NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 4: KEBEBASAN PAHIT

Pintu besi itu terbuka dengan bunyi yang sama seperti tiga tahun lalu ketika menutup—keras, final, tanpa ampun. Tapi kali ini, Elang berdiri di sisi yang berbeda. Sisi kebebasan. Meskipun kata "kebebasan" terasa seperti lelucon kejam ketika ia melangkah keluar dan menyadari bahwa tidak ada yang menunggunya.

Tidak ada keluarga—karena ia tidak punya. Tidak ada teman—karena mereka semua lenyap seperti asap ketika skandal pecah. Tidak ada Zara dengan senyum manisnya, tidak ada Brian dengan pelukan persaudaraan palsunya. Hanya lapangan parkir kosong di depan penjara Cipinang, langit Jakarta yang kelabu seperti beton, dan gerimis tipis yang mulai turun—air yang terlalu malas untuk menjadi hujan tapi cukup basah untuk membuat seseorang merasa dingin sampai tulang.

Elang berdiri di sana, tas kain usang di tangan—satu-satunya barang yang ia bawa keluar. Di dalamnya: dua potong baju, celana panjang yang sudah pudar, buku catatan kecil dengan halaman robek-robek, dan foto ibunya yang sudah menguning—satu-satunya benda dari masa lalu yang masih ia miliki. Tubuhnya kurus, jauh dari atletis yang dulu. Tulang pipi menonjol tajam. Rahang ditumbuhi janggut tidak teratur yang membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Tapi matanya—mata itu yang berbeda. Tajam. Dingin. Mata predator yang sudah belajar berburu dari guru terbaik: penderitaan.

Gerimis semakin deras. Air menetes dari rambut panjangnya yang kusut, mengalir ke wajah, bercampur dengan—bukan air mata, tidak, Elang sudah tidak punya air mata lagi—hanya air hujan yang terasa lebih pahit dari seharusnya.

Ia mulai berjalan. Tidak tahu ke mana. Hanya berjalan karena berdiri di sana lebih lama akan membuatnya gila. Kakinya membawanya ke halte bus terdekat. Bus umum—sesuatu yang sudah tiga tahun tidak ia naiki, sesuatu yang bahkan sebelum penjara jarang ia pakai karena ia selalu punya mobil, punya driver, punya segalanya.

Sekarang ia tidak punya apa-apa.

Bus datang—tua, penuh sesak, bau keringat dan solar. Elang naik, mencari tempat berdiri di antara pekerja kantoran dan penjual sayur. Mereka meliriknya dengan tatapan curiga—pria kurus berjanggut dengan baju lusuh dan mata terlalu tajam. Tatapan yang biasa diberikan pada gembel atau penjahat. Tatapan yang dulu ia beri pada orang-orang seperti dirinya sekarang.

Karma terasa seperti besi panas yang ditekan ke kulit.

Bus berhenti di kawasan Kuningan—dulu lingkungannya, dulu wilayahnya. Elang turun, berjalan ke apartemen mewahnya. Atau yang dulu apartemennya. Gedung tinggi dengan lobby marmer, doorman berseragam rapi, lift yang berbau parfum mahal.

Tapi ketika ia sampai di lobby, satpam menghadangnya.

"Maaf Pak, ada perlu apa?" Nada sopan tapi mata mencurigakan.

"Gue... gue mau ke unit 28B."

"Atas nama siapa, Pak?"

"Elang. Elang Alghifari. Itu unit gue."

Satpam memeriksa komputer dengan wajah ragu. Lalu menggeleng. "Maaf Pak, unit 28B sudah disegel oleh pihak berwenang tiga tahun lalu. Dan sekarang dimiliki oleh Bapak Brian Mahendra."

Brian.

Tentu saja Brian. Mengambil perusahaan tidak cukup. Mengambil Zara tidak cukup. Ia bahkan mengambil rumah—tempat Elang dulu bermimpi, tempat ia dulu merencanakan masa depan, tempat ia dulu bercinta dengan wanita yang ternyata hanya menunggu waktu untuk menusuknya dari belakang.

"Pak?" Satpam menatapnya khawatir. "Bapak tidak apa-apa?"

Elang tersadar. Ia tidak menyadari bahwa tangannya mengepal keras sampai kuku menggali telapak tangan, meninggalkan tanda bulan sabit merah. Tidak menyadari bahwa rahangnya terkunci sampai gigi bergemeretak.

"Gue nggak apa-apa," suaranya keluar lebih serak dari yang ia inginkan. "Gue cuma... salah alamat."

Ia berbalik, berjalan keluar dengan langkah yang berusaha terlihat tenang meskipun dadanya terasa seperti diremuk oleh tangan raksasa yang tidak terlihat.

Bank. Ia harus ke bank. Masih ada rekening—harusnya masih ada sisa uang darurat yang ia simpan di bank berbeda dari yang dipakai perusahaan.

ATM di pojok jalan. Elang memasukkan kartu dengan tangan sedikit gemetar—kartu yang sudah tiga tahun tidak tersentuh, yang mungkin sudah tidak berlaku, yang mungkin—

*Rekening Anda telah dibekukan oleh perintah pengadilan.*

Layar ATM menampilkan pesan itu dengan font digital yang dingin dan tidak peduli. Elang menatapnya lama. Lalu mencoba lagi, berharap ini kesalahan sistem. Tapi pesan yang sama muncul. Dan lagi. Dan lagi.

Dibekukan. Semua rekening. Semua aset. Semua yang pernah ia kumpulkan dengan kerja keras tujuh tahun—hilang, disita, atau lebih tepatnya, dirampok secara legal oleh sistem yang sudah dimanipulasi untuk menghancurkannya total.

Langit semakin gelap. Gerimis berubah menjadi hujan—akhirnya memutuskan untuk serius. Elang berjalan tanpa arah, basah kuyup, tas kain di tangannya semakin berat karena menyerap air. Ia melewati kafe-kafe mewah tempat ia dulu sering meeting, gedung-gedung perkantoran tempat ia dulu disambut dengan hormat, restoran-restoran tempat ia dulu makan dengan Zara sambil merencanakan masa depan yang ternyata tidak pernah benar-benar ada.

Jakarta tidak berubah. Tetap gemerlap. Tetap sibuk. Tetap tidak peduli pada satu jiwa yang hancur di antara jutaan jiwa lain yang berjuang untuk tidak hancur.

Malam datang. Hujan mereda tapi udara dingin meresap ke tulang. Elang tidak punya uang untuk hotel—bahkan hotel melati termurah. Tidak punya teman untuk menumpang. Tidak punya siapa-siapa.

Kakinya membawanya ke Semanggi. Di bawah jembatan layang yang ramai dilalui mobil-mobil mewah, ada komunitas lain—komunitas orang-orang yang jatuh lebih dalam dari yang bisa dibayangkan kehidupan. Gembel. Tunawisma. Orang-orang yang kehilangan segalanya dan tidak pernah bangkit lagi.

Kolong jembatan itu berbau—campuran sampah, urine, dan keputusasaan yang sudah mengendap bertahun-tahun. Ada sekitar sepuluh orang di sana, berbaring di kardus basah, berselimut plastik, menatap kosong ke kegelapan atau ke botol-botol lem yang membuat mereka lupa bahwa mereka masih hidup.

Elang menemukan sudut kosong. Meletakkan tas sebagai bantal. Berbaring di lantai beton yang dingin dan basah. Bau sampah dari tong sampah di dekatnya menyerang hidung—bau asam, bau busuk, bau kehidupan yang sudah membusuk sebelum mati.

Ini dia. Ini yang tersisa dari Elang Alghifari. Dari CEO yang pernah berfoto di sampul majalah. Dari pria yang pernah memberi speech di depan ratusan investor. Dari anak yatim Bekasi yang pernah bermimpi membuktikan bahwa ia bisa jadi seseorang.

Sekarang ia kembali menjadi tidak ada. Bahkan lebih rendah dari titik awal, karena setidaknya dulu ia punya mimpi. Sekarang yang ia punya hanya dendam—dan bahkan itu terasa seperti mimpi yang terlalu mahal untuk dicapai.

"Dari CEO jadi gembel," gerutunya pahit, suara serak tertelan oleh bunyi mobil di atas jembangan. "Dari penthouse jadi kolong jembatan. Dari steak wagyu jadi... nggak makan."

Perutnya berbunyi—ia belum makan sejak pagi, sejak sarapan terakhir di penjara yang rasanya seperti kardus basah tapi setidaknya ada. Sekarang tidak ada apa-apa. Hanya udara dingin dan rasa lapar yang menggigit seperti anjing rabies.

Ia menutup mata, mencoba tidur, tapi suara Farrel bergema di kepala—kata-kata yang pria tua itu ucapkan di malam terakhir sebelum Elang dibebaskan:

*"Jatuh paling dalam itu bukan kutukan, Elang. Itu fondasi. Lo mau bangun gedung tinggi, lo butuh fondasi dalam. Lo udah punya fondasi sekarang. Tinggal lo mau bangun apa di atasnya: istana atau makam lo sendiri."*

Elang membuka mata. Menatap langit-langit jembatan yang penuh coretan grafiti dan bekas lumut. Di atas sana, mobil-mobil berlalu lalang—orang-orang yang punya rumah, punya kehangatan, punya tujuan pulang.

Ia dulu salah satu dari mereka. Suatu hari, ia akan menjadi salah satu dari mereka lagi. Tapi bukan versi naif yang percaya pada kebaikan manusia. Versi yang tahu bahwa dunia ini kejam, bahwa hanya yang kuat yang bertahan, bahwa dendam adalah motivasi yang lebih tulus dari cinta.

Pagi datang dengan dingin yang lebih tajam. Elang bangun—tubuh kaku, punggung sakit, kepala berdenyut. Ia berjalan ke toilet umum terdekat, mencuci muka dengan air keran yang dingin seperti es. Menatap cermin retak di dinding.

Wajah yang menatap balik bukan wajahnya. Atau lebih tepatnya, bukan wajah yang ia ingat. Kurus. Pucat. Berjanggot. Mata cekung dengan kantung hitam di bawahnya. Ini wajah orang yang sudah mati tapi tubuhnya belum tahu.

"Bukan CEO angkuh," bisiknya pada pantulan itu. "Bukan pria sukses. Cuma... pria patah."

Tapi di mata itu, ada sesuatu yang belum patah. Sesuatu yang keras seperti berlian yang terbentuk dari tekanan ekstrem. Sesuatu yang membuat pantulan di cermin itu terlihat lebih berbahaya daripada menyedihkan.

Ia kembali ke kolong jembatan, mengambil tasnya. Di dalam, ia menemukan sesuatu yang nyaris terlupakan—secarik kertas kecil yang Stella selipkan dalam surat terakhirnya yang ia terima seminggu sebelum bebas. Kertas yang ia sembunyikan di sepatu karena terlalu penting untuk dihancurkan.

*Alamat: Jl. Raya Pangalengan No. 47, Bandung*

*Tanya Bu Marni. Katakan Stella yang kirim.*

*Ada pekerjaan di sana. Bukan banyak, tapi cukup untuk mulai.*

Pangalengan. Bandung. Jauh dari Jakarta. Jauh dari Brian dan Zara. Jauh dari kehancuran yang menempel di kulitnya seperti dosa yang tidak bisa dicuci.

Ia menghitung uang di sakunya—uang seadanya yang diberikan penjara sebagai "bekal" untuk narapidana yang bebas. Lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk naik bus ekonomi ke Bandung. Tidak cukup untuk makan. Tapi ia sudah terbiasa lapar—penjara mengajarinya bahwa perut bisa diabaikan ketika otak punya misi yang lebih penting.

Terminal Kampung Rambutan. Bus ekonomi jurusan Bandung—tua, jok robek, AC tidak berfungsi. Elang naik, membayar dengan uang terakhirnya, duduk di kursi paling belakang yang baunya seperti campuran bensin dan muntahan.

Bus melaju keluar Jakarta. Melewati kemacetan, polusi, gedung-gedung pencakar langit yang dulu ia lihat sebagai simbol ambisi. Sekarang ia melihatnya sebagai makam vertikal—tempat orang-orang mengubur jiwa mereka demi uang dan status.

Puncak. Bus melewati Puncak dengan kabut tebal yang membuat jarak pandang hampir nol. Seperti metafora kehidupannya—tidak bisa melihat ke depan, tidak tahu apa yang menunggu, hanya bisa terus bergerak karena berhenti berarti mati.

Elang menatap pantulan wajahnya di kaca jendela bus yang berembun. Wajah itu tumpang tindih dengan pemandangan kabut di luar—seolah ia sudah menjadi bagian dari kegelapan, tidak sepenuhnya ada, tidak sepenuhnya hidup.

Dan untuk pertama kalinya sejak keluar penjara, bibirnya bergerak—bukan dengan kata-kata dendam, bukan dengan rencana balas, tapi dengan doa yang keluar seperti reflek dari tempat dalam yang ia pikir sudah mati:

"Ya Allah..."

Suaranya serak, gemetar, nyaris tidak terdengar di tengah bunyi mesin bus yang menderu.

"Gue nggak minta lagi dikembalikan ke posisi lama. Gue nggak minta lagi jadi orang yang dulu. Orang itu naif. Orang itu bodoh. Orang itu mati."

Bus berbelok tajam. Kabut semakin tebal sampai Elang tidak bisa melihat apa pun selain putih.

"Tapi gue minta... tunjukkan gue jalan. Jalan yang benar. Bukan jalan dendam yang bikin gue jadi monster. Bukan jalan pasrah yang bikin gue mati sia-sia. Jalan yang... yang ada keadilan di sana. Yang ada makna di sana."

Air mengalir di pipinya. Elang tidak tahu apakah itu air mata atau hanya embun dari kaca jendela yang bocor. Ia tidak mau tahu. Karena mengakui bahwa ia menangis berarti mengakui bahwa ia masih punya sesuatu yang bisa patah. Dan ia tidak yakin ia mampu patah lagi tanpa hancur total.

"Tunjukkan jalanku, ya Allah. Karena gue udah nggak bisa lihat sendiri."

Bus terus melaju menembus kabut. Ke Bandung. Ke Pangalengan. Ke masa depan yang tidak ia kenal. Ke hidup yang harus ia bangun lagi dari nol—atau lebih tepatnya, dari minus.

Tapi di dadanya, sesuatu yang sudah lama padam mulai berkedip pelan. Bukan harapan—ia tidak naif lagi untuk harapan. Tapi sesuatu yang lebih sederhana: kemauan untuk terus bernapas. Untuk melihat besok. Untuk membuktikan bahwa ia masih bisa berdiri setelah jatuh paling dalam.

Dan mungkin—hanya mungkin—di tempat baru itu, di antara kabut dan pegunungan, ia akan menemukan sesuatu yang lebih berharga dari dendam.

Sesuatu yang membuat hidup kembali terasa seperti layak untuk dijalani.

---

**[Bersambung ke Bab 5]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!