Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 1
Orang selalu bilang kalau cinta datang pada waktunya, seolah perasaan itu tumbuh rapi seperti bunga yang tahu kapan dirinya mekar. Padahal seringnya, cinta justru lahir dari sebuah kebohongan yang berubah serius, atau dua orang yang sama-sama mencoba melarikan diri dari kehidupan yang tak lagi ingin mereka tinggali. Ada yang berpura-pura saling memahami demi bisa bertahan di sisinya. Ada pula yang hanya ingin hidup normal, namun baru sadar bahwa kata “normal” adalah kemewahan paling sulit yang bisa dimiliki seseorang.
Deras hujan yang mengguyur setiap sudut kota tanpa ampun memaksa berbagai kedai di pinggir jalan untuk tutup lantaran sepi pengunjung. Banyak ojek online berhamburan membuka jok motor mereka untuk mengambil mantel. Beberapa remaja menaruh tas mereka di atas kepala selepas pulang dari tempat les. Rutinitas umum warga Jakarta di kala hujan menerjang.
“Ibu… aku nggak akan pulang malam ini.”
Tegas seorang gadis bermata empat yang sedang berdiri di depan toko sepatu. Wajahnya pucat, rambut dan bahu basah, adapun sebuah ponsel melekat kaku di telinga kanannya. Apakah berdiri menggigil di trotoar bukan karena dingin melainkan emosi termasuk salah satu rutinitas warga Jakarta juga?
“Aku capek, Bu,” lanjutnya. “Aku nggak mau balik ke rumah itu lagi.”
Gemuruh di langit terdengar mendramatisir situasi, tapi Viena tetap bertahan. Dia muak, capek, bosan. Tahun-tahun yang tidak mengenakkan di rumah itulah yang menyeretnya ke tempat ini.
Sekalipun begitu, ibunya di seberang telepon tidak mau tahu, yang jelas wanita itu kini terdengar panik, diselingi isak tangis yang entah bagaimana ceritanya Viena sudah yakin itu hanyalah tangisan palsu.
“Viena, dengar Ibu dulu, ya? Kamu tahu keadaan kita, kan? Ini cuma sementara. Kamu cuma perlu bertemu dengan anak rekan Ibu itu, dia orang baik—”
“Orang baik?” Viena menahan tawa getir. “Setiap kali Ibu bilang ‘orang baik’, ujung-ujungnya mereka cuma mau satu hal dari aku.”
Malu ketika beberapa pejalan kaki melirik sekilas. Namun gadis itu hanya mampu menunduk, menghapus air mata lekas-lekas sebelum terlihat. Sedangkan napas sesaknya sukar untuk ditutupi.
Kesannya jauh dari kata durhaka. Meneriaki ibunya tanpa sempat membiarkan wanita itu membalas secara utuh. Tapi kenyataannya memang sudah kelewat batas. Gadis itu sudah lelah berspekulasi nelangsa, berharap kedua orang tuanya bisa menjadi pelindung, mau itu saat dia sedang di luar maupun di dalam rumah. Namun realita berkata lain, bahkan kedua orang tuanya lebih memilih percaya pada kakak laki-lakinya ketimbang dirinya. Menghabiskan uang untuk berjudi? Gadis itu menimbang-nimbang apa sisi positif yang membuat kakaknya bisa begitu dipercaya.
“Bu, aku nggak mau dijual lagi.”
Lampu jalan sungguh nenyilaukan ketika terpantul di genangan air, membentuk siluet cahaya bergelombang di bawah setiap langkah orang yang lalu lalang. Viena masih menggigit bibir bawahnya, menatap ke langit gelap yang seolah menelan segala keluh, namun bisu tanpa dapat menorehkan kehangatan di hatinya walau hanya sesaat.
Selama ini, setiap kali dia mencoba bertahan, dunia justru menindihnya lebih keras.
Setiap kali dia berusaha patuh, orang-orang di rumah itu menjadikannya sebagai alat tukar yang tidak manusiawi.
Kini, di bawah derasnya hujan, dia tahu jika menyerah bukanlah pilihan, tapi lari adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.
Memang berat. Tapi dalam diamnya, Tinasha Putri Viena meyakini jika dunia telah memutuskan untuk menutup semua pintu, maka ia harus terus berjalan hingga menemukan jendela untuk keluar.
Beruntung malam ini akan menjadi pembuktian dari keyakinan yang telah lama ia pegang.
Menunggu jawaban di ujung telepon terasa memuakkan, Viena mengatur setiap nafas agar selalu stabil. Sementara di seberang sana, ibunya terdengar gemetar antara takut dan bingung. Masih begitu.
“Mana ponselnya? Sini, aku aja yang ngomong!” Suara laki-laki yang tampak tidak asing bagi Viena muncul di dekat ibunya.
Perdebatan kecil pun terjadi di seberang telepon.
“Viena, kamu tuh mau sampai kapan ngelunjak begini?!”
Suara laki-laki masuk menggantikan suara ibunya. Berat, kasar, familiar.
Viena lantas terdiam. Air hujan menetes dari rambutnya turun ke pipi, menyamarkan air mata yang kini mulai kering.
“Kamu pikir kamu siapa, hah?” lanjut Bagas, kakak kandung Viena. “Kerja nggak becus, bikin malu keluarga, sekarang malah kabur! Kalau Ibu mati gara-gara mikirin kamu gimana?!”
“Aku cuma… nggak mau balik,” tampik Viena terdengar cengeng, tapi ia berusaha menahannya. “Lagian aku udah capek, Kak. Aku cuma pengen hidup normal.”
Dengan angkuh Bagas melempar puntung rokok keluar jendela lalu tertawa singkat kala melihat lebatnya hujan di luar. Dia tidak pernah berpikir adik kesayangannya bisa selucu ini.
“Normal? Viena, kamu pikir hidup kita masih bisa balik normal lagi? Utang kita numpuk ratusan juta, Ibu sakit-sakitan, bapak gak jelas kapan pulangnya dan kamu satu-satunya yang bisa nutup itu semua! Tapi malah kabur gitu aja.”
“Kenapa aku terus yang harus nutupin? Aku bukan barang dagangan, aku juga masih berusaha cari kerja, Kak… ,” sahut Viena dengan nada tangis yang kini terlampau jelas.
“Hmm… barang dagangan?” Bagas menukas cepat. “Ya karena cuma itu yang bisa kamu lakuin, kan Vi?! Jual tampang, kerja bentar terus dipecat, pindah lagi, terus nyalahin orang lain yang godain kamu atau apalah itu. Kalau nggak bisa kerja, ya jual diri aja sekalian!”
Sebuah mobil hitam berhenti di seberang jalan. Lantaran kondisi malam itu cukup macet, Viena cepat-cepat mengangkat kaki ke tempat di mana taksi online pesanannya menunggu.
“Kakak nggak tahu apa-apa,” ketus Viena. “Kakak nggak tahu rasanya hidup kayak aku.”
“Jelas tahulah! Aku tahu kamu cuma bisa nyusahin!” Bagas mendesis liar. “Denger ya. Cepat balik sebelum Ibu bener-bener nyesel udah lahirin kamu.”
Hening. Suara napas berat Bagas masih terdengar di ujung sambungan, tapi Viena sudah tak kuat lagi mendengarnya. Ia menekan tombol end call.
Kini hujan menelan semua sisa kata di antara mereka. Meskipun kata hatinya terus menjerit, setidaknya di mobil ini, Viena bisa bersandar sambil mengatur kembali nafasnya, mereset ulang tumpukan memori yang mengendap di otak, membunuhnya secara perlahan. “Aku gak salah, aku benar dan aku pasti bisa,” tegasnya dalam hati.
Menatap pantulan wajahnya di jendela yang penuh dengan butiran air hujan belum pernah seasik ini. Viena mengamati ratusan bayangan yang berlalu begitu cepat. Sedih, muak, lelah bahkan jijik ketika mengingat tatapan ‘orang-orang itu’ saat melihat tubuhnya dari atas sampai bawah. Mereka berpikir uang dapat membelinya dengan mudah, bahkan keluarganya berpikir demikian. Jika saja Viena bertahan di kantornya dulu, mungkin dia memiliki gaji cukup tanpa bergantung pada siapapun, namun orang-orang di sana sama brengseknya. Sungguh dia tidak punya pilihan.
Entah karena sedih, atau hanya karena akhirnya bisa tenang sejenak, Viena bersenandung lirih.
Setiap nada itu nyaris tenggelam oleh suara mesin beradu air yang menabrak atap mobil mereka.
Sebuah lagu lama yang ia hafal di luar kepala, tapi jarang sekali dinyanyikan di depan orang lain. Ia lupa bagaimana awalnya, tapi bibirnya terus mengikuti liriknya, sampai air mata kembali turun tanpa ia sadari.
“Every time I dream of light, the dark comes back around… ,”
“And maybe I’ll stay, if you ask me twice… .”
Viena tertegun saat tatapannya bertemu dengan bayangan di spion tengah. Sepasang mata menatapnya sekilas, tapi tidak menakutkan.
Lantas Ia buru-buru menunduk, menghapus pipi.
“Maaf, Pak,” jelasnya canggung. “Saya nggak sadar tadi nyanyi.” Momen di mana dia bertanya pada diri sendiri kenapa harus minta maaf.
“Suaramu bagus.”
“Ah, nggak juga, Mas… eh, Pak maksud saya. Saya cuma gabut aja. Suka nyanyi, tapi ya gitu… “
“‘If You Ask Me Twice’,” cetus pria itu dengan santainya sambil fokus mengemudi. “Lagu indie dari Harrow June, kan?”
Viena spontan menoleh, menatap sang supir dari belakang. “Hah? Masnya kok bisa tau lagu itu?”
“Lumayan.”
“Gila, itu lagu hampir gak ada yang tau, bahkan temenku aja gak pernah denger. Aku pikir cuma aku yang dengerin itu buat nangis tiap malam,” beber Viena setengah malu, tapi malah lanjut bicara. “Liriknya tuh, kayak… nyentuh banget, kan? Kayak kamu tahu kamu gak bakal diminta tinggal, tapi kamu masih berharap… .”
Dia berhenti sendiri, sadar kalau sudah kebanyakan bicara. “Maaf ya, Mas. Aku suka kebablasan kalau ngomongin lagu yang aku suka.”
Pria itu melirik sekilas lewat spion, matanya menyipit. “Udah kamu cancel pesanan taksi online-nya?”
“Apa?” Senyuman getir gadis itu ketara sekali.
“Taksi online yang kamu pesan tadi. Kasihan drivernya kalau masih nunggu di depan toko sepatu itu.”
“Hah?”
“…”
“Lho… tunggu, Pak… eh Mas, maksudnya gimana?”
“Ini bukan taksi online.”
“Maksudnya bukan taksi online gimana sih, Mas?” Celingak-celinguk nyari ponselnya. Sementara tubuhnya kini tegap, kaku. “Ini mobil sedan hitam, platnya sama lho.”
“Aku parkir di depan toko, kamu lari ke sini, buka pintu, langsung masuk,” jelas pemuda di belakang kemudi. Nada bicaranya terlampau santai, bahkan mobil mereka gak berhenti membelah hujan. “Udah jelas kamu nggak akan sempat lihat nomor mobil.”
Mulut Viena terbuka, namun tak ada suara yang dapat keluar.
Sialnya pemuda itu benar.
“Aku kira… aku kira… .”
“Tenang aja,” potong si supir. “Aku gak niat macem-macem. Kalau kamu mau turun, aku bisa berhenti sekarang.”
Viena terdiam. Hujan di luar begitu tebal, air mengalir menuruni kaca, sementara mobil melaju kencang.
Ia menatap wajah pria itu yang samar di pantulan spion, muda, rahang tegas, alisnya tebal seperti busur tapi tanpa ekspresi. Jelas dia bukan sembarang orang.
“Kenapa kamu diem?” tanyanya, mengetahui dirinya sedang diamati oleh Viena.
“Nggak, aku cuma… lagi mikir gimana caranya aku bisa salah mobil.”
“Gampang aja. Kamu panik.”
Viena mendesah. “Aduh, malunya sumpah.”
“Gak usah malu. Suaramu enak, kok. Kalau bukan karena itu, mungkin aku udah nyuruh kamu turun dari tadi.”
Ia menatap ke arah pria itu sekali lagi.
Entah kenapa, meski situasinya absurd, ada sesuatu dari cara pemuda itu berbicara yang menenangkan. Ibaratnya maju kena mundur kena, rencana awal Viena memang hendak pergi ke rumah sahabatnya. Dia trauma naik ojol, apalagi sudah malam ditambah hujan deras begini, oleh karena itu taksi online menjadi pilihan pertamanya. Tidak rugi baginya untuk bisa nebeng gratis ataupun nantinya tetap bayar, tapi apakah yakin, orang itu bukan penculik? Atau bahkan cowok mesum? Kelu lidahnya sebelum berucap, berspekulasi saja sudah membuat gadis itu bergidik ngeri.
“Mas… sebenernya kamu siapa, sih? Kok santai aja ada orang asing nyelonong masuk.”
Pria itu menatapnya sekilas, satu sisi bibirnya terangkat. “ Aku orang biasa yang kebetulan lewat,” jawabnya. “Tapi siapa sangka, kayaknya aku justru merasa beruntung kamu ada di sini.”
Mulai juga nih, aksi si mesum! Batin gadis itu kala mengernyitkan kening dan bersiap melompat keluar jika hal buruk terjadi.
“By the way, namaku Darren.”
“Darren Myles.”
“…”
Jijik pikiran Viena ketika harus membalas pemuda itu dengan memberitahukan nama aslinya juga. Lebih baik lompat dari mobil dari pada harus berurusan dengan laki-laki yang berlagak jaim. Pemuda bernama Darren itu berlagak jaim? Atau dia hanya mencoba untuk tidak terlihat mesum? Semua pemikiran yang akhirnya justru mengekang gadis itu di jok penumpang.
“Tinasha Putri Viena. Panggil aja Viena.”