Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setelah Kejadian Itu
Bening terus membasuh wajah dengan air dingin di kamar mandi lantai bawah gedung fakultas. Berkali-kali ia membiarkan air menyentuh wajahnya, mencari setitik ketenangan dan untuk melupakan kejadian beberapa menit lalu. Degup jantungnya masih menderu heboh, kaki dan tangannya masih terasa dingin.
Berciuman … ia baru saja berciuman dengan pria dewasa yang tak lain adalah ayah dari sahabatnya sendiri. Bening menggeleng, mengusir diam-diam euforia yang siap meledak dalam dirinya. Tak seharusnya ia merasa senang seperti itu, justru inilah petaka! Petaka yang akan membawanya ke hal lebih buruk andaikata Nata mengetahui hal tersebut.
Ia menggigit sedikit bibirnya, lalu meringis karena terasa agak perih. Masih perih akibat ciuman panasnya dengan Garda, Bening menyentuh bibir, lalu kembali membasuh wajah. Ia singkirkan ingatan tentang ciuman itu untuk sementara waktu.
Perempuan berambut hitam legam itu keluar dari kamar mandi, buru-buru menuju kafetaria untuk menemui Nata. Sekarang … entahlah, ia tak siap sebenarnya untuk menatap sang sahabat. Bagaimana tidak? Bayangan wajah Garda pasti akan menghantuinya.
“Ning, ke sini!” Nata berseru dari pojok kafetaria sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Dua gadis yang duduk di depannya ikut menoleh begitu Bening mendekat. Rasa canggung menyelimuti Bening. Ia kenal kedua perempuan di depan Nata, Tara dan Meta, teman sekolah Nata saat SMA. Sama seperti Nata, keduanya dari kalangan borjuis, kerap kali membuat Bening merasa kerdil di antara orang-orang seperti mereka. Hanya karena ada Nata-lah Bening berani mendekat.
“Sorry, gue bikin lo capek bolak-balik. Padahal lo ada bimbingan,” kata Nata sembari mengerucutkan bibir setelah selesai bertutur.
“Nggak masalah. Masih ada waktu sebelum bimbingan mulai.”
Tara yang sedang bermain ponsel menoleh pada Bening. “Lo setia banget, Ning, sama Nata. Kata gue kalian, tuh, sahabat yang bener-bener match made from heaven.” Kemudian dia terkikik oleh frasa fenomenal yang diucapkannya.
“Iyalah. Bening tuh orang paling baik yang pernah gue kenal,” ucap Nata sambil menggandeng lengan kanan Bening.
Kemudian Meta menyeletuk, “Yah, tapi bisa lo suruh-suruh, ‘kan? Kalau gitu nggak ada bedanya sama pesuruh? Sama jongos?”
Omongan pedas Meta membuat Nata dan Tara membelalak. Sementara Bening sudah menduga Meta akan mengatakan hal demikian. Di antara dirinya dan Tara, dialah yang paling suka mengomentari dengan kalimat-kalimat pedas.
“Jaga bicara lo, Ta. Gue bener-bener menghargai Bening sebagai sahabat,” kata Nata memprotes.
“Alah!” Meta mengibaskan wajah. Cucu politikus ternama, yang sekarang menjadi ketua umum parpol—partai politik—itu mengibaskan tangan di depan wajah. “Gue tau, kok, ini jenis pembulian baru. Lo sengaja baik-baikin Bening biar bisa lo suruh-suruh. Basi! Dari SMA lo udah kebaca, Nata.”
“Eh, Guys, kok jadi ngomong kayak gitu, sih?” Tara terlihat panik seraya menatap kedua temannya. “Meta, lo kenapa, sih? Lihat Bening dan Nata, mereka beneran cocok jadi sahabat.”
Meta malah berdiri dari tempat. “Lo hati-hati, Bening. Jadi orang jangan polos-polos banget. Seenggaknya, kalau lo miskin, lo jangan jadi orang bego juga.” Kalimat pedas Meta kembali terlontar.
“Meta!” Nata berteriak membuat beberapa pengunjung kafetaria melirik mereka. “Jaga ucapan lo.”
“Terserah, deh. Gue cabut dulu. Lama-lama males gue sama muka dua lo, Nata.”
Sebelum Meta pergi, Bening berdiri menahan langkahnya dengan kata-kata. “Kamu salah, Meta. Bukan Nata yang suka menyuruh, tapi aku yang mau bantuin dia. Selagi aku bisa bantu, aku akan bantu dan Nata itu sahabat aku. Jadi, kamu lebih baik nggak ngomong seenaknya seperti tadi.”
“Ya, terserah kalian aja. Yang penting gue udah ngasih lo peringatan waspada, Bening.”
Kemudian Meta benar-benar melangkah pergi meninggalkan kafetaria. Tara yang sejak tadi diam kebingungan, pun akhirnya memilih pamit untuk mengejar Meta. Sehingga hanya Bening dan Nata yang kini duduk di bangku panjang tempat itu. Beberapa mahasiswa yang ada di kafetaria kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
“Nat, kamu nggak usah dengerin dia. Anggap aja—”
“Gue minta maaf ya karena udah sering nyuruh lo selama ini,” ungkap Nata menahan kalimat sahabatnya.
“N-nggak, kok. Kamu nggak salah. Lagian selama ini kamu kan cuma minta tolong dan kebetulan aku bisa nolongin.”
“Beneran?” Bibir Nata mengerucut lagi. Melihat Bening mengangguk seraya tersenyum, ia langsung memeluknya. “Makasih ya, Ning, ya ampun lo baik banget! Manusia terbaik yang pernah gue kenal.”
Bening hanya tersenyum mendengarnya. Ingatan Bening memutar ulang pertemanan yang terjalin bersama Nata belakangan ini. Nata memang kerap meminta tolong seperti; menemani belanja, membawakan barang belanjaan, membantu mengerjakan tugas saat menginap di rumah Nata, dan masih banyak lagi. Namun, bagi Bening itu hanya permintaan tolong semata. Tak pernah terpikir bahwa Nata hanya ingin memanfaatkannya.
Di antara ingatan itu, tiba-tiba terselip kejadian beberapa menit lalu di rumah Nata. Ciuman itu menghantuinya. Wajah teduh dan sorot lembut Garda menusuk relung hati Bening. Seperti dipukul oleh palu godam tak terlihat, belakang kepalanya mendadak terasa sakit tanpa alasan. Apa jadinya jika Nata tahu tentang hal itu? Hubungan pertemanan yang dibangun bersama Nata pasti akan hancur.
“By the way, lo baik-baik aja? Perasaan tadi pagi lo masih kelihatan oke, kenapa sekarang lo kelihatan pucet gini?” tanya Nata mendadak saja mengalihkan pembicaraan.
“A-apa? Hm, aku baik-baik aja.”
“Nggak. Bibir lo … ah! Lo pasti lupa pakai lipstik yang gue beliin waktu itu, ya? Padahal itu warnanya cantik tau. Lo pasti masih pakai lipstik nude andelan lo yang kelihatan nggak pake lipstik? Hari ini malah kelihatan pucat, Ning.”
“Apa? Iya kayaknya aku lupa pakai.”
Bening gelagapan. Padahal ia masih pucat pasi begitu karena ciuman mendadak bersama Garda, Bening yakin.
Dilihatnya Nata mengeluarkan lipstik dari pouch makeup miliknya, lalu menyodorkan untuk membantu mengolesi bibir Bening. Namun, gerakan tangannya terhenti. Seketika Bening membelalak karena lupa bibirnya agak tergores oleh ciuman tadi.
“K-kenapa?” tanya Bening.
“Ning, mereka masih sering mukulin lo? Apa lo yakin nggak mau lapor polisi? Ini udah keterlaluan. Sampai bibir lo luka gini.”
Barulah Bening bisa bernapas lega karena Nata menyambungkan hal itu dengan pemukulan yang sering dialaminya. Ia tersenyum dan mengambil alih lipstik mahal Nata, lalu menyapukan kuasnya di bibir dengan mandiri. Sementara Nata terus mengamatinya.
“Aku nggak apa-apa, Nat. Mereka kan orang tua aku dan kalau udah parah banget, aku mungkin lapor,” ucap Bening.
“Lo gimana, sih? Parah atau nggak, ini tetep kekerasan.”
“Jangan khawatir, aku bisa ngadepin mereka.” Bening tersenyum sambil menyodorkan lipstik.
Dengan sedikit kecewa, Nata meraihnya. “Pokoknya kalau ada apa-apa, lo ngomong sama gue, ya. Kalau perlu, lo nginap dan tinggal tiap hari di rumah gue aja. Papa gue kan jarang di rumah gue kadang sendirian kalau bibi pekerja paruh waktu udah pulang.”
Menginap setiap hari? Yang benar saja. Meski Garda jarang di rumah, tetapi Bening pastinya tak akan bisa semudah itu muncul terus di rumah keluarga Nata. Apalagi setelah kejadian mengejutkan tadi. Ia belum bisa menghadapi Garda lagi.
“Thanks, tapi aku akan pulang. Aku nggak mau ibu ngomel terus, Nat,” ucap Bening.
“Lo ini emang bener-bener, ya …, selain temen yang baik, lo juga anak yang kelewat baik tau nggak.”
Bening terkekeh sebentar seraya mengamati kaca lebar kafetaria. Senyumnya kemudian menghilang saat mengingat kedua orang tuanya. Bening sebenarnya takut untuk pulang; tempat yang begitu nyaman dan seharusnya menjadi tempat berlindung, kini tak aman lagi bagi Bening. Tempat itu neraka! Begitu kontras dengan keluarga Nata.