NovelToon NovelToon
Aku Yang Dulu Bukan Sekarang

Aku Yang Dulu Bukan Sekarang

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Salmiah salmiah

🫂terkadang kita semua tahu hidayah itu tidak di tunggu tapi di jemput"seperti cerita wanita yang tak akan perna memaafkan diri nya yang dulu

🌺🌻🌹🌷seperti apa ceritanya tunggu untuk part part selanjutnya love riding "***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salmiah salmiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

rumah

​Langit di atas rumah terasa pekat, bukan karena malam, tapi karena awan emosi yang menggantung di ruang tengah. Namaku Olym, dan saat ini, aku sedang berada di tengah pusaran yang kusebut

"Situasi Serba Salah."

​Semua bermula saat aku, yang baru saja pulang dari mondok, mencoba menerapkan ilmu tabayyun (klarifikasi). Kemarin, Umi salah menangkap maksudku. Setelah perbincangan panjang yang menguras energi, Umi akhirnya menghela napas.

​"Astaghfirullah, salah ya, Nak? Ternyata makanya kamu kalau itu Umi salah menurutmu, langsung kamu kasih tahu," kata Umi dengan nada sedikit lelah. Lalu, matanya menatapku menyelidik, "Kenapa memangnya kamu nggak kasih tahu langsung?"

​Aku, yang sudah bertekad menjaga adab, menjawab lembut, "Karena Olym tunggu waktu yang tepat, Mi."

​"Lain kali langsung kasih tahu saja," pinta Umi.

"Iya, Mi. Insya Allah," jawabku patuh.

​Aku merasa lega. Setidaknya, ada kesepakatan baru.

​Namun, babak baru kesalahpahaman datang lebih cepat dari yang kuduga. Hari ini, Umi membuat kesalahan kecil lagi. Aku menarik napas, mengingat janji Umi kemarin.

​"Mi, aku mau bilang sebentar, tapi..."

​Belum selesai aku merangkai kata, kalimatku sudah dipotong dengan sambaran petir emosi Umi. Wajahnya mengeras, lelah yang kemarin sudah hilang digantikan rasa tersinggung yang memuncak.

​"Apa sih! Nggak usah kamu urus! Umi tahu pang kamu pintar dari Umi!"

​Tubuhku membeku. Hawa panas menjalar dari dada ke tenggorokan. Bukan hanya perasaanku yang terluka, tapi seluruh tubuhku terasa remuk—ditambah lagi aku sedang haid. Rasanya emosi yang bergejolak karena hormon kini berlipat ganda karena merasa dihakimi.

Aku menahan air mata yang mendesak keluar, tahu bahwa menanggis hanya akan memicu label baru.

​Malam itu, mood-ku hilang tak bersisa, berganti dengan rasa kesal yang tak tertahankan.

​Keesokan harinya, badai itu meluas. Umi tidak hanya marah, tapi juga pergi melapor kepada Nenek. Dan seperti yang selalu terjadi, di depan Nenek, akulah pihak yang sepenuhnya disalahkan.

​Nenek menatapku dengan tatapan kecewa yang menusuk. Aku tahu, Umi pasti menceritakan masalah dengan dramatis, apalagi setelah aku mencoba memberi contoh yang blunder.

​Contoh itu kuambil dari pembicaraan Kakak Nenekku yang sedang bergosip, tujuanku agar Umi sadar, tapi Umi malah menanggapinya dengan kalimat paling menyakitkan:

"Kamu nggak ada gunanya pernah mondok, kalau masih dengarin perkataan orang (gosip) itu!"

​Kepalaku pusing. Jadi, usahaku di pondok, kesabaranku belajar agama, semuanya diukur hanya dari satu kesalahan berkomunikasi?

​Nenek kemudian mulai mengungkit masalah-masalah lain yang bahkan sudah kucari pembenaran dari sudut syariat dan etika.

​"Kenapa kamu nggak pernah lihat Kakek? Sudah gimana (sakit) mau lihat?" ujar Nenek.

​Aku hanya bisa diam. Bagaimana aku mau melihat, kalau di rumah ini saja aku serba salah? Aku bingung Kakek yang mana yang dimaksud. Belum lagi, selama ini aku harus mondar-mandir antara rumah Nenek dan rumahku (yang letaknya hanya di seberang).

​Dulu, aku tinggal di rumah Nenek untuk menemaninya. Tapi begitu ada anak-anak tambang (laki-laki dewasa) yang datang, aku memutuskan pindah ke rumahku untuk menjaga diri dari ikhtilat. Barang-barangku masih di sana, jadi aku terpaksa bolak-balik.

​Justru mondar-mandirku inilah yang jadi bahan kritikan Umi. Ia bilang aku terlihat jelek kalau mondar-mandir terus.

​"Padahal barang-barangku di situ, Mi..

." bisikku dalam hati, tanpa berani bersuara.

​Aku bahkan hanya berani pergi ke kebun Nenek di siang hari saat tidak ada kelas dan sudah meminta izin Umi. Tapi kini, semua itu salah.

​Rasanya seperti ada tali di leher yang ditarik kencang. Aku sudah berusaha taat syariat, taat orang tua, dan taat adab di pondok, tapi hasilnya... nihil.

​Aku tersandar di dinding kamar, menangis tanpa suara. Di pondok dulu, saat aku menahan tangis dibilang keras hati dan tidak sensitif. Sekarang di rumah, saat aku melepaskan air mata dibilang lebay dan cengeng.

​"Apa sih mau mereka?" jeritku dalam hati. Tidak ada yang mendukung. Tidak ada yang mau mendengar penjelasanku.

​Dalam keputusasaan yang melumpuhkan, aku hanya bisa berbisik lirih. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah.

​Mungkin, benar kata Ustadzah.

Jihad terberat seorang anak adalah bersabar dan berbakti di tengah penilaian dan kritik orang tua, ketika tidak ada satu pun manusia yang mendukung.

Cukuplah Allah yang menjadi sandaran dan penolongku. Aku harus bertahan. Aku tidak boleh menyerah.

1
miya_story
oke kak Terima kasih infonya 😍biasa kak author nya kebawa cerita 🤭🤣
Jaehan
maaf kak, ini saran aja. tanda " dipakai untuk dialog. klo narasi gak perlu, nanti reader jd bingung..
miya_story
begimana reader's semoga kalian terhibur ya 😍
cila
cerita yang menarik, dn sangat seru semangat kaa 😍 btw jangan lupa mampir punya aku juga ya kaa, semangat kaa ❤️
miya_story: Terima kasih kakak 🥰semangat baca ya kak 😍
total 2 replies
miya_story
Terima kasih kakak😍
tasha angin
🎉 Ini benar-benar cerita yang menyenangkan, saya suka sekali!
miya_story: Terima kasih kk maaf kan say lama mengomentari 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!