🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pergi Dari Rumah
Hafsa merasa dunianya berhenti berputar sejenak. Jantungnya berdegup cepat, dan matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari wajah Gus Sahil yang penuh ketegangan. Sesaat yang terasa begitu panjang, tidak ada kata yang keluar dari bibir Hafsa.
"Izin poligami?" Hafsa akhirnya mengucapkan dengan suara yang terdengar gemetar. "Njenengan serius?"
Gus Sahil mengangguk perlahan, matanya terus memandang Hafsa dengan harap-harap cemas. "Iya, Sa. Aku serius. Aku ingin minta izin untuk memiliki istri kedua."
Hafsa merasa seperti dunia seakan runtuh di hadapannya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa saat ini, dalam keadaan yang seharusnya penuh kebahagiaan setelah Umi Zahra sembuh, Gus Sahil akan mengungkapkan keinginan poligami.
"Maksudnya, njenengan ingin menikahi wanita lain, Gus?" Hafsa mencoba menjernihkan pikirannya. Memastikan sekali lagi kalau telinganya tidak salah dengar.
Gus Sahil menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Iya, Sa. Aku ingin menikah dengan Roha."
Hafsa merasakan sesak di dadanya. Roha, gadis yang Hafsa pikir sudah tidak akan menjadi sandungan lagi di rumah tangganya karena akan menikah, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Gus Sahil ternyata tidak rela kehilangan gadis itu dan malah ingin menghadirkan Roha di dalam kehidupan mereka.
"Apa alasannya Gus?" Kedua tangan Hafsa mengepal kuat. "Kita bahkan baru genap satu bulan menikah. Tapi sekarang apa? Poligami? Njenengan bercanda Gus,"
"Dengarkan aku dulu Sa," Gus Sahil mencoba menjelaskan. "Kamu tahu kan, kalau selama ini yang mengurus Umi itu Roha? Coba lihat di rumah sakit kemarin, siapa yang paling Umi butuhkan? Sudah pasti Roha. Roha itu sudah seperti anak kandung Umi sendiri Sa, tidak mungkin dipisahkan. Kalau nanti Roha menikah sama Kang Alwi, bagaimana dengan Umi?"
"Itu karena njenengan nggak pernah sekalipun memberikan saya kesempatan untuk mengurus Umi," Hafsa berkata berapi-api. "Gus, sebenarnya kurang saya apa? Selama ini saya cuma bisa diam, menerima kenyataan kalau njenengan tidak mencintai saya. Saya juga nggak pernah sekalipun bilang ke Abah atau Umi, atau bahkan orangtua saya sekalipun, tentang perlakuan njenengan terhadap saya!" Nafas Hafsa tersengal. Wajahnya merah padam.
"Tapi sekarang coba lihat, apa balasannya? Poligami? Silahkan Gus! Saya yang akan pergi dari sini,"
Hafsa membuka lemari pakaiannya, dengan cepat meraih koper besar yang tersimpan di sana. Memasukkan semua baju hingga tak tersisa lagi.
"Sa! Tunggu Sa!" Gus Sahil berusaha mencegah. "Jangan gegabah kamu! Umi baru keluar dari rumah sakit, jangan bikin Umi khawatir!"
"Njenengan mengkhawatirkan Umi, tapi pernah nggak memikirkan perasaan saya?!" Hafsa dengan tegas menepis tangan Gus Sahil. "Semua itu sebenarnya cuma alasan kan? Bukan Umi Zahra yang butuh Roha, tapi njenengan sendiri yang nggak mau kehilangan dia!"
Gus Sahil seketika terpaku mendengar bentakan Hafsa.
"Sa, aku.."
Hafsa menyeret kopernya dengan susah payah. Mengabaikan Gus Sahil yang berusaha keras menahannya.
"Loh, Sa? Mau kemana malam-malam?" Umi Zahra sepertinya mendengar keributan mereka, tergopoh-gopoh keluar. Abah Baharuddin ikut menyusul di belakangnya.
"Umi, Abah, Hafsa pamit dulu mau pulang," tanpa mencium tangan kedua mertuanya, Hafsa berlalu dari hadapan mereka, melangkah lurus ke pintu keluar.
"Ada apa Hil?" Umi Zahra ganti menatap sang putra yang terlihat bingung. "Istrimu kenapa?"
"Sebentar ya Mi, biar Sahil kejar dulu," Gus Sahil mencoba menenangkan Umi Zahra, kemudian berlari menyusul Hafsa.
"Brur! Mabrur!" Hafsa berteriak memanggil Mabrur yang kebetulan sedang duduk-duduk di sekitar parkiran bersama Gus Ihsan. Dua laki-laki itu jelas kaget melihat kedatangan Hafsa yang sedang menenteng koper.
"Njenengan mau kemana malam-malam Ning?" Gus Ihsan beranjak dari duduknya, menghampiri Hafsa.
"Brur, cepat antar aku ke Bahrul Ulum. Aku mau pulang malam ini juga," Hafsa tidak menggubris pertanyaan Gus Ihsan, segera memasukkan kopernya ke dalam mobil.
"Hafsa!" Gus Sahil meraih pergelangan tangan Hafsa. "Jangan begini. Ayo bicara dulu baik-baik,"
"Nggak ada yang perlu dibicarakan Gus," Hafsa menatap tajam Gus Sahil. "Saya sudah tidak bisa bicara baik-baik sekarang,"
"Tunggu dulu, ayo kita selesaikan ini dengan kepala dingin!"
"Saya nggak bisa Gus! Lepaskan!"
Hafsa meronta kuat, berusaha melepaskan tangannya yang dipegang Gus Sahil. Tapi Gus Sahil sama sekali tidak berniat melepaskannya.
"Lepaskan Gus," Gus Ihsan yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan mereka akhirnya meraih tangan Gus Sahil. "Jangan dipaksa,"
Gus Sahil memandang Gus Ihsan dengan tatapan amarah. Apa-apaan, kenapa laki-laki ini ikut campur segala?
Hafsa yang merasa tangannya terbebas tidak membuang kesempatan, segera masuk ke dalam mobil dan mengunci pintu. Mabrur yang masih bingung tapi tetap sigap juga segera menyusul masuk, memanaskan mobil.
"Hafsa!" Gus Sahil menggedor-gedor kaca mobil. "Turun! Ayo kita bicara!"
"Jalan Brur," Perintah Hafsa pada Mabrur yang masih tampak ragu-ragu.
"Tapi Ning?"
"KUBILANG JALAN!"
Mabrur, yang baru pertama kali melihat istri gusnya berteriak begitu keras tentu merasa kaget. Ia dengan cepat menginjak pedal gas, melajukan mobil keluar dari gerbang Ponpes Darul Quran.
Gus Sahil masih mencoba mencegah kepergian mereka, memanggil-manggil nama Hafsa sembari tangannya menggapai sisi mobil. Gus Ihsan yang melihatnya berusaha mencegah, menahan tubuh Gus Sahil.
"Biarkan saja dulu Gus, saat ini Ning Hafsa butuh waktu untuk sendiri,"
Mobil yang ditumpangi Hafsa sudah menjauh. Meninggalkan Gus Sahil yang masih berdiri di sana bersama Gus Ihsan. Disusul Umi Zahra dan Abah Baharuddin yang berdiri di depan pintu ndalem.
...----------------...
Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mata Hafsa tidak henti-hentinya mengalir. Dia merasa hancur dan dikhianati oleh orang yang ia cintai. Selama ini, Hafsa masih merasa yakin kalau kebekuan hati suaminya bisa luluh dengan kesabaran. Tapi nyatanya tidak. Gus Sahil sama sekali tidak sudi membuka hati, meski berkali-kali ia mengetuk sampai hatinya berdarah-darah.
Mabrur hanya bisa menyetir dalam diam. Dia tidak tahu apa masalah sebenarnya, tapi ia paham kalau Hafsa sama sekali tidak bisa diganggu sekarang.
Mabrur membelokkan mobilnya menuju pom bensin. Perjalanan masih butuh satu setengah jam lagi, dia harus mengisi tangki bensin dulu sebelum melanjutkan.
"Njenengan mau turun Ning?" Mabrur menawarkan. Ia mau mampir dulu untuk buang air kecil di kamar mandi umum.
Hafsa menggeleng. "Aku titip belikan minum saja Brur,"
Mabrur menganggukkan kepala. Ia membiarkan mesin mobil tetap menyala agar Hafsa tidak kepanasan.
Dering telepon yang entah sudah keberapa kali lagi-lagi diabaikan oleh Hafsa. Dia tidak tertarik untuk melihat siapa yang menelepon. Mungkin Abah Baharuddin, mungkin juga Umi Zahra. Kalau Gus Sahil? Jangan harap laki-laki itu akan menghubunginya. Nomornya mungkin malah tidak disimpan sama sekali.
Pikirannya mulai berkecamuk. Sebenarnya apa yang kurang darinya, hingga Gus Sahil sama sekali tidak mau melihatnya? Apa benar Roha jauh lebih baik dari dirinya?
Memikirkan itu membuat air mata Hafsa kembali mengalir. Semua pengorbanan dan usahanya selama ini terasa seperti sia-sia. Hafsa merasa marah, sedih, dan kecewa sekaligus.
...----------------...
"Loh, Nduk? Ngapain malam-malam datang kesini?" Umi Hana menyambut kedatangan Hafsa dengan terheran-heran.
Jelas saja, ini sudah pukul dua belas malam. Semua orang sudah tidur, sampai seorang santri putra yang sedang berjaga membukakan gerbang karena kedatangan putrinya itu.
"Hafsa kangen Umi," Hafsa memeluk Umi Hana erat-erat. "Hafsa capek, Hafsa pengen pulang kesini. Boleh kan Mi?"
Umi Hana balas memeluk erat sang putri. Dia tahu ada masalah besar yang sedang dihadapi putrinya itu. Tapi bukan waktu yang tepat untuknya bertanya sekarang.
"Tentu saja boleh nak. Kapanpun kamu mau, pintu rumah kami selalu terbuka untukmu,"