Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Semua Punya Cerita
"Sherly!" Stevan mencegat langkah Sherly yang sedari dipanggil beberapa kali pun wanita itu seolah tuli, tak mengindahkan sahutannya.
Tampak rona keterkejutan yang ditampilkan Sherly saat Stevan berhasil mencegahnya. "Pak Stev-"
"Kamu menghindar?" Pertanyaan to the point itu lantas membuat Sherly gelagapan.
Sekelihatan itu, ya?
"Enggak! Saya nggak-" ucapan Sherly terjeda saat tangannya tiba-tiba ditarik oleh Stevan, sampai membuat posisi keduanya hanya berjarak beberapa sentimeter saja.
"Tolong, jangan menghindari saya hanya karena saya sempat mengungkapkan perasaan sama kamu! Saya tidak minta kamu membalas perasaan saya. Saya hanya ingin kamu tahu. Soal kamu mau membalas atau menolak, itu terserah kamu." Setelah mengucapkan hal itu, barulah Stevan melepaskan Sherly. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Stevan melenggang dari hadapan Sherly.
Anehnya, ketika Stevan meninggalkannya pergi, Sherly merasakan dadanya mengernyit ngilu. Tanpa sadar tangannya terulur menyentuh permukaan dadanya.
Tunggu! Ada apa ini? Tidak mungkin 'kan, Sherly juga memiliki perasaan serupa pada Stevan?
"Pak Stevan!" Sherly mengerjap mata beberapa kali, saat mulutnya bergerak lebih cepat dibandingkan pikirannya.
Langkah Stevan yang baru setengah jalan pun terhenti. Tubuhnya lantas berbalik menghadap Sherly yang tengah memasang ekspresi harap-harap cemas. Entah apa maksud dari ekspresi itu.
"Bisa kasih saya waktu untuk berpikir?"
Saat itu juga, Stevan merasakan dadanya bergemuruh tak biasa. Perasaan hangat yang menjalar dari satu titik di dalam tubuhnya, membuatnya tanpa sadar melengkungkan senyumannya.
"Tentu. Selama kamu mau untuk mempertimbangkan perasaan saya."
...****...
"Terima kasih banyak kepada Kakak Ipar yang sudah dengan baik hati menjamu gue, Vero, sama Keila malam ini! Padahal niat kita tadi ke sini mau jengukin si Alaska, eeh tahu-tahunya udah sembuh. Jadi, malem ini kita mau langsung pulang, Kakak Ipar! Sekali lagi makasih banyak jamuannya!" Nathan berucap panjang lebar pada Sharon. Laki-laki itu bahkan sempat beberapa kali menyanjungnya dengan panggilan yang sedikit terdengar menggelikan.
"Iya, sama-sama! Tapi-"
"Dan untuk Tuan Rumah kita yang terhormat, Bapak Alaska!" Vero tiba-tiba menyela. Membuat perhatian Alaska yang semula jengah, lantas beralih padanya.
"Apaan?" Tanya Alaska, malas.
Sejujurnya, dia amat keberatan menampung tiga orang manusia lain di apartemennya untuk sekadar makan malam seperti yang sudah terjadi saat ini. Tetapi, apalah daya. Jika Sharon sudah memutuskan, Alaska bisa apa?
Suami bucin istri, jadi, ya begitulah!
"Ekhem. Lain kali kalau mau bikin keturunan, cek dulu yang teliti, pintunya udah ditutup apa enggak!"
Saat itu juga, Alaska sudah hendak menyerobot Vero, namun gerakannya langsung ditahan cepat oleh Sharon.
"Mau ngapain?" Sharon bertanya garang. Sontak Alaska berdecak. "Mau kasih pelajaran! Si Vero-"
"Nggak boleh! Salah siapa nggak tutup pintu?" Pertanyaan Sharon, seketika membuat Alaska mengatupkan mulutnya. Niat hati ingin menuntaskan emosinya kepada Vero pun berakhir terurung. Alaska kembali mundur ke belakang tanpa mau berkata apa-apa lagi.
"Maaf, ya! Em, makasih udah sempetin waktu dateng ke sini. Dan, maaf untuk segala yang udah terjadi, mungkin? Haha! Selamat malam semuanya! Dah, Kei!"
"Oh, i-iya, dah!"
Dirasa usai, Sharon langsung menutup pintu apartemen dan menguncinya. Masa bodo dengan Vero, Nathan dan juga Keila yang mungkin kebingungan atas sikapnya. Yang terpenting, tidak akan ada lagi orang yang mengungkit soal kejadian memalukan tadi.
"Yang!" Panggilan manja dari Alaska, refleks dibalas delikan tajam oleh Sharon. "Apa!?"
"Buset, galak banget perasaan."
"Ya, ini semua tuh gara-gara kamu! Mereka jadi lihat 'kan apa yang udah kita lakuin? Kedepannya gimana aku berhadapan sama Kak Vero sama Kak Nathan? Khususnya Keila! Pokoknya aku nggak mau tahu, malem ini kamu tidur di luar!" Keputusan tiba-tiba dari Sharon, membuat Alaska tak terima. Dengan cepat laki-laki mengejar Sharon yang hendak melenggang memasuki kamar.
"Kok, gitu? Terus janji yang tadi?"
"Janji apaan?" Sharon mengernyit bingung. Tak berapa lama, otaknya mulai menangkap maksud dari ucapan Alaska. "Nggak jadi! Bulan depan aja."
"Buset! Masa bulan depan, sih, Yang!? Nggak bisa gitu dong?! Ya udah, oke, maaf! Lain kali pasti pintunya ditutup rapat sama dikunci. Udah, ya, ngambeknya! Please, please, pleaseee! Masa nggak jadi, sih, ah! Terus ini gue gimana?" Alaska merengek tak terima. Kedua lengannya sengaja direntangkan tepat di depan pintu kamar, agar Sharon tidak dapat masuk ke dalam.
"Gimana apanya?"
"Yang, ini udah di ujung. Masa tega sama suami sendiri? Kali ini aja, ya? Pleaseee! Kamu mau apa, nanti aku beliin, janji!" Alaska mencoba bernegosiasi untuk yang kesekian kalinya.
Sungguh, malam ini sudah masuk jatahnya! Alaska tidak mau keinginan mutlaknya diganti di hari lain apalagi jika harus menunggu sampai bulan depan.
"Nggak mau! Minggir!"
"Fine! Cucian biar aku yang nyuci selama dua minggu ke depan mulai besok! Enggak, dari sekarang!" Ucap Alaska, tak kehabisan akal.
Dan sepertinya, usulannya berhasil. Sharon tampak berpikir beberapa saat. "Deal?"
"Deal!" Tanpa pikir panjang, Alaska langsung menggendong tubuh Sharon ala bridal style. Langkahnya yang terburu-buru menjadi saksi bahwa sebentar lagi, keinginannya akan segera terpenuhi.
...****...
Pagi itu, Vilia ditemani Gibran, melakukan check-up ulang ke dokter kandungan. Senyuman manis di wajah wanita itu seolah belum luntur seiring dengan Gibran semakin hari, semakin memperlakukannya dengan manis.
Selepas melakukan chek-up, keduanya mampir ke sebuah tempat pencetakan undangan. Bisa dibilang, dalam waktu dua minggu ke depan, Vilia dan Gibran akan menikah. Dengan restu dari kedua orang tua Gibran tentunya.
Sedangkan orang tua Vilia sendiri, Vilia tidak punya orang tua. Dia hanyalah seorang anak yang dahulu dititipkan di sebuah panti asuhan, lalu diasuh oleh sepasang suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan.
Kedua orang tua angkat Vilia sendiri sangat baik dan perhatian. Sayangnya, mereka berdua telah lebih dulu dipanggil Tuhan disaat usia Vilia telah menginjak angka dua puluh tahun.
Jadi bisa disimpulkan jika Vilia mulai hidup seorang diri sembari melanjutkan bisnis restoran kedua orang tua angkatnya diusia yang terbilang muda.
"Sayang, aku lebih suka yang ini, menurut kamu gimana?" Vilia menunjuk sebuah contoh surat undangan berwarna biru pastel dan putih. Untuk ornamennya sendiri berbentuk untaiai bunga berwarna senada dengan cover.
"Bagus."
"Eh, tapi, kayaknya yang ini jauh lebih elegan, deh. Gimana?" Tunjuk Vilia lagi. Sedikit pun Gibran tak berniat menoleh pada apa yang ditunjuk oleh Vilia.
"Ya udah, boleh."
Senyuman manis seketika luntur di wajah Vilia. Sepasang bola matanya yang semula menatap fokus pada beberapa contoh surat undangan, lantas beralih pada Gibran.
"Kamu dengerin aku, nggak sih? Pernikahan kita tinggal dua minggu lagi, tapi kamu malah bersikap kayak gini? Kamu sebenarnya ikhlas, nggak sih nikah sama aku? Atau kamu terpaksa, karena aku lagi hamil?" Ucapan panjang lebar Vilia, tanpa sadar mengundang beberapa perhatian orang sekitar.
Gibran menghela napas berat, lalu meraih tangan Vilia. "Vilia, maksud-"
"Dari awal sampai saat ini, isi hati dan pikiran kamu tuh cuman Sherly 'kan? Oke, fine! Aku paham! Siapa pun yang lihat juga tahu kalau aku itu cuman pelakor! Kamu mau sama aku juga karena aku hamil darah daging kamu! Kalau nggak, mungkin hari ini kamu lagi berbulan madu sama Sherly!?" Lagi-lagi Vilia menyela ucapan Gibran. Sepasang bola matanya seketika dibuat berkaca-kaca hampir menangis.
"Vilia! Dengerin aku."
"Aku mau pulang aja!" Tanpa berniat menunggu Gibran, Vilia melenggang meninggalkan tempat percetakan undangan dengan langkah terburu-buru.
"Sialan! Vilia, tunggu!" Dengan langkah gontai, Gibran berlari menghampiri Vilia. Tak sampai satu menit, Gibran telah berhasil mencegat langkah Vilia.
"Vilia?" Gibran mengernyit panik saat melihat raut wajah Vilia yang berderai air mata.
Ya. Vilia menangis tanpa suara namun air matanya terus mengalir membasahi wajah cantiknya.
"Vil-"
"Mungkin seharusnya aku emang nggak usah minta pertanggungjawaban kamu waktu itu. Harusnya aku gugurin aja, karena kalaupun aku minta kamu untuk bertanggung jawab, kamu nggak cinta sama aku!" Air mata Vilia kian membajir keluar. Tawa sarkas turut wanita itu perlihatkan disela tangisannya.
"Aku minta maaf udah ngerusak pernikahan kamu sama Sherly! Gara-gara kehamilan ini, aku membuat kalian menderita. Oh, ya! Kamu sekarang boleh mundur untuk nggak nikahin aku. Aku nggak mau maksa perasaan kamu lagi. Aku masih bisa, kok, mengurus diri aku sendiri dan juga calon bayi ini! Kamu boleh pergi, Gibran!"
Saat itu juga, Gibran lantas menarik tubuh Vilia ke dalam dekapannya. Tubuhnya terasa bergetar dengan sesekali terdengar isakkan tangis dari mulutnya.
Sial! Sejahat apa pun Gibran, dia tidak bisa meninggalkan Vilia! Sekalipun wanita itu menyuruhnya pergi, Gibran tidak akan melakukan hal yang serupa untuk yang kedua kali.
"Kamu ngomong apa, sih, Vil? Aku nggak akan pergi selangkah pun dari kamu. Tolong jangan berpikir untuk menggugurkan calon anak kita! Aku yang salah, aku minta maaf! Maaf udah buat kamu terluka! Maaf!"
Detik itu juga, tangisan Vilia semakin menjadi. Air matanya kian meluncur bebas tanpa henti.
"Tapi kamu nggak cinta sama aku, Gibran! Aku nggak mau paksa kamu! Dan untuk di masa depan kalau kamu pengen ketemu anak kita, aku janji, aku nggak akan larang kamu!"
Gibran menggeleng cepat seraya mengeratkan dekapannya. "Mulai detik ini, aku akan belajar untuk mencintai kamu, Vilia! Kita akan membangun sebuah keluarga kecil yang utuh dan penuh cinta untuk anak kita nanti. Aku janji!"
...****...
"Shh, pinggang gue sakit! Mana bagian itu basah terus, lagi! Semuanya gara-gara Alaska!" Disela mengenakan pakaian sehabis mandi, Sharon tak henti-hentinya terus menggerutu sebal. Ekspresinya pun terlihat begitu dongkol, apalagi ketika netranya menangkap pantulan tubuh polosnya di cermin; di mana terdapat banyak sekali bekas kehitaman di beberapa sudut tubuhnya.
"Untung hari ini nggak ngampus! Bisa berabe kalau sampai ada yang lihat." Gerutu Sharon lagi, kemudian memilih melanjutkan kegiatannya.
Oh, ya. Omong-omong soal Alaska, laki-laki itu tengah mencuci pakaian seperti kesepakatan kemarin.
Ya, walau mencucinya pun menggunakan mesin cuci, tetap saja ketika menjemurnya, bagian itu menjadi milik Alaska untuk dua minggu ke depan.
Jika dipikir kembali, hubungan keduanya begitu lucu. Dengan iming-iming mencucikan pakaian selama dua minggu, Sharon merelakan dirinya untuk digempur Alaska semalaman penuh.
Sungguh, Sharon sedikit menyesal akan hal itu! Harusnya Sharon tidak langsung tergiur akan tawaran Alaska. Sharon lupa seperti apa Alaska jika sudah berada di atas tempat tidur.
"Sayang, bajunya udah beres dicuci, sekarang gimanain?" Alaska dengan setelan kaos putih dan celana pendek hitam, keluar dari dalam kamar mandi. Tak lupa membawa sebuah ember berukuran cukup besar yang menampung beberapa pakaian serta seprai yang telah selesai dicuci bersih.
"Ya udah, langsung dijemur di balkon. Hati-hati jemurnya harus pake penjepit baju, kalau enggak, nanti bajunya bisa terbang ketiup angin." Ujar Sharon, tanpa berniat menoleh pada Alaska. Dirinya masih sangat sibuk memilih pakaian apa yang akan dia gunakan di pagi ini.
"Oke."
"Oh, ya, gantungan bajunya juga udah ada di balkon!" Tambah Sharon, yang dibalas acungan jempol oleh Alaska.
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍