NovelToon NovelToon
DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Raja Tentara/Dewa Perang / Kelahiran kembali menjadi kuat / Fantasi Isekai / Epik Petualangan
Popularitas:276
Nilai: 5
Nama Author: Wisnu ichwan

"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Garis Batas dan Paspor Palsu

Pukul 01.30 dini hari. Gudang '110' di balik Jembatan Merah adalah sebuah kapsul waktu, terisolasi dari kegaduhan kota. Elara tidak merasakan dingin, adrenalin menahannya tetap panas dan waspada. Kabar bahwa ayahnya masih hidup, dan semua ini adalah upaya penyelamatan serta pewarisan sebuah rahasia besar, mengalahkan rasa lelah dan takutnya.

Ia mengambil napas dalam-dalam, menatap tumpukan bukti di hadapannya. Ini bukan lagi drama romantis atau perburuan harta karun yang puitis. Ini adalah sebuah operasi.

Langkah pertamanya: memproses apa yang ia miliki.

Elara mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan senter ke tumpukan kertas. Mereka adalah salinan digital, foto-foto, dan beberapa cetakan email yang tampak otentik, semua tentang transaksi keuangan yang rumit dan pertemuan rahasia. Nama-nama besar di kota itu muncul berulang kali—politisi, kepala polisi, bahkan beberapa tokoh media. Itu adalah jaring laba-laba korupsi yang ayahnya sebutkan.

Ia memisahkan USB drive itu. Benda kecil itu terasa seperti inti dari segala sesuatu. Ia tahu, data di dalamnya adalah nyawa.

Kemudian, ia melihat lagi kunci kuningan itu. Di baliknya, ukiran: 457-Delta.

Ayahnya menyuruhnya menghilang. Itu adalah perintah. Dan perintah itu datang dengan janji sumber daya: uang tunai dan paspor palsu.

Brankas bank. Bank lama. Ini berarti ia harus bergerak lagi, dan bergerak di pagi hari, saat bank buka. Risiko yang harus diambil.

Elara memutuskan untuk menggunakan sisa malam itu untuk merencanakan pelarian dan memahami ancaman. Ia menahan godaan untuk membuka semua file sekarang. Keamanan adalah prioritas. Ia ingat peringatan ayahnya: Mereka sedang mencariku saat ini, dan mereka akan mencarimu.

Ia menggeser meja kecil yang berdebu itu hingga menghalangi pintu, tindakan pencegahan yang primitif namun menenangkan. Ia menemukan beberapa kardus kosong di sudut. Dengan menggunakan kardus-kardus itu sebagai alas, Elara duduk di lantai, bersandar di dinding.

Ia membuka surat ayahnya lagi, membacanya berulang kali. Setiap kata adalah kode kasih sayang dan keputusasaan. Ayahnya adalah whistleblower sejati yang dipaksa menjadi buronan. Dan sekarang, Elara adalah whistleblower junior, in absentia.

Peta di balik receipt toko roti itu juga kini memiliki arti yang jelas: skema untuk menyusup ke server ayahnya. Jembatan Merah. Tengah malam. Tiga X dan satu O. Elara menyadari bahwa ayahnya mungkin sudah berada di dekatnya ketika ia sampai di jembatan. Bahkan, mungkin ayahnya yang menaruh receipt itu di kedai kopi.

Ia melihat jam. Pukul 03.45. Tidak ada gunanya tidur.

Elara menghabiskan waktu dengan mempelajari dokumen. Ia mencari petunjuk tentang siapa musuh ayahnya. Ada satu nama yang paling sering muncul di bagian atas hierarki transaksi ilegal itu: Raja Dharma. Ia adalah seorang konglomerat yang secara resmi dikenal sebagai dermawan kota, penguasa industri konstruksi, dan pemilik mayoritas bank tempat brankas itu berada.

Koneksi itu mendinginkan darahnya. Raja Dharma adalah sosok yang tak tersentuh. Ayahnya tidak melawan mafia kecil; ia melawan jantung kekuasaan kota.

Pagi merangkak masuk melalui celah-celah di atap gudang, memancarkan garis-garis cahaya yang menari-nari di debu. Pukul 06.00, kota mulai bergerak, suara bising dari jalanan di kejauhan mulai terdengar.

Elara mengeluarkan ponselnya dan memesan taksi daring, memilih titik penjemputan yang berbeda, di ujung jalan yang berlawanan.

Ia memasukkan semua dokumen dan USB drive ke dalam tas ranselnya, menyembunyikannya di bawah lapisan pakaian. Kunci kuningan itu ia ikat dengan kalung, disembunyikan di bawah kemeja. Ia harus pergi dengan tampilan yang paling biasa, pekerja muda yang terburu-buru.

Tepat pukul 06.30, ia meninggalkan gudang, mengunci pintu di belakangnya dengan hati-hati. Ia berjalan cepat, menghindari tatapan, dan naik taksi.

"Bank Persatuan, cabang lama," katanya kepada pengemudi.

Bank Persatuan, cabang lama, adalah bangunan batu yang megah dengan pilar-pilar besar, sebuah monumen kekayaan masa lalu. Elara tiba tepat saat jam digital di lobby menunjukkan pukul 09.00.

Ia mendekati loket safe-deposit box dengan jantung yang berdebar. Ia sengaja tidak mengenakan mantel paritnya; ia ingin terlihat muda dan tidak berbahaya.

"Saya ingin mengakses safe-deposit box 457-Delta," katanya kepada petugas muda yang ramah.

Petugas itu tersenyum dan meminta kartu identitas. Elara menyerahkan KTP-nya.

"Atas nama... Bapak Pramana?" tanya petugas itu, mengacu pada nama ayahnya.

"Ya, beliau ayah saya. Saya diizinkan oleh surat kuasa," Elara berbohong dengan tenang.

Petugas itu memeriksa berkas. "Maaf, Nona. Brankas ini hanya bisa diakses oleh pemegang kunci, dan tanpa Anda terdaftar sebagai co-signee..."

"Saya punya kuncinya," potong Elara, mengeluarkan kunci kuningan itu. "Ayah saya sedang sakit. Dia memberikannya kepada saya. Ini, silakan cek nomornya."

Petugas itu terlihat tidak nyaman. "Prosedur kami sangat ketat..."

"Ayah saya adalah Tuan Pramana," kata Elara, menekan nama itu dengan tatapan mata yang tegas. Ayahnya seorang jurnalis terkenal, dan di kalangan tertentu, nama itu membawa bobot. "Saya tidak punya waktu. Bisakah Anda periksa kunci ini dan nomornya?"

Petugas itu ragu, lalu mengangguk. Ia membawa kunci itu ke ruang belakang.

Lima menit yang terasa seperti berjam-jam. Elara memindai setiap wajah di lobby. Ia mencari sosok berjaket gelap, mata yang mengawasi, namun semua orang tampak sibuk dengan urusan mereka.

Petugas itu kembali, sedikit lebih pucat. "Baik, Nona. Mari ikuti saya."

Elara diantar ke ruang bawah tanah, sebuah labirin dari baja dan baja tahan karat. Udara terasa dingin dan kering. Pintu besi setebal lemari besi abad ke-19 terbuka di hadapan mereka.

"Brankas 457-Delta," ujar petugas itu, menunjuk ke sebuah lubang persegi. "Anda memasukkan kunci Anda. Saya akan memutar kunci master."

Dalam gerakan yang disinkronkan, keduanya memutar kunci. Klik ganda terdengar memuaskan. Petugas itu menarik kotak logam panjang itu dan menyerahkannya kepada Elara di ruang privat kecil.

"Anda punya 30 menit," katanya sebelum pergi.

Elara menutup pintu ruang privat. Ia meletakkan kunci itu di atas meja dan membuka kotak logam.

Di dalamnya, persis seperti yang dijanjikan.

Tumpukan uang tunai yang diikat rapi, mata uang asing dan lokal. Perkiraan cepat menunjukkan jumlahnya cukup untuk berbulan-bulan pelarian.

Dan dua paspor.

Satu adalah paspor baru atas nama Elara Surya, dengan foto yang sedikit berbeda dari KTP-nya, dan tanggal lahir yang dimodifikasi. Nama ibunya diubah, sehingga tidak bisa dilacak melalui catatan sipil lama.

Yang kedua adalah paspor untuk seorang pria paruh baya, atas nama Arya Dharma.

Elara mengambil paspor Arya Dharma. Ia tahu paspor ini adalah milik ayahnya.

"Arya Dharma," gumam Elara.

Ia segera memasukkan semua uang tunai dan paspor itu ke dalam tas ranselnya. Ia tidak meninggalkan apa pun, bahkan debu di kotak itu ia usap.

Saat ia berjalan keluar, jam sudah menunjukkan pukul 09.25. Ia menyerahkan kotak kosong itu kepada petugas yang kembali tersenyum.

"Terima kasih atas kerja sama Anda," kata Elara, nadanya kini benar-benar tenang.

Ia harus segera keluar dari kota.

Langkah logis berikutnya adalah stasiun kereta api atau bandara. Tetapi itu terlalu jelas. Raja Dharma akan memiliki orang di sana.

Elara menyadari bahwa ia memerlukan tempat berlindung, setidaknya selama 24 jam untuk merencanakan langkah selanjutnya. Tempat yang aman, tempat ia bisa mengakses USB drive itu.

Sambil berjalan menjauh dari bank, ia berhenti di sebuah toko ponsel yang ramai. Ia membeli laptop bekas yang paling murah, membayar tunai. Kemudian, ia membeli sebuah dongle internet prabayar, juga tunai. Tidak ada yang bisa dilacak melalui kartu banknya.

Dengan tas yang kini terasa berat dan laptop di tangan, Elara mengambil bus, bukan taksi. Ia ingin tenggelam di antara keramaian, di antara para komuter yang tidak peduli.

Tujuannya: sebuah motel murah dan tersembunyi di pinggiran kota, jauh dari jangkauan sinyal wi-fi publik. Tempat-tempat seperti itu tidak meminta KTP yang ketat, dan sering membayar dengan uang tunai.

Di bus, ia mengeluarkan paspor palsunya.

Elara Surya. Ia menatap foto dirinya yang baru. Ia merasa terasing dari identitas barunya.

Saat bus melaju melewati lingkungan yang asing, Elara merasakan getaran di ranselnya. Ia merogohnya, dan jari-jarinya menyentuh amplop yang berisi dokumen.

Saat itulah ia melihatnya: sebuah mobil sedan hitam besar melaju perlahan, menyalip busnya. Jendela mobil itu gelap, tapi Elara bersumpah ia melihat kilatan kecil di jendela belakang, pantulan dari kamera atau lensa.

Mereka sudah mengikutinya. Mereka sudah melihatnya keluar dari bank.

Instingnya mengambil alih. Ia menarik tali penghenti bus.

"Berhenti di halte berikutnya!" serunya.

Bus berhenti, dan Elara bergegas turun. Ia tidak melihat ke belakang. Ia menyeberang jalanan sibuk, berlari ke gang sempit yang penuh dengan kedai kaki lima. Bau masakan dan bisingnya obrolan menyelamatkannya.

Ia tidak menuju ke motel. Ia harus mengelabui mereka.

Ia masuk ke pasar tradisional yang padat, berbaur dengan kerumunan. Saat ia keluar dari pasar, ia sudah mengenakan topi rajut yang dibelinya secara impulsif dan syal cerah yang menutupi lehernya—perubahan kecil yang cukup untuk mengganggu pengamat jarak jauh.

Setelah beberapa blok berjalan dan dua kali ganti angkutan umum, ia akhirnya menemukan tempat yang ia butuhkan: sebuah kamar kos sederhana, dibayar tunai mingguan. Itu adalah pilihan teraman yang bisa ia temukan dalam waktu singkat.

Begitu pintu kamarnya yang kecil terkunci, Elara meletakkan laptop dan USB drive di meja.

Ia sekarang aman. Untuk saat ini.

Ia tidak punya waktu lagi untuk berduka atau merenung. Ia adalah Elara Surya, agen rahasia yang tidak terlatih.

Dengan tangan yang gemetar, ia menyalakan laptop bekas itu.

Langkah pertama: melihat ke dalam inti rahasia ayahnya.

Ia memasukkan USB drive hitam matte itu ke port laptop. Sebuah pop-up muncul.

Nama Pengguna: PRASASTI Kata Sandi: **********

Elara tersenyum pahit. Kata sandi. Tentu saja. Ayahnya tidak akan membuatnya mudah. Ini adalah ujian terakhir.

Ia memikirkan semua petunjuk: Katalis, Baudelaire, Penyangkalan Santo Petrus. Ini semua tentang sastra, seni, dan nostalgia.

Ia mengetik.

KATA SANDI SALAH.

Ia mencoba lagi. Ia memikirkan Jembatan Merah. Tengah malam.

KATA SANDI SALAH.

Ia kembali ke puisi Baudelaire, 'Penyangkalan Santo Petrus.' Puisi tentang penghianatan.

Lalu, ia ingat. Jembatan Merah.

Ayahnya dan ibunya pertama kali bertemu di Jembatan Merah. Mereka sering menceritakan kisah itu.

Elara mengetik nama ibunya.

KATA SANDI SALAH.

Frustrasi mulai merangkak. Apa yang ia lewatkan?

Ia melihat peta di receipt itu lagi. Tiga 'X' dan satu 'O' ganda. Titik koneksi, titik aktivasi.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul.

Ayahnya tidak hanya puitis, ia juga metodis, terstruktur. 821.5. Nomor katalog.

Elara mengetik: 8215

KATA SANDI SALAH.

Ia mencoba kombinasi terakhir. Sesuatu yang sentimental, tetapi rahasia.

Ia memikirkan puisi favorit ayahnya. Bukan Baudelaire. Puisi yang sering ia baca sebelum tidur. Tentang bintang-bintang dan rumah.

Ia mengetik dua kata. Dua nama yang hanya diketahui oleh mereka bertiga:

LANGIT SENJA

Sebuah bunyi klik digital terdengar.

AKSES DITERIMA.

Layar laptop itu dipenuhi folder-folder yang terorganisir, semuanya berlabel kode: PROYEK PERSEUS, BUKTI DELTA, JARING LABA-LABA.

Elara menyandarkan punggungnya di dinding kamar kos itu, menarik napas panjang.

"Aku menemukanmu, Ayah," bisiknya.

Ia mengeklik folder 'PROYEK PERSEUS'. Di dalamnya, ada sebuah video file kecil.

Elara mengeklik play.

Wajah ayahnya muncul di layar, tampak kurus dan lelah, tetapi matanya memancarkan kecerdasan yang sama.

"Jika kau menonton ini, Elara, berarti kau sudah sampai pada garis batas. Sekarang kau memiliki semua yang kau butuhkan. Tapi kau harus cepat. Kau harus berpegangan pada harapan ini, seperti aku berpegangan padamu."

Ayahnya berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera.

"Sekarang, kau harus menghancurkan USB drive ini. Hancurkan hingga tidak bisa direkonstruksi. Semua data sudah diunggah ke server aman. Dan kau, Anakku... kau harus menghilang ke dalam data itu."

1
Johana Guarneros
Aku suka banget sama cerita ini, jangan berhenti menulis author!
marmota_FEBB
Mantap nih!
Wisnu ichwan: tengkyuuu 🙌
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!