makan apa hari ini? Kalau sampai jam 12 siang uangnya belum masuk, kamu tahu akibatnya! Jangan harap kamu bisa masuk rumah lagi!
Kirana merasa terdesak. Tekanan dari rumah dan di kantor kini datang secara bersamaan, mencekiknya. Ia tahu Wulan tidak main-main. Jika ia tidak mengirim uang, Wulan bisa mengunci rumah dan membuang semua barangnya. Ia benar-benar tidak punya tempat tinggal lain.
Ia harus menyelesaikan urusannya dengan Arjuna Mahesa secepat mungkin dan kembali ke mejanya untuk mencari cara mengirim uang ke Wulan, sebelum ia dipecat dan kehilangan segalanya.
Bayu menyambut Kirana di lantai eksekutif, raut wajahnya tegang.
"Masuk, Kirana. Pak Arjuna sudah menunggu. Bersikaplah profesional."
Kirana mengangguk kaku, membuka pintu besar ruang kerja CEO.
Ruangan itu luar biasa. Pencahayaan alami dari jendela setinggi langit-langit membuat seluruh kota Jakarta terlihat seperti mainan miniatur. Dan di tengah keindahan megah itu, duduklah Arjuna Mahesa di kursi kerjanya.
Ia tampak lebih mengintimidasi dalam lingkungan formal ini. Ia tidak mengenakan jas, hanya kemeja putih mahal yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat. Aura kekuasaannya memenuhi ruangan.
"Duduk, Kirana Aulia," perintah Arjuna, tanpa mengangkat wajahnya dari tablet yang ia pegang. Suaranya formal, dingin, dan benar-benar profesional.
Kirana duduk di kursi kulit di depannya, berusaha agar tangannya yang gemetar tidak terlihat.
Setelah beberapa saat hening yang terasa mencekik, Arjuna meletakkan tablet-nya dan menatap Kirana. Tatapan matanya lurus, tajam, dan sama sekali tidak menunjukkan kehangatan atau pengakuan yang samar-samar dari malam itu.
"Saya memanggilmu karena saya sedang melakukan audit mendalam terhadap performa seluruh staf Marketing, terutama di level junior," ia memulai, suaranya tenang dan datar.
"Catatanmu menunjukkan kamu adalah lulusan terbaik di angkatanmu dan memiliki kemampuan analisis yang kuat. Namun, ada beberapa catatan cuti yang mencurigakan, dan akhir-akhir ini performa harianmu tampak menurun. Apakah ada masalah pribadi yang mengganggu kinerjamu, Nona Aulia?"
Kirana menarik napas dalam, memaksakan dirinya untuk menjaga kontak mata. Ia harus berakting.
"Tidak, Pak. Maaf jika ada catatan yang membuat Bapak khawatir. Saya berjanji, saya akan meningkatkan fokus saya. Mengenai cuti, itu adalah masalah keluarga yang sudah selesai," jawab Kirana, suaranya terdengar tegar meskipun ia harus berjuang keras.
Arjuna menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya tidak terbaca. Ia mengamati Kirana, bukan hanya sebagai karyawan, tetapi sebagai wanita yang ia peluk hanya dua malam lalu. Ia melihat sedikit memar yang disamarkan make-up di pipi Kirana dan betapa pucatnya wajah itu.
"Saya harap memang sudah selesai," kata Arjuna dengan nada yang sedikit lebih lembut.
"Karena di perusahaan ini, saya hanya membutuhkan orang yang 100% fokus. Saya tidak mentoleransi drama pribadi yang mengganggu kinerja. Apakah kamu mengerti?"
"Mengerti, Pak."
Arjuna mengambil napas, kemudian melontarkan pertanyaan yang mengejutkan, melenceng dari topik pekerjaan.
"Kamu terlihat... tidak sehat. Apakah kamu sudah sarapan?"
Pertanyaan itu membuat Kirana bingung. Ia menggeleng pelan.
"Belum, Pak. Saya terburu-buru."
"Kamu harus menjaga kesehatan. Saya tidak ingin ada karyawan yang tumbang karena kelelahan. Jika kamu sakit, kamu tidak produktif," kata Arjuna, kembali ke mode CEO yang logis. Ia menekan tombol interkom.
"Bayu, siapkan sarapan sederhana untuk Nona Aulia. Antarkan ke sini."
Kirana terkejut. Kenapa CEO ini bersikap aneh? Apakah ini bentuk kepedulian yang ia rasakan setelah mereka tidur bersama? Atau hanya trik untuk melunakkannya?
Sementara ketegangan terjadi di ruang CEO, di kediaman mewah keluarga Mahesa, Harun dan Laksmi sedang sarapan pagi dengan suasana yang tegang.
"Arjuna itu sudah sukses, Harun. Anak kita sudah menjadi CEO. Sekarang, dia harus memikirkan pendamping hidup," ujar Laksmi kepada suaminya.
"Aku tahu, Laksmi. Tapi kamu tahu bagaimana anak kita. Pekerjaan adalah segalanya baginya."
"Dia sudah 28 tahun! Seharusnya dia sudah menikah! Dia butuh istri, Harun. Seseorang yang bisa membuatnya hangat, membuatnya tersenyum," desak Laksmi.
"Saya khawatir ia akan menjadi tua sendirian di kantornya yang dingin itu."
Harun menghela napas.
"Baiklah. Malam ini, kita akan makan malam dengan keluarga Chandra. Mereka punya putri yang cantik, lulusan Eropa, selevel dengan Arjuna. Kita akan mengatur pertemuan itu."
"Aku setuju. Sudah waktunya Arjuna menyadari bahwa kekuasaan tidak lengkap tanpa cinta dan keluarga," putus Laksmi, lega karena suaminya setuju untuk mendesak putra mereka.
Mereka berdua tidak tahu bahwa di saat yang sama, putra mereka sedang duduk berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan batas profesionalismenya. Wanita yang, secara ironis, adalah karyawan juniornya sendiri.
Kembali ke ruang CEO, Bayu masuk dan meletakkan sepiring roti bakar dan teh di depan Kirana.
"Makanlah," suruh Arjuna. Kirana merasa tidak enak, namun ia tahu ia tidak boleh menolak perintah bosnya. Ia mengambil satu gigitan roti, dan rasa mualnya mereda sedikit.
Arjuna mencondongkan tubuhnya ke depan, kini suaranya sangat pelan, hanya untuk didengar oleh Kirana. Matanya menatap lurus, tanpa berkedip.
"Nona Aulia. Saya adalah seorang profesional. Dan saya menuntut hal yang sama dari setiap karyawan saya."
Ia berhenti, menatap matanya dalam-dalam.
"Malam itu. Itu adalah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Sebuah anomali. Kita berdua kelelahan dan mabuk."
Kirana menahan napas. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Saya tidak ingat siapa kamu saat itu. Dan kamu juga tidak tahu siapa saya. Oleh karena itu, kita akan melupakan kejadian itu sepenuhnya. Itu tidak pernah terjadi. Di kantor ini, kamu adalah Kirana Aulia, Asisten Junior. Dan saya adalah Arjuna Mahesa, CEO-mu. Jelas?"
Kirana mengangguk cepat, lega campur malu. "Jelas, Pak. Itu tidak akan pernah saya bicarakan dengan siapapun."
"Bagus," kata Arjuna.
"Jika kamu melakukannya, bukan hanya karirmu yang akan berakhir di sini, tetapi kamu juga akan berurusan dengan tuntutan hukum. Aku bisa menghancurkan karirmu tanpa meninggalkan jejak."
Ancaman itu dingin, nyata, dan efektif. Kirana tahu ia tidak punya pilihan.
"Saya janji, Pak. Saya akan bungkam," janji Kirana.
Arjuna kembali bersandar di kursinya, kini tampak puas karena telah mengendalikan situasi.
"Baik. Sekarang kamu boleh kembali bekerja. Tingkatkan performamu, Nona Aulia."
Kirana buru-buru berdiri, membungkuk hormat, dan bergegas keluar dari ruang CEO. Ia merasakan air mata panas menetes. Ia baru saja diancam oleh pria yang tidur dengannya, namun pada saat yang sama, ia lega karena ia tidak dipecat dan rahasianya aman, untuk saat ini.
Ia tidak tahu, bahwa rahasia yang ia bawa di dalam dirinya benih yang ditanam pada malam yang dingin itu sudah mulai tumbuh, dan tidak ada ancaman apapun yang bisa menghentikannya.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
trs knp di bab berikutnya seolah² mama ny gk tau klw pernikahan kontrak sehingga arjuna hrs sandiwara.
tapi ya ga dosa jg sih kan halal
lope lope Rin hatimu lura biasa seperti itu terus biar ga tersakiti