Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pagi-pagi buta, saat matahari bahkan belum terbit sempurna, Andre sudah berada di dalam mobilnya. Setelan jas abu gelap, rambut yang disisir rapi, dan wajah lelah yang tersamar di balik kacamata hitam. Bukan ke kantor. Bukan juga ke proyek. Ia pergi dari rumah menuju serangkaian pertemuan informal—kopi pagi dengan pengusaha logistik di Pluit, lalu meeting semi-pribadi dengan distributor material konstruksi di Serpong.
Ia menyetir sendiri. Tanpa supir, tanpa asistennya. Seperti dirinya yang dulu.
Ia bukan lagi “Direktur Andre” seperti yang dulu disambut dengan senyum penuh takzim. Kini ia hanya Andre Suthajningrat—putra gundik yang dicopot dari jabatannya, suami dari cucu mantan diktator, dan pebisnis yang kehilangan semua pilar formalnya.
Tapi yang tak pernah bisa dicopot darinya adalah insting.
Dan hari-hari ini, instingnya sedang bekerja keras.
Sudah lima hari ini Andre menyusun ulang fondasi hidupnya. Ia menjumpai satu per satu rekanan lama—yang dulu ia bantu, atau pernah menguntungkan mereka. Ia bicara jujur, menyampaikan niat untuk membangun proyek kecil dengan modal minimum. Beberapa menolak, banyak yang ragu, tapi dua di antaranya—Pak Ghani dari penyedia beton ringan dan Pak Rafael dari perusahaan furnitur kantor—mengangguk pelan.
“Kamu punya reputasi kerja bagus, Dre,” kata Pak Ghani. “Aku percaya. Kirim proposal. Barang bisa keluar dulu, pembayaran mundur tiga bulan.”
Andre tak banyak bicara, hanya mengangguk dengan kepala tertunduk rendah.
Ia pulang malam, lelah, tapi dengan secercah cahaya di balik matanya. Bukan karena kemenangan. Tapi karena ia memilih untuk tidak menyerah.
Meski begitu… ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya.
Lily.
Bahkan di tengah padatnya jadwal dan jaringan yang ia rajut ulang, Andre tidak bisa mengabaikannya. Ia meminta Mbak Sri di rumah untuk mencatat apakah Lily sudah sarapan. Ia menyelinap ke ruang makan sebelum pergi, sekadar melihat apakah piringnya disentuh.
Ia mengecek CCTV halaman depan—bukan untuk mengawasi, tapi untuk memastikan Lily pulang dengan selamat.
Ia memperhatikan dari kejauhan. Mata Lily makin sayu. Kantong matanya menggelap. Senyumnya yang dulu sempat hangat, sekarang lebih sering tak ada. Bahkan riasan wajahnya terlihat terburu-buru. Ia tahu Lily sedang tidak baik-baik saja.
Dan saat thread di X mengenai tanah restoran itu mulai viral—“Cucu Diktator Gunakan Tanah Negara untuk Usaha Pribadi”—ia langsung mengecek layar ponselnya tiap jam.
Lily tidak bicara apapun.
Ia tidak menangis, tidak mengeluh. Tapi diamnya itu—membunuh perlahan.
Andre menyaksikan bagaimana istri yang disayanginya memilih diam sebagai tameng.
Ia ingin memeluk. Ingin mengatakan bahwa ia di sini, masih ada, tak pergi.
Tapi harga dirinya selalu jadi belati. Ia tak tahu harus mulai dari mana.
⸻
Malam itu, Andre pulang lewat pukul sembilan. Rumah gelap. Hanya lampu ruang kerja di lantai dua yang menyala. Ia naik perlahan, membuka pintu sedikit dan mendapati Lily tertidur di kursinya. Kepalanya bersandar ke meja, laptopnya masih menyala dengan puluhan tab terbuka.
Desain restoran. Revisi. Gambar yang dicoret. Berita tanah negara. Laporan keuangan. Email balasan dari lawyer.
Andre berdiri di depan layar, takjub. Lily bekerja tanpa henti, sendirian.
Tangannya menyentuh mouse, ingin mengecilkan layar agar tak menyakiti Lily lebih jauh. Tapi saat itu, kepala Lily bergerak dan menyentuh tangannya.
Lily terbangun. Matanya kaget sesaat, lalu redup.
Andre segera mundur. “Maaf. Aku ganggu, ya.”
Ia berbalik, membuka pintu.
Lily menatap punggung Andre dengan mata yang basah namun tak mengatakan apa pun. Saat pintu tertutup, Lily menyentuh pipinya sendiri. Dingin.
Ia ingin ditemani. Tapi pria yang paling ingin ia temani… justru menjauh.
...****************...
Tiga hari kemudian
Andre sedang mengecek ulang revisi proposal untuk proyek kecilnya saat ponselnya bergetar.
Nama yang muncul di layar membuat napasnya tercekat.
Kak Andrea
Andre mengangkat cepat. Suara panik seorang perawat menyambutnya.
“Apakah ini keluarga Ibu Andrea? Pasien masuk UGD setelah ditemukan overdosis…”
Kepalanya kosong.
Ia langsung bangkit, menutup laptop, dan berlari ke garasi.
Tak peduli lagi jam berapa.
Tak peduli siapa yang menilai atau memperhatikan.
Gas diinjak habis.
Mobilnya menjerit di tikungan, seperti jiwanya yang sedang berlari tanpa arah.
Andrea.
Satu-satunya kakak perempuan yang dulu menyembunyikannya saat ayah mereka marah.
Yang mengusap kakinya dengan balsem saat Andre kecil tersandung sepeda.
Yang tetap memanggilnya “Adikku” meski dunia berkata sebaliknya.
Kini ia terbaring di UGD—karena terlalu banyak luka yang tak tertangani.
Dan Andre, untuk pertama kalinya, tak ingin menyalahkan siapa-siapa lagi.
Ia hanya ingin tiba. Dan menggenggam tangan kakaknya.
...****************...
Sirene mobil meraung di kejauhan. Andre memutar kemudi tajam ke arah jalan Gatot Subroto. Matanya fokus, tapi tangannya gemetar.
Kakak. Tunggu aku. Jangan pergi.
Mobilnya menembus malam Jakarta yang pengap.
Ia tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang tak pernah membencinya.