Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bedah Mayat Hidup
Malam itu, hujan gerimis turun membasahi atap bocor Rumah Duka Barat. Suara air yang menetes ke ember kaleng beradu dengan suara dengkuran Pak Tua Ma yang tidur di kursi malasnya.
Liang Wu—kini dipanggil "Ah Wu" oleh orang-orang sekitar—sedang menyapu lantai ruang depan. Dia bergerak dalam diam, matanya yang tertutup caping mengamati setiap sudut bayangan.
Tiba-tiba, pintu depan didobrak kasar.
BRAK!
Pak Tua Ma tersentak bangun, pipanya jatuh ke lantai. Tiga orang pria bertubuh besar masuk, membawa aroma arak murah dan kekerasan. Mereka mengenakan rompi kulit anjing hitam—tanda dari Geng Anjing Hitam, penguasa jalanan Distrik Pinggiran yang berafiliasi dengan murid luar Sekte Azure.
"Oy, Pak Tua!" teriak pemimpin mereka, seorang pria botak dengan bekas luka memanjang di pipi. Dia menggebrak meja administrasi hingga buku catatan mayat melompat. "Uang perlindungan bulan ini telat dua hari! Kau mau kami bakar tempat busuk ini?!"
Pak Tua Ma gemetar, memungut pipanya. "Tuan Gou... tolong mengerti. Bulan ini yang mati sedikit. Kebanyakan mayat tak dikenal, tidak ada keluarga yang bayar..."
"Itu bukan urusanku!" Tuan Gou meludah ke lantai bersih yang baru saja disapu Liang Wu. "Kalau tidak ada uang, kami ambil barang. Gigi emas mayat, cincin kawin, apa saja! Minggir!"
Tuan Gou mendorong Pak Tua Ma hingga kakek itu terhuyung menabrak dinding.
"Geledah ruang belakang!" perintah Gou pada dua anak buahnya. "Bongkar mulut mayat-mayat itu. Cari emas!"
Dua preman itu menyeringai dan melangkah menuju tirai pemisah ruang mayat.
Namun, langkah mereka terhenti.
Seorang pemuda bercaping jerami dan berbaju abu-abu kusam berdiri menghalangi jalan. Dia memegang sapu lidi, posturnya santai namun kokoh seperti pasak besi.
"Minggir, Kuli Sampah," geram salah satu preman, mencabut pisau belati dari pinggangnya.
Liang Wu tidak minggir. Dia mengangkat wajahnya sedikit, membiarkan mata kanannya yang dingin menatap preman itu.
"Ruang belakang adalah tempat istirahat para tamu," kata Liang Wu pelan. "Orang hidup dilarang masuk tanpa undangan."
"Undangan?" Preman itu tertawa. "Pisauku adalah undangannya!"
Dia menusukkan belatinya ke arah perut Liang Wu.
Bagi orang awam, tusukan itu cepat. Tapi bagi Liang Wu yang sudah mencapai Pengumpulan Qi Tingkat 7 dan mempelajari Langkah Bayangan Tikus, gerakan itu selambat siput.
Liang Wu tidak menangkis. Dia hanya menggeser kaki kirinya selangkah ke samping.
Wush.
Pisau itu menusuk udara kosong.
Sebelum preman itu bisa menarik tangannya kembali, Liang Wu sudah bergerak. Dia tidak memukul wajah atau menendang perut. Sebaliknya, dua jari tangannya—jari telunjuk dan tengah yang kaku seperti besi—menusuk ke titik spesifik di bawah ketiak preman itu.
Titik Jiquan. Pusat saraf yang mengontrol lengan.
"Argh!"
Preman itu menjerit. Lengannya seketika mati rasa, belatinya jatuh berdenting ke lantai. Dia mundur, memegangi bahunya yang terasa seperti disengat listrik ribuan volt.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak preman kedua, mengayunkan gada besinya ke kepala Liang Wu.
Liang Wu merunduk, membiarkan gada itu menghantam tiang kayu di belakangnya. Serpihan kayu beterbangan.
Saat merunduk, Liang Wu melihat kaki preman itu. Dia teringat anatomi otot kaki yang dia pelajari dari mayat kuli pelabuhan kemarin.
Tendon Achilles. Penopang berat tubuh.
Liang Wu menyapu kakinya rendah, bukan untuk menjegal, tapi menendang tumit belakang preman itu dengan ujung sepatu kerasnya yang dialiri Qi.
Pletak.
Suara tendon yang putus terdengar kering dan mengerikan.
Preman kedua jatuh berlutut, melolong kesakitan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya tidak mau merespons. Dia hanya bisa merangkak seperti bayi.
Tuan Gou, si pemimpin botak, terbelalak melihat kedua anak buahnya lumpuh dalam hitungan detik. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu seni bela diri.
"Kau... Kau kultivator?" desis Gou, mencabut golok besarnya. Aura tipis Pengumpulan Qi Tingkat 2 memancar dari tubuhnya. "Siapa kau sebenarnya?! Kenapa kultivator jadi kuli mayat?!"
Liang Wu menegakkan tubuhnya. Dia membuang sapunya ke samping.
"Aku hanya pengurus mayat," jawab Liang Wu, berjalan mendekat. Langkahnya aneh—tidak bersuara, seolah dia melayang di atas lantai. Langkah Bayangan Tikus. "Tugas pengurus mayat adalah memastikan yang mati tetap tenang... dan yang hidup tidak membuat keributan."
"Mati kau!"
Gou menebaskan goloknya horizontal, mencoba membelah perut Liang Wu.
Liang Wu melompat mundur, golok itu hanya menyobek ujung bajunya.
Saat Gou hendak menebas lagi, Liang Wu maju. Dia masuk ke dalam jangkauan golok, menempelkan tubuhnya ke tubuh Gou.
Ini adalah jarak bunuh diri bagi petarung pedang, tapi jarak surga bagi ahli Tapak Vajra.
Liang Wu meletakkan telapak tangan kanannya di dada Gou, tepat di atas jantung.
Tapi dia tidak memukul. Dia hanya menempelkannya.
"Tahukah kau," bisik Liang Wu di telinga Gou, "Jantung manusia dilindungi oleh sangkar rusuk yang kuat. Tapi jika kau mengirim getaran pada frekuensi yang tepat... sangkar itu justru menjadi lonceng yang menggemakan kehancuran."
Mata Gou membesar. "Ja—"
BUM.
Liang Wu melepaskan Getaran Dalam.
Tidak ada suara tulang patah yang keras. Tidak ada darah yang menyembur keluar.
Tuan Gou hanya tersentak hebat. Matanya memutih, pembuluh darah di matanya pecah seketika. Golok di tangannya terlepas. Dia ambruk ke lantai seperti boneka yang tali-talinya dipotong serentak. Jantungnya telah berhenti berdetak, dihancurkan dari dalam tanpa merusak kulit luarnya.
Ruangan itu hening kembali, kecuali suara rintihan dua anak buah yang lumpuh di lantai.
Pak Tua Ma menatap Liang Wu dengan mulut ternganga, pipanya menggelinding entah ke mana.
Liang Wu membungkuk, memungut pipa itu, membersihkannya dari debu, dan menyerahkannya kembali pada Pak Tua Ma.
"Tuan Ma," kata Liang Wu sopan, seolah tidak baru saja membunuh orang. "Tolong catat di buku tamu. Tiga 'Tamu' baru. Penyebab kematian: Kecelakaan kerja."
Liang Wu kemudian menoleh ke dua preman yang masih hidup dan merintih ketakutan di lantai.
"Kalian punya dua pilihan," kata Liang Wu dingin. "Menjadi tamu tetap di ruang belakang... atau menggotong bos kalian keluar dari sini dan tidak pernah kembali lagi."
Dua preman itu, meskipun satu tangannya lumpuh dan satu kakinya putus tendon, memaksakan diri menyeret mayat Tuan Gou keluar. Mereka merangkak, menangis, dan lari menembus hujan, meninggalkan jejak darah dan air seni ketakutan.
Liang Wu menutup pintu depan yang rusak, lalu mengambil sapunya kembali.
"Maaf lantainya kotor lagi, Tuan Ma," gumamnya, mulai menyapu jejak kaki berlumpur itu.
Pak Tua Ma menatap punggung pemuda itu. Tangan tuanya gemetar saat menyalakan kembali pipanya. Dia tahu dia telah memungut sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari mayat kolera.
Tapi malam ini, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Pak Tua Ma merasa aman.
"Ah Wu," panggil Pak Tua Ma pelan.
"Ya, Tuan?"
"Besok... kutunjukkan cara menjahit kulit agar tidak berbekas. Kau punya bakat bedah, tapi jahitanmu di mayat kemarin masih terlalu kasar."
Di balik capingnya, bibir Liang Wu melengkung membentuk senyum tipis yang mengerikan.
"Terima kasih, Guru," jawabnya.
Alurnya stabil...
Variatif