"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Kerinduan yang Menekan
Minggu dimulai dengan berbeda. Molly tiba di kampus lebih awal, tetapi pikirannya melayang jauh. Sejak bertemu Briana, segalanya tampak berubah dalam hidupnya. Lorong-lorong universitas tidak lagi memiliki kilau yang sama ketika pengusaha itu tidak ada. Kehadiran magnetis Briana menemaninya dalam pikiran, dalam kenangan, dalam setiap detail yang terus kembali.
Namun, pagi itu, Molly menerima kabar yang membuatnya gelisah: Briana harus melakukan perjalanan mendadak. Pertemuan internasional yang tidak dapat ditunda di London. Tiga minggu lamanya.
Tiga minggu.
Kata-kata itu bergema dalam benak gadis itu seperti beban yang mustahil untuk dipikul.
"Dia akan kembali... tentu saja dia akan kembali," Molly bergumam pada dirinya sendiri, memeluk buku-bukunya erat-erat di dadanya. Tetapi perasaan hampa tumbuh, menyesakkan dirinya.
Malam sebelumnya, Briana menemuinya diam-diam di tempat parkir kampus. Mobil mewah pengusaha itu menunggu dalam bayangan, dan Molly, dengan cemas, berlari menghampirinya.
"Masuk, sayang," kata Briana dengan suara tegasnya, tetapi tatapannya mengkhianati sesuatu yang berbeda.
Molly masuk, dan aroma parfum Briana yang kuat menyelimutinya. Selalu ada campuran kekuatan dan kenyamanan berada di sisinya.
"Aku harus memberitahumu sesuatu," Briana memulai, menyentuh ringan tangan gadis itu. "Besok pagi aku berangkat. London menungguku, beberapa kontrak penting perlu ditandatangani."
Hati Molly tenggelam.
"Lama?" suaranya keluar rendah, hampir kekanak-kanakan.
Briana menganalisis wajahnya, seolah ingin mengingat setiap detail. "Tiga minggu."
Molly memalingkan muka, berusaha menahan air mata. Dia tidak ingin terlihat lemah, tetapi di dalam dirinya, pusaran ketidakamanan dan kerinduan yang diantisipasi mulai terbentuk.
Briana, menyadarinya, memegang dagunya dan membuatnya menatap langsung ke mata biru intensnya.
"Kamu akan memikirkanku setiap hari, Molly. Aku tidak akan membiarkanmu melupakanku sedetik pun."
"Bagaimana aku bisa lupa?" Molly berbisik, merasakan jantungnya berdebar kencang.
Ciuman yang datang setelahnya lambat, sarat dengan janji. Ciuman yang mengatakan "aku akan kembali", tetapi juga meninggalkan jejak ketidakhadiran yang akan segera dimulai.
Sekarang, duduk di ruang kelasnya, Molly tidak bisa memperhatikan apa pun. Setiap kata guru terdengar jauh. Setiap halaman buku tampak kosong.
Dia terus-menerus menatap ponselnya, menunggu pesan, panggilan. Briana berjanji untuk menelepon begitu dia mendarat, tetapi perbedaan zona waktu membuat segalanya lebih sulit.
Malam itu, sendirian di kamarnya, Molly berguling-guling di tempat tidur, merindukan nada suara Briana, cara dia membuatnya merasa unik. Dia memeluk bantal, membayangkan itu adalah dia.
"Mengapa kerinduan ini begitu menyakitkan? Aku baru mengenalnya beberapa minggu, tetapi rasanya hidupku selalu menjadi miliknya..." pikirnya, menggigit bibirnya, cemas.
Hati naif Molly mulai menemukan apa artinya terpesona oleh seseorang seperti Briana Anderson.
Ponsel bergetar mendekati tengah malam. Molly bangun dengan melompat, jantungnya hampir keluar dari mulutnya.
"Briana!" jawabnya, terengah-engah.
Tawa rendah Briana datang dari ujung telepon. "Aku tahu kamu akan terjaga."
"Tentu saja aku akan terjaga..." jawab Molly, malu.
"Penerbangannya melelahkan, tetapi sekarang, mendengar suaramu, semuanya terasa lebih baik," Briana mengakui. "Katakan padaku, apakah kamu sudah merindukanku?"
Molly memejamkan mata, merasakan panas menjalar ke wajahnya. "Lebih dari yang aku bayangkan."
Di seberang sana, Briana menghela nafas. "Aku menyukainya, sayang. Aku suka tahu bahwa kamu milikku bahkan dari jauh."
Kata-kata itu bergema di dada Molly seperti cengkeraman manis dan menyakitkan. Dimiliki. Persis seperti itulah perasaannya.
Mereka berbicara selama ber menit-menit, sampai kantuk mengalahkan Molly. Sebelum menutup telepon, Briana berbisik:
"Bermimpilah tentangku. Jangan dengan orang lain."
Hari-hari Penantian
Hari-hari berikutnya merupakan tantangan. Molly pergi ke kampus, tetapi tidak ada yang tampak berwarna. Dia tidak nafsu makan, kurang tertawa, dan teman-temannya mulai memperhatikan perubahan itu.
"Apakah kamu baik-baik saja, Molly?" tanya temannya, Clara.
"Hanya... lelah," bohongnya, tanpa keberanian untuk mengungkapkan alasan sebenarnya.
Di malam hari, pesan-pesan dari Briana menjadi satu-satunya penghiburan. Foto-foto rahasia makan malam mewah di London, pesan-pesan pendek, tetapi selalu intens.
"Ingatlah bahwa kamu milikku."
"Tidak ada yang bisa menyentuhmu."
"Aku akan segera kembali."
Frasa-frasa itu menjadi makanan Molly, yang menyimpan setiap kata seperti harta karun.
Tetapi ada juga bayangan ketakutan. Bagaimana jika Briana bertemu orang lain di London? Bagaimana jika dia melupakannya di tengah begitu banyak orang penting?
Molly membenci dirinya sendiri karena berpikir seperti itu, tetapi ketidakamanan masa muda berbicara lebih keras.
Suatu malam, tidak tahan lagi, Molly memutuskan untuk merekam pesan suara:
"Briana, aku tahu kamu sibuk, tapi... aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Aneh... kamu masuk ke dalam hidupku begitu tiba-tiba, dan sekarang sepertinya semua yang aku lakukan berkisar di sekitarmu. Aku tahu itu mungkin terdengar bodoh, tapi begitulah perasaanku..."
Dia mengirimnya, menyesal hampir seketika.
Beberapa menit kemudian, jawaban datang. Suara Briana rendah, tetapi sarat dengan intensitas:
"Molly... kamu tidak tahu betapa berartinya ini bagiku. Jangan berpikir kata-katamu bodoh. Aku ingin kamu merindukanku. Aku ingin kamu bergantung padaku. Aku ingin menjadi segalanya bagimu."
Gadis muda itu merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Kata-kata itu seperti rantai tak terlihat, dan dia menerima masing-masing dari mereka dengan senang hati.
Minggu-minggu berlalu seperti berabad-abad. Setiap hari tanpa Briana adalah pertempuran melawan kehampaan.
Molly mulai menulis di buku harian, mencatat perasaan yang tidak bisa dia bagikan dengan siapa pun:
"Hari ini aku bermimpi tentang dia lagi. Dalam mimpi itu, Briana kembali dan menarikku ke dadanya, mengatakan bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku sendirian lagi. Aku bangun sambil menangis. Aku merasa aku menjadi gila tanpanya."
Dan di tengah kerinduan, Molly menyadari sesuatu: dia benar-benar jatuh cinta.
Itu bukan hanya kekaguman atau pesona. Itu adalah cinta. Murni, menyakitkan, mempesona.
Pada malam sebelum kepulangannya, Briana menelepon melalui video. Molly menjawab dengan tangan gemetar.
"Molly..." kata Briana, wajahnya diterangi oleh layar. "Besok aku akan berada di sana. Aku ingin kamu siap."
"Siap untuk apa?" tanya Molly, bingung.
Briana tersenyum, senyum menggoda yang membuatnya kehilangan napas. "Untuk tidak pernah menjauh dariku lagi."
Jantung Molly berdebar kencang. Kerinduan yang menekan akan segera berubah menjadi sesuatu yang lebih besar: penyerahan.