NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3

Di balik pagar besi berwarna hitam setinggi pinggang itu, berdirilah Asri, ibunda Jovita. Ia baru saja tiba dari rumahnya di pedesaan kecil di luar kota, tempat ia memilih menetap sejak beberapa tahun lalu demi mencari ketenangan di masa tuanya, jauh dari hiruk pikuk kota.

Sementara itu, rumah yang kini ditinggali Jovita bersama kakak laki-lakinya menjadi satu-satunya tempat yang masih menghubungkan mereka.

Asri menatap mereka dengan mulut terbuka sedikit, tangannya gemetar, karena terkejut. Namun bukan dia saja yang ada di sana, melainkan juga Devan.

Saat pulang kantor tadi, Devan baru menyadari kartu identitas milik Jovita tertinggal di mobilnya. Ia berniat mengembalikannya langsung. Namun di tengah perjalanan menuju rumah Jovita, tanpa sengaja ia melihat Asri berdiri di pinggir jalan. Akhirnya Devan menghentikan mobilnya dan menawarkan diri untuk mengantarnya sekalian.

“Apa kamu bilang? Batal nikah?” suara Asri bergetar, matanya membesar tak percaya. Dadanya naik turun cepat, napasnya terasa sesak. Tubuhnya goyah, hampir jatuh kalau saja Devan tidak sigap menahannya.

Namun begitu tenaganya kembali, ia melangkah cepat ke arah mereka, tatapannya tajam menusuk.

“Apa maksudnya batal nikah? Kalian udah menyiapkan semuanya!” bentaknya, sambil memukul lengan Jovita dengan tangan gemetar.

Jovita menepis tangan ibunya, wajahnya tegang menahan emosi. “Kenapa mukul aku? Mama harusnya mukul dia!” suaranya meninggi sambil menunjuk Adam.

Asri menatapnya tak percaya. “Kenapa aku harus mukul menantu sendiri, hah?”

“Dia…” Jovita tercekat, kata-katanya tertahan di tenggorokan. Dadanya naik turun cepat, bibirnya bergetar. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya ia memaksa suaranya keluar. “Dia tidur sama perempuan lain,” ucapnya lirih tapi jelas.

Asri terdiam mematung, wajahnya pucat dan kaku. Sementara Devan yang berdiri di tempatnya ikut membeku, matanya perlahan bergeser ke arah Adam. Rahangnya mengeras, amarah jelas terpancar di wajahnya. Melihat pria itu berdiri di depan wanita yang baru saja ia khianati membuat darahnya mendidih. Ia membenci tipe pria seperti itu, yang menghancurkan kepercayaan hanya karena nafsu sesaat.

Tatapannya kemudian kembali pada Jovita yang berusaha menahan tangis. Sekuat apapun ia mencoba terlihat tegar, Devan bisa melihat betapa hancurnya hati perempuan itu.

“Apa?” ulang Asri pelan, suaranya nyaris bergetar, seolah ingin memastikan telinganya tidak salah menangkap.

“Dia tidur dengan perempuan lain,” ulang Jovita, kali ini lebih tegas, meski suaranya pecah di ujung kalimat.

Asri terpaku. Dadanya terasa sesak, matanya menatap Adam tanpa berkedip. Jemarinya mengepal kuat, rahangnya menegang, dan napasnya terdengar berat. Amarah, kecewa, dan jijik berbaur jadi satu di matanya yang mulai memerah.

“Maaf, Ma… aku…”

Belum sempat Adam menyelesaikan kalimatnya, suara tamparan keras memecah taman kecil itu. Kepala Adam terpelanting ke samping, dan Asri menatapnya dengan mata berapi. Telapak tangannya panas, tapi amarah di dadanya jauh lebih membakar.

“Berani-beraninya kamu,” ucapnya pelan, namun setiap kata meluncur seperti pisau yang tajam menusuk.

“Anakku menjaga dirinya untukmu, mempercayaimu sepenuhnya, tapi kamu malah mengkhianatinya,” lanjutnya dengan suara bergetar antara marah dan sedih. Air mata nyaris jatuh, tapi ia tahan, karena yang berdiri di hadapannya bukan hanya pria yang menghancurkan kepercayaan anaknya, tapi juga penyebab luka di hatinya sendiri sebagai seorang ibu.

Asri menggenggam tangan Jovita erat, memberi kekuatan lewat sentuhan yang gemetar. Tatapannya tegas, melindungi. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Adam sekali lagi dengan pandangan dingin.

“Pergi,” desisnya. “Dan jangan pernah tunjukkan muka kamu lagi.”

Adam menatap mereka dengan mata berkaca. Setiap detik terasa menyesakkan, seolah dunia runtuh di hadapannya. Sungguh, dia mencintai Jovita, lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata. Tapi kebodohannya, satu kesalahan fatal yang ia lakukan, menghancurkan segalanya.

Dengan gerakan pelan dan penuh rasa bersalah, Adam merendahkan tubuhnya. Lututnya menyentuh rumput, tangannya gemetar menahan emosi.

“Maaf…” suaranya pecah di udara yang sudah berat oleh ketegangan. “Aku janji gak akan mengulanginya lagi.”

Tatapannya beralih pada Jovita penuh harap, penuh penyesalan. Ia mencari secercah pengampunan di mata wanita itu, meski tahu harapan itu mungkin sudah terlalu tipis untuk diselamatkan.

Devan yang sejak tadi berdiri di sisi pagar hanya bisa menatap pemandangan itu dengan tatapan dingin. Dalam hatinya, ia menertawakan kebodohan Adam. Sungguh ironis, setelah mengkhianati orang yang begitu tulus mencintainya, kini pria itu berlutut, memohon ampun seolah semua bisa kembali seperti semula.

“Bodoh,” pikirnya dalam diam. Baginya, tidak ada yang lebih menyedihkan dari seseorang yang baru menyesal setelah menghancurkan segalanya dengan tangannya sendiri.

“Pergi. Jangan pernah berharap aku akan memaafkanmu,” ucap Asri tegas, nadanya dingin dan tegas seperti pisau yang menoreh luka. Tatapannya menusuk Adam tanpa sedikit pun keraguan. Lalu pandangannya beralih pada Devan yang berdiri kaku di dekat pagar, terlihat serba salah di tengah suasana panas itu.

“Kamu juga. Pulanglah,” katanya lebih lembut tapi tetap tegas, kemudian menggenggam tangan Jovita dan menariknya masuk ke dalam rumah.

Dari balik jendela, asisten rumah tangga mereka yang sedari tadi bersembunyi di balik tirai sempat melongok, matanya membesar melihat kejadian di luar. Namun begitu melihat Asri dan Jovita berjalan masuk, ia buru-buru berbalik, pura-pura sibuk menyapu lantai, seolah tak mendengar atau melihat apapun yang baru saja terjadi.

***

Devan sudah tiba di apartemennya tiga jam lalu. Ia duduk di depan laptop di ruang tamu, tenggelam dalam tumpukan laporan yang harus diselesaikan. Tanpa menoleh, tangannya meraih cangkir di meja. Begitu meneguknya, ia mendapati isinya sudah habis.

Akhirnya ia bangkit dari kursinya, melangkah ke dapur untuk membuat kopi baru. Devan termenung, pandangannya kosong menatap meja.

“Jadi itu alasannya,” gumamnya pelan. Sekarang semuanya masuk akal, air mata Jovita, wajah muramnya siang tadi. Ia menghela napas panjang, menyesal karena tak cukup peka waktu itu. Bukannya menenangkan, ia malah menagih hutang dan menyebutnya kerasukan. Meskipun tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetap saja rasa bersalah itu menempel kuat di dadanya.

Ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk dari mamanya. Devan meraihnya dan membaca cepat. Seketika ia menghela napas panjang.

Sudah lebih dari setahun ini, mamanya terus mendesaknya untuk menikah. Tapi di usia dua puluh sembilan, Devan bahkan tak punya kekasih. Akhirnya sang mama mulai menjodohkannya, mengatur kencan buta dengan wanita yang katanya “baik dan cocok.”

Namun pesan kali ini terasa berbeda. Bukan sekadar kenalan biasa, melainkan anak dari sahabat lamanya. Rupanya, kedua orang tua itu baru saja bertemu kembali dan sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka.

Hari-hari berlalu cepat, hingga tibalah waktunya Devan bertemu dengan wanita yang dijodohkan dengannya. Seperti biasa, ia tidak menolak. Tidak langsung, setidaknya.

Setiap kali mamanya mengatur kencan buta, Devan selalu datang sekadar formalitas. Duduk, berbasa-basi selama sepuluh atau lima belas menit, lalu pergi dengan alasan klasik yang sudah hafal di luar kepala.

“Dia nggak cocok buatku,” katanya, dan alasannya hampir selalu diawali dengan satu kalimat yang sama: dia terlalu.

Mobilnya berhenti di depan sebuah restoran Italia. Dari penampilannya saja sudah jelas, Devan tidak berniat serius dengan pertemuan itu. Ia hanya mengenakan kaos hitam polos dengan jaket baseball, celana training, dan sepatu kets putih, lebih mirip orang yang hendak jogging daripada pria yang mau kencan buta.

Begitu melangkah masuk, alunan musik klasik menyambutnya, berpadu dengan aroma masakan yang lembut menguar di udara. Devan menelusuri ruangan, matanya mencari meja bernomor 24, tempat wanita itu seharusnya menunggunya. Saat menemukannya, langkahnya terhenti sejenak. Di sana, duduk seorang wanita berambut panjang dengan penampilan elegan, kontras sekali dengan dirinya yang berpakaian santai.

“Kamu disuruh untuk bertemu denganku?” tanya Devan setelah berhenti di depan meja itu.

Wanita itu mengangkat kepala, dan seketika waktu seolah berhenti di antara mereka. Mata keduanya membulat, menatap tak percaya.

Devan terpaku beberapa detik sebelum akhirnya menarik napas pelan.

Wanita di depannya bukan orang asing. Dia mengenalnya… bahkan terlalu baik.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!