Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah
Pintu ruang Presdir terbanting pelan saat Gema masuk dengan satu set pakaian ganti di tangannya. Napasnya sedikit terengah karena ia harus mengejar Liam yang berjalan lunglai namun masih berwibawa meski kemejanya kini dipenuhi noda teh kecokelatan.
Liam berdiri membelakangi pintu, satu tangan bertumpu di meja kerjanya, satu lagi memijit batang hidung. Napasnya panjang, berat, penuh kejengkelan yang ia tahan agar tidak meledak.
“Pak, ini,” ujar Gema sambil menyodorkan kemeja putih bersih dari laundry internal.
Liam menoleh dengan tatapan yang… sangat tidak bersahabat.
“Sialan,” gumamnya pelan namun jelas.
Gema menelan ludah. Ia sudah menjadi asisten Liam selama tiga tahun. Ia tahu satu hal tentang bosnya:
Jika Liam sudah mengeluarkan kata makian, itu berarti ia benar-benar terganggu.
Walaupun pemicunya… sepele.
“Udahlah, bro,” kata Gema akhirnya, mencoba meredakan tensi sambil meletakkan kemeja ganti di sofa kulit hitam. “Cuma masalah kecil.”
“Masalah kecil?” Liam memutar badan perlahan. Nada itu tidak naik, tapi dinginnya bisa mematikan nyali siapapun. “Kalau yang dia bawa pisau, gue udah mati, Gem.”
Gema langsung mengangkat tangan. “Ya buktinya lo masih hidup, Pak.”
“Karena dia bawa teh, bukan pistol. Itu aja bedanya.”
Pipi Gema berkedut menahan tawa yang salah tempat. “Pak, serius. Anna itu bukan—”
“Ck.” Liam mengangkat tangan menenangkan diri. “Lo berlebihan ngebela dia. Apa lo suka sama dia?”
Gema langsung memutar bola mata. “Secara pribadi enggak. Secara profesional iya.”
Liam menghela napas tajam. “Secara profesional… iya apaan maksud lo?”
“Pak…” Gema berjalan mendekat sambil bicara pelan, memilih kata-kata hati-hati. “Mayoritas supervisor di lantai 35 bilang performanya bagus. Anak itu kerja cepat, belajar cepat, rapi. Itu bukan kata gue doang.”
“Dan? Hari ini dia hampir bikin gue jatuh ke lantai karena teh panas.”
“Ya… kecelakaan, Pak.”
Liam menatapnya tajam. “Kalau kecelakaan seperti itu terjadi di pabrik, itu masuk laporan safety hazard.”
“Pak…” Gema nyaris putus asa. “Lo tahu nggak? Dari semua orang di Sovereign Group, cuma lo yang menilai dia jelek hari ini. Semua orang lain bilang: ‘Anna rajin’, ‘Anna teliti’, ‘Anna cepat tanggap’, ‘Anna bisa diandalkan’.”
Liam terdiam sejenak, bibirnya mengeras.
Gema melihat peluang. Ia langsung lanjut.
“Kalau cuman lo yang menilai dia jelek, kemungkinan besar lo yang salah nilai.”
Liam menatap Gema seperti sedang menimbang apakah ia mau memotong gaji asisten itu.
“Kayaknya lo minta dipotong gaji, Gem?”
Gema langsung tertawa kering, memegang dadanya. “Ehehe… ngga gitu, Pak. Gue cuma ngasih pandangan mayoritas.”
Liam mendengus, mengambil kemeja bersih dengan kasar.
“Mayoritas tidak selalu benar.”
“Setidaknya… mayoritas objektif. Lo kelihatan lagi bad mood sejak pagi.”
Liam menatap noda teh di kemeja lamanya dengan muak.
“Gue bad mood bukan karena dia. Gue bad mood karena gue turun ke bawah buat lihat performa anak magang… dan pertunjukan pertama yang gue dapatkan adalah teh panas gratis.”
“Ya, setidaknya itu bukti nyata kalau dia ceroboh… satu kali.” Gema angkat bahu. “Orang lain juga pernah kesandung, jatuh, numpahin kopi.”
“Ya, tapi mereka gak numpahin ke gue.”
Gema ingin menjawab: Karena mereka tidak cukup sial untuk bertabrakan dengan bos besar.
Tapi ia ingin mempertahankan pekerjaannya.
Liam menarik napas panjang, lebih panjang dari biasanya. “Lo koordinasi meeting jam 10. Gue ganti baju dulu.”
“Baik, Pak.”
Sebelum keluar ruangan, Gema melirik sekilas wajah bosnya.
Jelas: Liam Sovereign sedang tidak dalam kapasitas terbaiknya hari ini.
Dan dampaknya akan dirasakan semua orang.
⸻
10.00 — RUANG RAPAT UTAMA
Para direktur, kepala divisi, dan beberapa manajer senior sudah duduk rapi ketika Liam masuk. Suasananya langsung berubah seperti temperatur AC turun lima derajat. Rapi. Tegang. Tidak ada yang berani bahkan batuk.
Jordan—yang sebenarnya hadir mewakili laporan mingguan—langsung merasa ada tekanan baru di udara.
Liam masuk dengan langkah terukur. Kemeja putihnya bersih, tetapi aura bad mood-nya tidak hilang. Bukan marah. Hanya… dingin, tajam, dan sangat tidak ingin diganggu.
Gema berdiri di belakangnya, membawa tablet laporan.
“Selamat pagi,” ucap Liam datar.
“Pagi, Pak…” jawab semua orang kompak, tapi jelas ragu-ragu.
Meeting dimulai. Slide pertama baru saja muncul, dan kepala divisi pemasaran langsung memulai paparan.
Namun baru dua menit berjalan, Liam mengangkat tangan.
“Stop.”
Semua orang langsung menahan napas.
“Kalian sadar jadwal Q3 meleset dua minggu?”
Kepala divisi menelan ludah. “I—iya Pak, kami sedang—”
“Sedang apa?” Liam menatap tajam. “Menunggu mukjizat?”
Senyap.
Jordan menunduk sedikit, tidak berani menatap Liam secara langsung. Ia sudah sering melihat Liam dingin, tapi hari ini… intensitasnya berlipat.
Gema berdiri tegap, diam-diam menyesal tidak menahan Liam untuk tidak memimpin meeting hari ini.
Liam melanjutkan, “Sovereign Group tidak jalan dengan menunggu. Kita bergerak cepat. Kita tekan pasar. Kita antisipasi risiko. Tapi sekarang jadwal mundur, dan tidak ada satupun dari kalian yang bisa memberi alasan yang layak.”
Kepala divisi ingin bicara, tetapi Liam menatapnya seperti pisau.
“Kamu diam dulu.”
Suasana ruangan makin kaku.
Salah satu direktur keuangan mencoba menengahi. “Pak, sebenarnya ada—”
“Bukan giliran kamu,” Liam memotong cepat.
Jordan memejamkan mata sejenak. Ya Tuhan… mood siapa yang ngerusak pagi bos ini?
Kemudian teringat insiden tadi dan ia menarik napas. Kasihan juga Anna… pasti ini berkaitan.
Liam berdiri dan berjalan pelan mengitari meja seperti sedang mengukur kelemahan timnya satu per satu.
“Kalian mau tahu kenapa perusahaan kita bisa tumbuh sementara kompetitor stagnan?” suaranya rendah. “Karena kita disiplin. Karena kita tidak kasih ruang untuk kecerobohan.”
Gema spontan menunduk sedikit. Aduh… ketampar lagi itu anak magang.
Para kepala divisi mengangguk tanpa berani membantah.
Liam berhenti tepat di ujung meja. “Minggu depan, saya mau lihat timeline baru yang realistis. Tanpa alasan. Tanpa drama.”
Semua orang mencatat.
Liam kembali duduk, menyandarkan punggung dengan dingin. “Lanjut.”
Slide berubah. Paparan berikutnya berjalan. Tapi atmosfernya tetap sama:
takut salah bicara.
takut menyela.
takut bernapas terlalu keras.
Setiap kali seseorang menjawab tanpa yakin, Liam menegur. Setiap angka tidak akurat, ia hentikan presentasi. Setiap grafik tidak lengkap, ia minta ulang.
Satu jam berlalu seperti neraka mini.
⸻
11.30 — USAI MEETING
Begitu Liam keluar ruangan, semua peserta meeting langsung menghela napas serempak.
“Astagaaa…” gumam salah satu kepala divisi.
“Gila, kalau mood Pak Liam jelek, dunia auto kiamat,” komentar yang lain.
Jordan berdiri paling belakang, memandang punggung Liam yang menjauh.
Dan ia tahu satu hal:
Seseorang pasti membuat hari bos besar itu kacau.
Dan Jordan hanya bisa menduga satu nama.
“Anna…” gumamnya pelan.
Sementara itu, Gema bergegas menyusul Liam.
“Pak, makan siang dulu?”
“Tidak lapar.”
“Pak, ada janji konsultasi legal jam 2.”
“Undur.”
“Pak—”
“Tidak menerima tamu hari ini.”
Jawaban Liam selalu pendek, dingin, dan memotong.
Satu cangkir teh tumpah dari seseorang yang bahkan tidak ia kenal baik…
tampaknya cukup untuk membuat seluruh kantor terkena efek domino.
Dan semua orang tahu:
Saat Liam bad mood…
perusahaan berjalan dengan mode survival.