kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Suara dari Lantai Dua
Angin berembus lambat ketika senja mulai turun di Desa Karangjati. Matahari tenggelam di balik barisan pohon jati yang menjulang hitam, menyisakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Di sudut desa yang sunyi, rumah tua peninggalan almarhumah Bu Kasih—bidan desa dulu—kini kembali berpenghuni.
Siska berdiri di depan jendela, tangannya memegang mug kopi yang isinya sudah dingin. Matanya menatap ke arah pekarangan belakang yang mulai tertutup kabut tipis. Suaminya, Dokter Erik, masih berada di puskesmas desa, menangani warga yang terserang demam. Sudah tiga hari berturut-turut ia lembur, membuat Siska lebih banyak menghabiskan waktu sendirian di rumah itu.
Dan selama tiga hari itu pula, ia merasa ada yang tidak beres.
Awalnya hanya suara berisik kecil, seperti tikus di langit-langit. Tapi malam kedua, suara itu berubah... menjadi derap langkah. Pelan, tapi jelas.
Siska bahkan pernah mencoba naik ke loteng, hanya menemukan debu tebal dan kardus-kardus tua berisi kain perban dan botol kaca kosong.
Namun suara itu tetap datang. Selalu dari atas. Selalu saat Erik tidak di rumah.
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Lampu minyak tua yang digantung di depan rumah dinyalakan, memberi cahaya kuning redup yang hanya membuat bayangan semakin pekat. Di dalam, Siska baru saja selesai mencuci piring saat angin tiba-tiba berembus dari jendela yang sebelumnya tertutup rapat.
Kreeeekk.
Daun pintu kamar yang menghadap lorong perlahan terbuka sendiri.
Siska menoleh. Nafasnya tertahan. Ia berjalan perlahan, memastikan tidak ada celah angin atau hembusan dari luar yang menyebabkan itu. Tapi semua jendela dan ventilasi tertutup rapat. Hening.
Ia mendekati pintu itu. Ruangan itu dulunya adalah kamar bersalin Bu Kasih, tapi sekarang hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara. Warga menyebutnya "kamar tengah"—dan katanya, di sinilah dahulu beberapa bayi terakhir ditolong lahir oleh sang bidan... sebelum ia menghilang tanpa jejak.
Siska menyalakan senter kecil dan mengintip ke dalam. Tidak ada apa-apa. Tapi ada satu hal yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ada bekas telapak kaki basah di lantai kayu. Kecil, seperti milik anak-anak. Tapi tidak ada air tumpah. Tidak ada jejak menuju ke atau dari mana pun. Hanya dua telapak, seperti seseorang berdiri diam di sana.
Siska mundur, menahan napas. Ia menutup pintu dengan cepat dan mengunci.
Ia tidak tahu bahwa malam ini, bukan hanya suara yang akan datang.
Sekitar pukul sebelas malam, hujan mulai turun pelan. Siska, yang sudah mencoba tidur, terbangun oleh suara sesuatu yang jatuh keras di lantai atas.
Bruk!
Ia terduduk. Rumah ini hanya memiliki satu lantai, tapi di bagian atas kamar belakang memang ada ruang loteng kecil—tempat Bu Kasih dulu menyimpan perlengkapan praktik. Tidak ada jalan naik, kecuali melalui tangga kayu lipat yang digantung di langit-langit lorong dapur.
Dengan jantung berdegup, Siska mengambil senter dan berjalan ke lorong.
Langkahnya pelan, bergema di lantai papan tua. Tangga kayu itu tampak masih tergantung rapat... namun kali ini, ada tali yang menjulur turun, seperti ditarik dari dalam.
Ia menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh tali itu.
Perlahan, tangga turun dengan suara keretakan panjang.
Krekk... krekk... kreeeek.
Tepat saat tangga menyentuh lantai, sesuatu melintas di ujung matanya—bayangan putih yang sangat cepat, seolah hanya sekejap muncul lalu menghilang.
Siska mundur dua langkah. “Erik...?” bisiknya lirih, meski tahu suaminya belum pulang.
Tidak ada jawaban. Hanya bunyi rintik hujan dan... suara seretan kain dari atas.
Siska mencoba menenangkan diri. “Ini hanya perasaanku. Mungkin tikus... mungkin kucing masuk dari plafon bocor.”
Ia memutuskan untuk tidak naik malam ini. Tapi ketika ia membalikkan badan untuk kembali ke kamar, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Semua jendela kini terbuka.
Padahal ia menguncinya sebelum tidur.
Pagi harinya, Erik pulang dengan wajah lelah. Ia menemukan istrinya duduk di ruang tamu, mata sembab, wajah pucat.
“Sayang? Kamu kenapa?”
Siska memandangnya, lalu memeluk erat. “Aku... nggak mau sendirian di rumah ini lagi. Semalam... sesuatu turun dari loteng. Aku dengar sendiri. Aku lihat bayangan, Erik.”
Erik menghela napas, mencoba menenangkan. Tapi ketika ia naik untuk memeriksa loteng, ia menemukan hal yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan logika medisnya.
Ada bekas luka goresan panjang di dinding kayu, seperti dicakar kuku besar. Dan lebih buruk lagi—di pojok ruangan, ada tumpukan rambut putih yang terlihat sangat manusiawi.
Ia tidak memberitahu Siska soal itu.
Belum saatnya.
Di sisi lain desa, Aji duduk bersila di pendapa rumah tua kakek Bolot. Wajahnya murung. Matanya menatap jauh ke arah rumah bidan yang dulu dikenal sangat bersih dan terang.
Kini, rumah itu tampak suram dan bernafas berat, seolah menolak kehadiran orang asing.
“Aku rasa, pusaka itu... memang masih ada di rumah itu, Kek,” gumam Aji.
Kakek Bolot mengangguk perlahan. “Dulu, Bu Kasih pernah bilang... kalau ada benda yang dititipkan padanya oleh Sanem. Tapi dia nggak pernah cerita detail. Hanya bilang, jangan dibuka sampai waktu yang tepat.”
“Dan sekarang... rumah itu kembali dibuka. Energinya bangkit,” kata Aji lirih.
Kakek Bolot menggenggam tasbihnya. “Kalau benar itu pusaka... dan kalau Sanem masih menjaganya dari alam sana... kita harus bersiap. Dendamnya belum selesai.”
Aji menutup matanya.
Malam ini, ia akan ke rumah itu. Bukan untuk menantang... tapi untuk menyapa.
Dan mencari tahu, apakah yang mereka hadapi... adalah roh penjaga, atau arwah yang murka.