NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semua Menolaknya

Pagi di Verona City datang dengan cahaya pucat yang menerobos tirai kamar Elena. Ia bangun lebih awal, meski semalam hampir tidak tidur. Wajahnya masih sembab, tapi matanya menyala dengan tekad.

Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut cokelatnya yang bergelombang. Ia memilih blus putih sederhana yang bersih, dipadukan dengan rok hitam yang sudah lama menjadi andalan setiap kali wawancara. Penampilan seadanya, tapi ia ingin terlihat rapi, profesional, dan pantas.

Hari ini aku harus berhasil, tekadnya. Aku tidak bisa menyerah. Papa butuh aku. Rumah ini butuh aku.

Ia memasukkan map berisi dokumen ke dalam tas, lalu mencium kening ayahnya yang masih tertidur di sofa. “Istirahatlah, Papa. Aku akan pulang membawa kabar baik.”

....

Hari itu, ia menargetkan empat tempat: sebuah butik elegan, kafe modern, kantor penerbit kecil, dan toko bunga. Ia sudah menyiapkan kata-kata untuk memperkenalkan diri, sudah melatih senyumnya, sudah menyiapkan mental untuk kemungkinan penolakan.

Tapi kenyataan jauh lebih kejam daripada yang ia bayangkan.

Di butik, ia bahkan belum sempat menjelaskan pengalamannya. Manajer hanya menatap namanya di surat lamaran, lalu berkata dengan nada datar, “Maaf, kami tidak menerima pelamar dengan latar belakang seperti Anda.”

Elena mencoba bertanya, “Apa maksud Anda?”

Namun manajer itu hanya melambaikan tangan, menyuruhnya keluar.

Di kafe modern, ia menunggu hampir satu jam hanya untuk mendengar jawaban singkat dari pemiliknya, “Kami sudah punya terlalu banyak pegawai.”

Di kantor penerbit, ia diperlakukan lebih halus, tapi jawabannya tetap sama, “Kami akan menyimpan data Anda, Nona Marcellis. Jika ada kesempatan, kami akan menghubungi.”

Elena tersenyum lemah, mengangguk sopan, tapi begitu keluar dari gedung itu, senyumnya runtuh. Ia tahu kalimat itu hanyalah cara sopan untuk mengatakan tidak.

Tempat terakhir yang ia datangi adalah toko bunga kecil di pinggiran kota. Aroma mawar dan lili menyambutnya, memberi sedikit ketenangan. Pemilik toko, seorang wanita tua ramah, sempat menatap lamaran Elena dengan senyum simpati.

“Aku senang kau ingin bekerja di sini, Nona,” katanya lembut. “Tapi… aku tidak bisa menerimamu.”

“Kenapa?” Suara Elena pecah, hampir berbisik. “Aku bisa merangkai bunga, aku cepat belajar, aku, aku hanya butuh kesempatan.”

Wanita tua itu terdiam sejenak, lalu menunduk. “Aku tidak bisa menjelaskan, maafkan aku.”

Air mata Elena hampir jatuh saat ia keluar dari toko itu. Langkahnya goyah, dadanya sesak.

.....

Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan langkahnya membawa ke jalan utama yang ramai. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan kehidupan masing-masing, sementara dirinya seolah terkunci di luar dunia itu.

Ia berhenti di depan etalase toko perhiasan, menatap pantulan dirinya di kaca. Wajahnya tampak letih, matanya sembab, bahunya jatuh.

Kenapa semua pintu tertutup bagiku? Pikirnya. Apakah benar aku sudah tidak punya tempat di kota ini?

Lalu bayangan itu kembali muncul di pikirannya, mata kelam, suara rendah, dan kata-kata penuh kuasa.

“Kau akan menyerah padaku, Elena. Entah kau menyadarinya atau tidak.”

Napasnya tercekat. Ia memalingkan wajah dari kaca, mencoba menepis bayangan itu. Tapi semakin ia menolak, semakin nyata rasanya bahwa setiap kegagalannya hari ini bukan kebetulan.

Ada seseorang di balik semua ini.

Ada satu nama yang bisa melumpuhkan semua kesempatannya bahkan sebelum ia mengetuk pintu.

Adrian Valtieri.

Elena berdiri lama di trotoar, tubuhnya gemetar. Sebuah kesadaran dingin merayap dalam dirinya, ia sedang diperangkap, perlahan tapi pasti, hingga satu-satunya jalan yang tersisa hanyalah jalan menuju pria itu.

....

Sore menjelang. Langit Verona mulai berwarna oranye keemasan. Elena berjalan pulang dengan langkah berat, memeluk map lamaran yang sudah lecek.

Sesampainya di depan rumah, ia melihat mobil hitam mengilap terparkir tidak jauh dari gerbang. Kaca jendela turun perlahan, memperlihatkan wajah Adrian Valtieri.

Ia duduk dengan tenang, seakan dunia ada di genggamannya. Tatapannya bertemu dengan Elena, tatapan yang dingin, namun entah bagaimana, ada api aneh yang membuat Elena sulit berpaling.

Adrian tidak mengatakan apa-apa. Hanya senyum tipis di sudut bibirnya, senyum yang membuat darah Elena berdesir.

Lalu mobil itu melaju, meninggalkan Elena yang berdiri kaku dengan dada berdebar.

Pintu-pintu dunia telah menutup.

Dan hanya satu pintu yang masih terbuka, pintu gelap milik Adrian Valtieri.

....

Langit Verona malam itu berat dan lembap, udara musim semi membawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Elena duduk di bangku kecil taman kota, menggenggam map lamaran yang sudah lusuh di pangkuannya. Lampu jalan berpendar samar, memantulkan bayangan wajahnya yang lelah.

Suara langkah kaki yang familiar membuatnya menoleh. Seorang gadis berambut pirang dengan mantel panjang berlari kecil menghampiri, wajahnya dipenuhi cemas.

“Elena!” Sophia Lane menjatuhkan diri di sampingnya, lalu meraih tangan sahabatnya. “Astaga, kau terlihat seperti tidak tidur berhari-hari. Apa yang terjadi?”

Elena menggeleng pelan, berusaha menahan air mata. Namun wajahnya sendiri sudah cukup menjawab. “Aku… sudah mencoba segalanya, Soph. Butik, kafe, toko buku, bahkan toko bunga. Semuanya menolak. Tanpa alasan jelas.”

Sophia terdiam, matanya melebar. “Itu tidak masuk akal. Kau pintar, pekerja keras, dan jelas pantas mendapat kesempatan. Kenapa bisa semuanya menolak sekaligus?”

Elena menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. Ia menggenggam map di pangkuannya erat-erat. “Aku tidak tahu… tapi rasanya seperti… seperti ada yang menutup semua pintu di depanku.”

Sophia mengerutkan kening, lalu mengingat sesuatu. “Elena… siapa orang paling berkuasa yang paling dirugikan oleh ayahmu?”

Elena tertegun. Hatinya langsung berdebar ketika satu nama muncul di kepalanya. Adrian Valtieri.

Sophia memandang sahabatnya dalam-dalam. “Aku dengar desas-desus… katanya Adrian punya tangan di mana-mana. Jika dia mau, satu telepon saja bisa membuat puluhan perusahaan menolak seseorang tanpa alasan.”

Elena mengangkat wajahnya, matanya berair. “Kenapa dia melakukan itu padaku? Apa salahku?”

Sophia menggenggam tangannya erat. “Bukan salahmu. Tapi kau tahu, dunia orang-orang seperti Adrian tidak adil. Dia kehilangan uang karena skandal ayahmu, dan sekarang dia melihatmu sebagai jalan balas dendam…”

Elena menggeleng cepat, suara tercekat. “Tidak. Rasanya bukan hanya itu. Waktu dia menatapku… ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih gelap.”

Sophia menatapnya dengan rasa iba. “Kau harus hati-hati, Elena. Lelaki seperti dia… jika sudah menginginkan sesuatu, dia tidak akan berhenti sampai mendapatkannya.”

Elena terdiam, matanya memandang kosong ke arah lampu taman yang berpendar. Dalam hatinya, kata-kata Sophia hanya memperkuat ketakutan yang sudah tumbuh sejak awal, bahwa ia sedang diperangkap.

Dan yang paling menakutkan, bagian kecil dari dirinya… merasa Adrian sudah mulai memiliki kekuasaan atas dirinya.

....

Setelah mengantar Sophia pulang, Elena berjalan sendirian di jalan setapak menuju rumah. Malam semakin larut, udara semakin dingin, namun pikirannya justru semakin panas oleh ketakutan dan kebingungan.

Setiap langkah kakinya menggema, seakan membisikkan kata yang sama: Adrian. Adrian. Adrian.

Ketika rumah tua itu mulai terlihat di kejauhan, Elena berhenti mendadak. Di seberang jalan, tepat di bawah lampu jalan yang redup, sebuah mobil hitam mengilap kembali terparkir.

Kali ini kaca jendelanya sudah terbuka. Adrian duduk di sana, bersandar santai, seolah sejak tadi menunggunya.

Mata kelam itu menatap lurus padanya, senyumnya samar, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat lutut Elena melemah.

Tidak ada kata yang terucap. Tidak ada gerakan berlebihan. Hanya tatapan itu, tatapan yang mengatakan semuanya.

'Tak peduli berapa lama kau melawan, pada akhirnya kau tetap akan menjadi milikku'.

Elena menutup mata sejenak, menahan gemetar. Ketika ia membuka mata lagi, mobil itu sudah meluncur perlahan menjauh, meninggalkan jejak basah di aspal.

Dan di dalam dada Elena, sebuah keyakinan mulai tumbuh.

Bahwa setiap pintu memang sengaja ditutup.

Dan kunci satu-satunya ada di tangan Adrian Valtieri.

....

Rumah tua itu gelap ketika Elena pulang. Hanya lampu kecil di ruang tamu yang menyala samar, menciptakan bayangan panjang di dinding yang retak.

Ia menggantung mantel basahnya, lalu berjalan ke sofa tempat ayahnya berbaring. Richard tertidur, napasnya berat, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu. Selang oksigen yang melilit membuatnya tampak rapuh, seolah satu hembusan angin saja bisa merenggut hidupnya.

Elena berlutut di sampingnya, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Papa…” bisiknya lirih. “Apa yang harus kulakukan?”

Suara jam tua berdetak di ruangan, keras sekali di telinganya. Ia menunduk, menaruh kepalanya di sisi sofa, meremas tangan ayahnya yang dingin.

Air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan.

Ia memikirkan kata-kata Sophia.

Ia memikirkan tatapan Adrian.

Dan ia memikirkan ultimatum itu.

'Jual rumahmu.’

'Jual dirimu pada orang lain.’

'Atau… serahkan dirimu padaku selama satu tahun.’

Tiga pilihan.

Tiga racun yang sama mematikan.

Elena menggeleng keras, menekan wajahnya di punggung tangan ayahnya. “Aku tidak bisa… aku tidak boleh menyerah padanya. Aku bukan barang. Aku bukan milik siapa pun.”

Namun semakin ia menyangkal, semakin jelas fakta bahwa hidupnya sudah dikunci. Semua jalan ditutup. Semua kesempatan dirampas. Dan waktu terus berjalan.

.....

Sementara itu, jauh di luar, di bawah kegelapan malam, sebuah mobil hitam berhenti di jalan yang sama. Lampunya padam, mesinnya tenang.

Di dalamnya, Adrian duduk diam, tatapannya tak lepas dari rumah tua itu. Ia mengangkat segelas wine merah, menyesap perlahan, seolah sedang menikmati permainan panjang yang sudah ia rancang.

“Waktumu berjalan, Elena,” gumamnya pada dirinya sendiri, bibirnya melengkung dalam senyum samar. “Dan pada akhirnya… kau akan datang padaku.”

Asap rokok melayang tipis di udara, menyatu dengan kabut malam.

Adrian bersandar di kursinya, tenang, penuh keyakinan.

Karena ia tahu, pintu dunia sudah tertutup rapat untuk Elena.

Dan hanya satu pintu yang masih terbuka, yaitu pintu menuju dirinya.

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!