Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
021. Kehilangan
Saat menerobos masuk ke rumah, Dul melihat Mbah Wedok keluar dari kamar tergopoh-gopoh. Wajah wanita itu memucat dan memekik.
“Bara lagi! Sebut lagi dia pakai mulutmu itu!”
Dul menyadari malam itu sangat kacau. Mulutnya masih berdenyut. Teriakan Mbah Lanang yang menghardik bapaknya terdengar sangat keras. Ia yakin semua tetangga pasti mendengarnya. Mbah Wedok yang masih sangat pucat terhuyung-huyung berjalan mendekatinya. Mbah wedok—yang sebenarnya takut darah—memberanikan diri melepaskan tangan yang sejak tadi membekap mulutnya.
“Mau jadi orang tua yang bijak, ya? Terlambat! Kalian sekeluarga udah banyak makan uangku.”
Bapaknya tetap berteriak. Kadang Dul mendengar apa yang dikatakan bapaknya. Namun, kadang ucapan pria itu tidak jelas karena ia juga sibuk meneriakkan nama ibunya. Dul membenamkan wajah di balik bantal. Ia terus berteriak, menangis meraung-raung meminta Mbah Lanang menelepon ibunya.
“Aku mau Ibu .… telepon Ibu!” Dul terus meraung. Lalu, terpikir akan sesuatu, ia membuka bantalnya untuk menoleh Mbah lanang yang berdiri membelakangi ruang tamu. Sesaat mbahnya bergeming. Dan ia menyadari kalau bapaknya sudah tak terlihat di depan pintu.
Bapak udah enggak ada. Tapi apa aman kalo Ibu datang ke sini sekarang? Kalau Ibu dipukuli lagi, itu pasti salahku karena terlalu cengeng.
Dul kini benar-benar duduk menegakkan tubuh. Ternyata bapaknya memang sudah tak ada di sana. Mbah Lanang berbalik dan menyambar ponselnya di sebelah televisi.
“Kamu ke sini si Dul dipukul bapaknya. Mulutnya berdarah. Dia nangis-nangis minta kamu datang.” Mbah Lanang lalu meletakkan ponsel dan duduk di bawah gawang pintu menuju dapur.
Ia tak lagi meraung. Tapi persediaan air matanya masih banyak. Mengucur begitu derasnya karena rasa sakit yang dirasakannya di tempat berbeda. Bukan mulutnya, tapi hatinya. Sekarang hatinya lebih sakit dari luka di mulut yang disebabkan seseorang bernama Bapak.
Beberapa waktu yang lalu, ia sempat merasa menjadi seorang anak yang disayang, dihargai dan diharapkan sosial keberadaannya. Sebelumnya ia hanya mengenal kasih sayang dari ibunya. Usapan di kepala, cubitan gemas di pipi, cubitan di dagu, pijatan lembut di bahu atau hangat pelukan di tubuh kurusnya. Semua itu hanya ia rasakan dari ibunya.
Namun, setelah Bara masuk dalam hidup ia dan ibunya, pria itu menambahkan hal serupa padanya. Persis sama. Bahkan cara Bara menggandengnya tiap kali mereka hanya berdua, sangat mirip dengan yang dilakukan ibunya.
Di usia itu ia sudah bisa menilai seberapa besar ketulusan Bara. Pria itu tak pernah berlebihan memperlakukan saat berada di depan ibunya. Malah, baginya Bara bersikap sangat manis saat ibunya sedang tak ada di dekat mereka.
Mbah Wedok datang dari belakang menyodorkan singlet semasa bayinya yang sudah dibasahi dengan air.
“Tutup pakai ini biar sakitnya kurang,” pinta Mbah Wedok.
Tanpa menjawab, Dul mengambil singlet itu dan menggunakannya untuk menutup mulut. Singlet yang diberi air dingin itu rasanya menenangkan. Rasa berdenyut di bibirnya berangsur berkurang.
Ia sedang asyik menikmati bibirnya yang sejuk seketika, saat ibunya muncul di ambang pintu depan.
“Kenapa Dul sampe kayak gini? Kenapa?”
Ibunya yang baru datang mencampakkan tas dan menangkup kedua sisi wajahnya untuk memeriksa luka. Teriakan ibunya nyaris sama keras dengan teriakan bapaknya tadi. Berkali-kali ibunya menyusurkan pandangan dan meraba wajahnya.
“Jari-jarinya sampe ninggalin bekas kayak gini. Dasar kurang aja,” desis ibunya.
Orang yang harusnya dihormati karena usia dan status hubungan keluarga dengannya, malah membuat pria itu lebih mudah menyakitinya. Seolah, karena ia 'hanya’ seorang anak tak berdaya, orang yang dipanggil ‘Bapak’ itu merasa punya hak untuk memukulnya.
Anehnya malam itu Mbah Lanang terlihat sedikit membela ia dan ibunya. Dan Dul semakin tidak mengerti, sebenarnya ada di pihak siapa Mbah Lanang.
“Aku lagi yang salah! Aku! Aku udah usir laki-laki itu biar nggak di dekatku lagi. Bapak kira karena aku takut sama Fredy? Iya? Bukan, Pak. Aku malu dengan keadaanku sendiri. Statusku, keadaan keluargaku …. Aku udah pasrah kalau memang sampai mati aku gini-gini aja. Tapi …. Mbok, ya, jangan anakku!”
“Berhenti judi! Jangan ambil apa pun lagi dari dia. Bapak kira selama ini aku nolak uang dia karena apa? Aku nggak mau kita jadi budak dia lagi. Kalian bilang aku hampir mati, hampir gila karena dia. Tapi kalian nggak mau nolongin aku lepas dari dia. Lalu aku harus hidup kayak mana? Ya, Gusti ….”
Dul kembali meraung. ibunya menangis sambil memukuli dadanya sendiri, memukuli kepalanya berkali-kali dan menghantamkan tinju ke tembok.
“Ibu … jangan ….”
Malam itu, ia tak punya tenaga untuk mencegah ibunya pergi. Terdengar olehnya Mbah Lanang membacakan sederet alamat keberadaan bapaknya. Mendengar hal itu saja, Dul sudah tak berani.
Ibunya mengatakan akan membayar hutang pada bapaknya. Hutang siapa lagi kalau bukan hutang judi Mbah Lanang di warung? Mbah Lanang sudah terlalu banyak memakai uang bapaknya.
Saat ibunya berdiri, Dul menangkap kakinya. Memeluknya sangat erat dengan harapan ibunya mengurungkan niat bertemu bapaknya. Malam itu harusnya ibunya tak boleh pergi. Sudah cukup malam dan keadaan ibunya amburadul. Tergambar jelas keletihan di wajah ibunya yang belum membiarkan tubuhnya beristirahat hari itu. Dan kemungkinan besar, ia dan ibunya sama. Sama-sama belum makan malam.
"Ibu ...." Hanya itu yang bisa diucapkan Dul. Namun, perempuan yang melahirkannya itu, tak menjawab sedikit pun. Tak juga memandang wajahnya.
Dul semakin mengeraskan tangisannya. Berharap kalau ratapannya itu bisa mencegah kaki ibunya melangkah keluar pintu. Nyatanya malam itu adalah malam terakhir Dul bisa melihat ibunya.
Dan malam itu, ia tak mendengar berita apa pun lagi. Ibunya tak kembali ke sana. Mbah Lanang dan Mbah wedok tak mengatakan apapun. Dul menganggap bahwa ibunya pulang kembali ke kos-kosan.
Ibu besok pasti akan datang. Ibu pasti bakal tanya soal lukaku ini. Atau jangan-jangan Ibu pergi minta bantuan Om Bara?
Nyatanya, esok, lusa, minggu berikutnya, ibunya tak juga muncul. Dul tak tahu apa penyebabnya hingga suatu ketika percakapan antara Mbah Lanang dan Mbah wedok sedikit membuka pikirannya.
"Pak ... Pak. Itu anakmu yang bungsu, Pak. Kamu apa nggak nyariin atau gimana? Katanya Dijah dirawat lagi. Kamu pasti udah dengar tapi kamu diem aja."
Lagi-lagi Mbah Lanang diam. Dari caranya menelan ludah dan sedikit alisnya mengerut, Dul mencoba mengerti dengan apa yang ingin disampaikan pria tua itu.
"Aku juga lagi pusing. Itu kakak laki-laki Fredy udah dua kali nyari aku ke warung. Enggak tahu ada kejadian apa dengan si Fredy. Aku mau nanya tapi tak enggak tau mau tanya ke mana."
To Be Continued
Semoga kak juskelapa sehat selalu ağar bisa tetap menghadirkan Karya novel yg spektakurel Dan berkualitas lg.... Semoga lbh sukses selalu dlm karier kak juskelapa kedpn nya.
Salam sukses, sehat luar biasa tuk author Ku tercinta /Heart//Heart//Heart//Heart/
bahagia selalu..
doa kami selalu utk kesehatan kak juskelapa, ağar kak juskelapa selalu sehat dan bisa aktif berkarya kembali. sy pribadi selalu mencintai dan menunggu semua Karya kak juskelapa krn memang karya kakak adl terbaik dan bagus2 /Heart//Heart//Heart//Heart/