Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 > Penjemputan Yang Mengubah Takdir
Pagi ini terasa terlalu sunyi bagi Serene Avila. Jam dinding di kamar kontrakannya menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, namun tubuh Serene sudah terbangun sejak satu jam lalu. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan hoodie abu-abu longgar dan celana hitam sederhana. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan matanya sembab akibat tangisan semalaman.
Di atas meja kecil, tergeletak amplop cokelat berisi uang tabungannya—uang yang ia kumpulkan dari kerja paruh waktu, dari mengorbankan waktu tidur, dari menahan lapar, dari tidak pernah membeli apa pun selain kebutuhan paling dasar. Hari ini… uang itu akan habis. Dan bersamanya, harapan yang bahkan belum sempat ia sentuh. Serene berdiri pelan, menatap bayangannya di cermin.
Tangannya refleks mengusap perutnya yang masih rata. Tidak ada perubahan fisik yang terlihat, namun ia tahu… ada dua kehidupan kecil yang bersembunyi di sana. “Maaf…” bisiknya sekali lagi. Ia mengambil tas, menarik napas panjang, lalu melangkah keluar kamar.
***
Perjalanan menuju klinik terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Serene duduk di dalam bus dengan tangan mengepal di pangkuannya. Ia menunduk, menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya. Jantungnya berdegup tidak beraturan.
Setiap lampu merah terasa seperti penghakiman. Setiap klakson terasa seperti peringatan. Ia ingin berbalik. Ingin pulang. Ingin berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi.
Namun kenyataan memaksanya maju. Klinik itu berada di gang sempit, jauh dari jalan utama. Bangunannya tampak kusam, dengan cat dinding yang mengelupas. Tidak ada papan nama besar—hanya tulisan kecil yang hampir pudar.
Serene berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya gemetar saat hendak memutar gagang pintu. “Aku harus kuat…” gumamnya lirih.
Begitu masuk, bau antiseptik menyambutnya. Ruangan kecil itu dingin, lampunya putih terang namun terasa menusuk. Beberapa perempuan lain duduk menunduk di kursi tunggu. Tidak ada yang berbicara. Semua terjebak dalam kesunyian yang sama, sunyi penuh rasa bersalah dan ketakutan.
Serene duduk di sudut, memeluk tasnya erat. Namanya dipanggil. “Serene Avila.”
Kakinya terasa berat saat berdiri. Setiap langkah menuju ruang pemeriksaan seperti menariknya lebih jauh dari dirinya sendiri. Di dalam ruangan, seorang perawat memintanya duduk. Suaranya datar, seolah ini hanya rutinitas biasa.
“Usia kehamilan delapan minggu. Kembar, ya?” tanya perawat itu sambil membaca berkas.
Serene mengangguk pelan. Tenggorokannya terasa kering. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya perawat itu lagi, kali ini menatapnya.
Pertanyaan sederhana itu menghantam Serene lebih keras daripada apa pun. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Matanya terasa panas. “Aku…” suaranya bergetar. “Aku tidak punya pilihan.”
Perawat itu menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau begitu, kita lanjut.”
Serene memejamkan mata. Saat itulah—
pintu klinik terbuka keras. Suara langkah cepat memenuhi lorong. Suara sepatu kulit yang terlalu rapi untuk tempat seperti ini. Beberapa orang berseru kaget.
“Apa yang terjadi—?”
“Cari seorang perempuan bernama Serene Avila!”
Suara itu… dingin. Tegas. Tidak memberi ruang untuk penolakan. Jantung Serene berhenti berdetak.
Tidak. Tidak mungkin. Pintu ruang pemeriksaan terbuka paksa. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang pria tinggi dengan jas hitam rapi. Aura mahalnya kontras dengan ruangan sempit dan kusam itu.
Wajahnya tampan, rahangnya tegas, sorot matanya tajam dan gelap—tatapan yang seolah mampu menembus apa pun. Serene membeku. Pria itu. Pria dari malam itu.
Raiden.
Waktu seakan berhenti. Dunia Serene runtuh seketika. Raiden melangkah masuk. Dua pria lain berdiri di belakangnya. Udara di ruangan itu terasa menekan, seolah oksigen berkurang.
Tatapan Raiden tertuju langsung pada Serene. Tidak ada ragu. Tidak ada salah orang. Hanya ada satu emosi di matanya: amarah yang dikendalikan dengan sempurna.
“Keluar,” ucap Raiden datar kepada perawat.
“Tu-Tuan, ini ruangan medis—”
“Keluar,” ulangnya, suaranya lebih rendah, lebih berbahaya.
Perawat itu menelan ludah dan keluar tanpa berani membantah. Kini hanya ada mereka berdua. Serene berdiri dengan kaki gemetar. Tangannya refleks melindungi perutnya.
“A-aku…” suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu… siapa?”
Raiden terkekeh pendek—tanpa senyum.
“Kau benar-benar meninggalkanku tanpa pamit, lalu bertanya siapa aku?”
Nada itu membuat Serene mundur selangkah. “Aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu,” katanya cepat. “Aku juga korban. Aku tidak ingat—”
“Aku tahu,” potong Raiden.
Serene terdiam.
Raiden mendekat satu langkah. Jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter. Aura pria itu begitu kuat hingga Serene sulit bernapas. “Kau diberi obat,” lanjut Raiden dingin. “Aku juga.”
Serene terbelalak.
“Lalu kau pergi,” sambungnya. “Tanpa menoleh. Tanpa bertanya. Tanpa peduli.”
“Aku takut!” Serene akhirnya berteriak, air matanya jatuh. “Aku bangun di tempat asing dengan pria asing! Aku panik! Aku tidak tahu harus berbuat apa!”
Raiden menatapnya lama. Lalu, untuk pertama kalinya, nada suaranya berubah. Tidak lagi dingin. Tidak lagi penuh kuasa.
“Aku mencarimu,” katanya pelan namun tajam. “Selama dua bulan.”
Serene terguncang.
“Aku menyisir hotel itu. Pesta itu. Semua tamu. Semua kamera. Semua jejak,” lanjut Raiden. “Aku tidak pernah mencari wanita dengan usaha sebesar itu.”
Serene menutup mulutnya, tangisnya pecah. Raiden mengalihkan pandangannya ke perut Serene. “Dan kau hampir membunuh anak-anakku.”
Kalimat itu membuat Serene seolah disambar petir. “Aku tidak—!” Serene menggeleng keras. “Aku tidak ingin! Tapi aku tidak bisa! Aku mahasiswa! Aku tidak punya uang! Aku tidak ingin anak-anak itu lahir tanpa ayah!”
Raiden menatapnya tajam. “Tanpa ayah?” ulangnya pelan.
Ia maju satu langkah lagi. “Aku di sini.”
Serene mengangkat wajahnya.
Matanya merah. Napasnya tersengal. “Kau tidak mengenalku,” katanya lirih. “Kau tidak tahu hidupku.”
Raiden menatapnya dalam-dalam. “Dan kau tidak tahu siapa aku.”
Ia mengeluarkan ponsel, menunjukkan layar berita. RAIDEN ALISTAIR VARENDRA — PEWARIS TUNGGAL VARENDRA CORP. Serene membaca cepat. Lalu wajahnya memucat. Konglomerat.
Dunia terasa berputar. “Tidak mungkin…” bisiknya.
“Aku tidak datang untuk memamerkan itu,” ujar Raiden dingin. “Aku datang untuk satu hal.” Ia menatapnya lurus.
“Kau ikut aku.”
“Apa?” Serene menggeleng panik. “Tidak! Aku tidak bisa begitu saja—”
“Kau bisa,” potong Raiden tegas. “Dan kau akan.”
“Aku tidak mau!”
Raiden mencondongkan tubuhnya, menatap Serene sejajar. “Dengar baik-baik, Serene Avila,” katanya rendah. “Aku tidak akan memaksamu mencintaiku. Aku tidak akan memaksamu percaya padaku.” Ia berhenti sejenak.
“Tapi anak-anak itu… milikku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk ibunya—menghilangkan mereka.”
Serene terisak.
“Aku akan bertanggung jawab,” lanjut Raiden. “Semua biaya. Semua kebutuhan. Semua.”
“Dan aku?” tanya Serene putus asa. “Apa yang harus aku lakukan?”
Raiden menatapnya tanpa berkedip. “Kau akan tinggal bersamaku.”
Serene membeku.
“Dan mulai hari ini,” sambung Raiden, suaranya makin dalam, “hidupmu bukan lagi hanya milikmu.”
***
Beberapa menit kemudian...
Serene dibawa keluar dari klinik itu. Orang-orang menatap heran, namun tidak ada yang berani menghentikan rombongan pria-pria berpakaian rapi itu. Serene duduk di kursi belakang mobil hitam mewah. Tangannya gemetar di pangkuan. Jantungnya masih berpacu. Raiden duduk di sampingnya.
Hening. Mobil melaju meninggalkan gang sempit itu. Serene memberanikan diri bertanya, suaranya kecil, nyaris tidak terdengar. “Kalau aku menolak?”
Raiden menoleh. Tatapan itu membuat Serene tahu—
tidak ada jalan kembali. “Kau tidak akan menolak,” jawab Raiden tenang. “Karena kau ibu dari anak-anakku.”
Mobil terus melaju, membawa Serene menuju kehidupan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Dan di dalam dadanya, satu pertanyaan berputar tanpa henti: Apakah ia baru saja diselamatkan… atau justru masuk ke dalam sangkar emas paling berbahaya dalam hidupnya?
***
Stay tune