NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3 — Rumah Baru, Aturan Baru

Penthouse Dion Arganata bukan sekadar tempat tinggal; itu adalah sebuah statement kekuasaan, keanggunan yang efisien, dan ketiadaan kehangatan. Semua sudut didominasi oleh marmer gelap, baja krom, dan kaca yang memamerkan garis cakrawala Kota Arganata yang kejam. Tidak ada satu pun barang pribadi—tidak ada foto usang, tidak ada koleksi buku yang berantakan, tidak ada sofa yang terlihat nyaman. Semua terasa seperti showroom yang dirancang untuk difoto, bukan untuk ditinggali.

​Bagi Aira, pindah ke sana terasa seperti dipindahkan dari sangkar kayu ke sangkar emas. Kemewahan yang luar biasa, namun tetap saja sebuah penjara.

​Pagi pertamanya sebagai Nyonya Arganata dimulai dengan Dingin. Dingin AC yang menusuk tulang, dinginnya kamar yang terlalu besar, dan dinginnya kesadaran bahwa Arvan, putranya, berjarak ratusan kilometer darinya.

​Aira duduk di tepi kasur, memandang ke luar jendela raksasa. Ia melihat mobil-mobil kecil di bawah, sibuk menjalankan roda kehidupan. Sementara ia, terdampar di ketinggian ini, harus sibuk menjalankan peran.

​Dion sudah pergi saat Aira bangun. Pukul enam pagi, sebelum matahari benar-benar terbit, pria itu sudah mengenakan jas dan menghilang di balik lift pribadi, meninggalkan keheningan mutlak. Jadwalnya kaku, seperti garis di buku besar akuntansi: Tepat. Teratur. Tanpa celah untuk emosi.

​Satu-satunya ‘teman’ Aira di rumah itu adalah Bi Surti, kepala pelayan yang berbicara seperlunya dan bergerak tanpa suara, seolah ia adalah bayangan yang sangat efisien.

​“Nyonya, Tuan Arganata meminta Anda mengingat aturan ini,” ujar Bi Surti suatu pagi, meletakkan secangkir kopi hitam—sama pahitnya dengan mood Aira—di meja sarapan.

​Aira menatap daftar yang diketik rapi. Itu adalah perluasan dari kontrak pernikahan, dicetak di atas kertas tebal:

​Zona Larangan Absolut: Ruang Kerja Tuan Arganata dilarang disentuh, dimasuki, atau bahkan didekati tanpa izin eksplisit.

​Komunikasi Publik: Semua interaksi di depan publik atau media harus formal dan profesional. Tidak ada panggilan sayang, tidak ada sentuhan yang tidak perlu.

​Keterlibatan Bisnis: Nyonya Arganata dilarang keras ikut campur dalam urusan ArgaCorp, mengetahui kata sandi, atau mengakses data Tuan Arganata.

​Kedatangan/Kepergian: Nyonya harus memberitahu jadwal keluar rumah minimal satu hari sebelumnya kepada Bi Surti.

​Privasi: Kamar tidur Tuan dan Nyonya adalah ranah privasi masing-masing, kecuali diizinkan oleh Tuan Arganata.

​Poin terakhir membuat Aira tersentak. Kecuali diizinkan oleh Tuan Arganata. Itu berarti, bahkan kamar tidurnya sendiri pun bukanlah zona aman dari tuntutan fisik pria itu. Dion telah menjadikan dirinya hakim tunggal atas batas-batas fisik mereka.

​Aira merasa harga dirinya dicabik-cabik. Ia menyembunyikan daftar itu di balik tumpukan majalah, seolah dengan begitu ia bisa menyangkal keberadaannya.

​Minggu pertama berlalu dalam suasana perang dingin.

​Aira menghabiskan hari-harinya di balkon, membaca buku lama, atau sesekali pergi ke supermarket biasa, jauh dari area elit, hanya untuk merasakan sedikit bau kehidupan normal. Setiap sore, ia mengunci diri di kamar, menunggu telepon dari ibunya di kampung.

​“Bagaimana Arvan?” tanya Aira, suaranya pelan dan tercekik, berbicara dengan telepon genggam murah yang sengaja ia simpan dan tidak terhubung dengan jaringan rumah Dion.

​“Arvan baik-baik saja, Nak. Dia bilang, Mamanya sedang ‘bekerja keras mencari uang untuk beli mainan jet besar.’ Dia rindu sekali, Ra.”

​Mendengar suara Arvan yang terekam sayup-sayup membuat air mata Aira menetes. Ia harus menelan rindu itu, karena dinding-dinding marmer penthouse itu memiliki mata dan telinga.

​“Tolong jaga dia, Bu. Jangan pernah biarkan dia datang ke kota ini, jangan sampai orang lain tahu dia anak saya,” pinta Aira, nada suaranya berubah menjadi keras dan memohon. Ibunya mengangguk di seberang sana.

​Aira mengakhiri panggilan, wajahnya basah oleh air mata. Ia bangkit, melangkah ke kamar mandi, dan membasuh wajahnya. Ia tidak boleh rapuh. Ia harus menjadi Nyonya Arganata yang tangguh di permukaan, demi benih tak terucapkan yang ia lindungi.

​Interaksi antara Aira dan Dion selalu terjadi setelah pukul sembilan malam, saat Dion kembali dari kantor, lelah, namun energinya tetap memancarkan kekuasaan yang dingin.

​Suatu malam, Aira sedang berada di dapur penthouse yang steril. Ia tidak tahan dengan masakan yang selalu kaku dan fine dining setiap malam. Ia merindukan masakan rumahan, jadi ia diam-diam mencoba membuat sup ayam sederhana.

​Saat ia sedang mengaduk sup dengan piyama sutra longgar yang Dion belikan—hadiah yang dingin—Dion masuk.

​Pria itu melepas dasinya, membiarkan dua kancing teratas kemeja putihnya terbuka. Ia terlihat sedikit lebih manusiawi, tetapi lebih berbahaya. Matanya langsung tertuju pada Aira, lalu ke panci mengepul di atas kompor.

​“Apa yang kau lakukan?” tanya Dion, suaranya terdengar lebih lelah, tetapi ketidaksetujuan tetap terasa.

​Aira terlonjak. Ia mematikan kompor, jantungnya berdebar kencang. “Saya… saya hanya membuat sup ayam. Sup sederhana.”

​Dion berjalan mendekat, meneliti isinya. “Kenapa? Kau tidak suka makanan yang disajikan Bi Surti?”

​“Bukan begitu,” jawab Aira, tangannya gemetar. “Saya hanya… rindu masakan yang rasanya seperti rumah.”

​Dion mendengus. “Ini rumahmu sekarang, Aira. Berhenti membawa kenangan masa lalu yang tidak relevan ke sini.”

​Aira merasa terluka. Ia tahu Dion membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan kelemahlembutan. Ia menunduk.

​Dion berdiri di belakangnya, begitu dekat hingga Aira bisa merasakan panas tubuhnya dan aroma whisky ringan yang bercampur dengan parfum mahal. Keheningan yang tiba-tiba membuat udara di antara mereka terasa tebal. Itu bukan keheningan canggung, melainkan ketegangan yang siap merusak.

​“Minggir,” perintah Dion.

​Aira menurut, bergeser ke samping. Dion mengambil sendok dan mencicipi sup itu. Wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Aira menunggu, takut dihina atau dimarahi karena berani-beraninya mengotori dapur elitnya.

​Setelah beberapa saat, Dion meletakkan sendok.

​“Lumayan,” katanya, sebuah pujian yang diucapkan dengan sangat enggan. Lalu, ia menambahkan, “Tapi jangan ulangi. Kau adalah Nyonya Arganata, bukan koki.”

​Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Aira yang berdiri di tengah asap sup. Aira menggigit bibirnya, menatap punggung Dion yang menghilang. Lumayan. Itu adalah hal terhangat yang pernah ia dengar dari pria itu, dan itu hanya tentang sup ayam.

​Tensi mulai naik beberapa hari kemudian.

​Dion mulai pulang lebih awal. Bukan karena ia merindukan Aira, tetapi karena ia menemukan keheningan penthouse itu, anehnya, lebih damai daripada kebisingan di kantor.

​Aira, yang sudah terbiasa dengan rutinitas sendiriannya, merasa terganggu.

​Malam itu, Aira baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan robe handuk putih yang lembut. Rambut hitamnya basah, menempel di punggung dan memancarkan aroma bunga melati dari sabunnya.

​Ia berjalan ke meja rias, berniat mengeringkan rambut.

​Tiba-tiba, ia menyadari ia tidak sendirian.

​Dion berdiri di ambang pintu, bersandar di kusen, tangannya memegang map tebal. Ia baru saja akan masuk ke kamar kerjanya, tetapi ia berhenti, terpaku di sana.

​Mata Dion yang gelap menatap Aira, pandangan itu lambat, menelusuri garis bahu Aira yang terpapar, tetesan air yang menuruni lehernya, hingga ke lekuk pinggang yang tersembunyi di balik handuk. Pandangan itu begitu intens, begitu tanpa filter, sehingga Aira merasakan panas menjalar di wajahnya.

​Wajah Dion, biasanya sedingin es, kini menunjukkan keretakan yang sekilas. Ada gairah di sana, cemburu yang tak beralasan, dan pertarungan batin yang tidak ia pahami.

​Aira menahan napas, tangannya gemetar. Ia buru-buru menyilangkan tangan di dada, merasa telanjang meskipun tubuhnya tertutup.

​“Tuan Arganata,” Aira berbisik, memanggilnya dengan nama formal yang selalu menjadi benteng di antara mereka.

​Dion tidak menjawab. Ia hanya terus menatap, tatapannya seolah sedang menelanjangi Aira dan melihat lebih jauh, ke dalam rahasia yang ia sembunyikan.

​Akhirnya, Dion menarik napas yang berat, kasar, seolah ia baru saja melakukan lari maraton. Ia mengalihkan pandangan, menggertakkan rahangnya, dan kembali menjadi CEO dingin yang tidak bisa ditembus.

​“Pakai baju yang pantas, Nyonya,” katanya, suaranya rendah dan penuh emosi yang tertahan. “Jangan berkeliaran di rumah seperti ini.”

​Ia berbalik, map itu tertekuk sedikit di tangannya karena genggaman yang terlalu kuat. Dion menghilang ke dalam ruang kerjanya, pintu ditutup dengan suara pelan namun tegas.

​Aira ambruk di kursi rias. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena getaran hasrat yang hampir tak terkendali.

​Dion membencinya, itu jelas. Dion membenci kebohongan Aira, membenci latar belakangnya, membenci fakta bahwa ia adalah pengantin kontrak. Namun, di balik semua kebencian itu, ada hasrat yang mulai merangkak keluar, hasrat yang sama yang mereka bagi empat tahun lalu di Café “La Nuit.”

​Aira tahu, perang dingin ini tidak akan bertahan lama. Dion telah menunjukkan titik lemahnya: ketertarikan fisik yang ia tolak untuk akui.

​Ia berdiri, berjalan ke kamar mandi, dan mengunci pintu. Ia meraih handphone murahnya dan mengirim pesan singkat pada Ibunya: “Aku rindu Arvan. Tolong kirimkan foto terbarunya hari ini.”

​Di satu sisi, Aira semakin terperangkap dalam jaring Dion. Di sisi lain, ia berjuang keras memegang benang kecil yang menghubungkannya dengan putranya, benih yang tak terucap, alasan utama ia harus bertahan dalam neraka dingin yang mewah ini.

​Aira tidak tahu, bahwa di ruang kerja yang terlarang, Dion bersandar di mejanya, memejamkan mata, memaksakan dirinya menghapus bayangan Aira dengan rambut basah dan aroma melati. Ia memikirkan kontrak, warisan, dan pekerjaan. Ia mengutuk kelemahan yang baru saja ia tunjukkan.

​Jangan sampai dia tahu aku tertarik padanya. Aku membenci kelemahan.

​Dion tahu, ia membenci Aira. Tapi ia mulai membenci dirinya sendiri karena tidak bisa mengendalikan tatapannya setiap kali gadis itu berada dalam jarak pandangnya.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!