Semua orang di sekolah mengenal Jenny: cantik, modis, dan selalu jadi pusat perhatian tiap kali ia muncul.
Semua orang juga tahu siapa George: pintar, pendiam, dan lebih sering bersembunyi di balik buku-buku tebal.
Dunia mereka seolah tidak pernah bersinggungan—hingga suatu hari, sebuah tugas sekolah mempertemukan mereka dalam satu tim.
Jenny yang ceria dan penuh percaya diri mulai menemukan sisi lain dari George yang selama ini tersembunyi. Sedangkan George, tanpa sadar, mulai belajar bahwa hidup tak melulu soal nilai dan buku.
Namun, ketika rasa nyaman berubah menjadi sesuatu yang lebih, mereka harus menghadapi kenyataan: apakah cinta di antara dua dunia yang berbeda benar-benar mungkin?
Spin off dari novel Jevan dan Para Perempuan. Dapat di baca secara terpisah 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sitting Down Here, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Penggemar Baru Jenny
Rumah Jevan tidak berada satu lantai dengan Jenny. Rumah Jevan hanya terpaut satu unit dengan rumah Louisa, jadi ia lebih sering bertemu dengan Louisa ketimbang dengan Jenny. Saat itu Jevan sedang kebetulan lewat rumah Louisa yang pintunya sedikit terbuka dan Jevan mendengar suara Louisa yang tengah berteriak kepada ibunya.
Chelsea, Louisa, dan Jenny melihat ke arah Jevan yang tadi bertanya kepada mereka. Chelsea kemudian menjawab.
"Jevan ... Ayo sini masuk dulu"
Biasanya Jevan akan menolak permintaan Chelsea untuk masuk ke rumahnya kalau Chelsea sedang sendirian di rumah, tapi kini ada Jenny dan Louisa jadi Jevan menuruti keinginan Chelsea untuk masuk ke dalam rumah.
"Ayo sini duduk dulu, Jevan. Kamu mau minum apa?"
"Sudah cukup basa-basinya, auntie. Aku hanya ingin tahu kenapa kalian bertengkar"
Louisa akhirnya maju dan menceritakan semua yang telah terjadi. Jevan lalu memandang tak suka kepada Chelsea.
"Kenapa auntie malah membela aunt Pixie?"
"I-itu karena ... "
Chelsea menjadi gugup dan merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan Jevan.
"Karena apa, auntie?"
"Karena kamu sendiri kan tahu bagaimana Nino, Jevan. Ia tak bisa di bantah, jadi maksudku adalah lebih baik Jenny menuruti saja keinginan Ibunya"
"Dengar ya auntie, sebelumnya aku sudah bicara dengan Nino kalau bisa aku tak ingin Jenny dan Louisa bekerja seperti pekerjaan yang telah kita lakukan ini. Tapi waktu itu Nino setuju akan menunggu setidaknya sampai Lou dan Jen berumur 17 tahun. Tapi sepertinya ia telah melanggar sendiri janjinya jadi aku akan bicara dengannya sekarang juga"
Jevan lalu berdiri dan berjalan menuju pintu, tetapi Jenny kemudian memanggilnya.
"Jevan ... "
"Iya, Jen?"
"Terima kasih"
"No problem Jen, ini sudah menjadi tugasku sebagai kakak untuk melindungi kalian"
Lalu Chelsea protes.
"Tapi dia bukan adikmu, Jevan. Jadi itu bukan kewajiban kamu untuk melindungi Jenny ataupun Louisa"
"Mereka memang bukan adik kandungku, auntie. Tapi kami ada di sini karena keadaan, jadi sudah sepantasnya aku melindungi mereka karena Ibu-ibu mereka bukannya melindungi malah menjerumuskan mereka ke tempat yang sama. Bukan begitu, auntie?"
Chelsea tak bisa berkata apa-apa lagi karena di dalam hati ia tahu kalau ucapan Jevan benar walau menyakitkan. Setelah itu Jevan pergi tanpa pamit untuk menemui Nino.
***
Keesokan harinya, Jenny berangkat ke sekolah seperti biasa bersama Louisa. Ia terlihat lesu dan tak bersemangat. Di waktu istirahat, ia makan siang di kantin bersama Louisa, tapi ia tak memakan makanannya karena tak berselera.
"Di makan dong Jen, nanti kamu sakit"
"Aku tak lapar, Lou"
"Jangan di pikirin Jen, aku yakin Jevan akan menolong kita"
"Iya sih, tapi ... "
Seorang anak laki-laki melewati meja mereka dengan membawa tas ransel di punggungnya. Tetapi sebelum ia pergi dari kantin, anak laki-laki itu menaruh sepiring kecil jelly di atas meja Jenny lalu pergi.
"Ini untukku, Lou?"
"Sepertinya begitu, Jen"
"Dia siapa? Kamu kenal ga?"
"Ngga"
Jenny lalu berlari mengejar anak laki-laki itu.
"Hei, tunggu!"
Jenny akhirnya bisa mensejajarkan larinya dengan anak laki-laki itu. Kemudian ia menyentuh bahu anak laki-laki itu agar ia berhenti dan bicara dengan Jenny.
"Iya, ada apa?"
"Kamu yang tadi menaruh jelly di mejaku?"
'Iya, emang kenapa?"
"Kenapa kamu lakukan itu?"
"Aku lihat tadi kamu cuma aduk-aduk makanan kamu, tapi ga di makan. Aku pikir kamu lagi mual atau apa gitu, jadi aku kasih jelly aja supaya kamu mau makan"
"Aah ... Kamu manis sekali! Terima kasih ya! Oiya, nama kamu siapa ya?"
"Quinto"
"Quinto... Nama kamu unik sekali. Sekali lagi terima kasih ya, Quinto!"
"Sure, no problem. Aku pergi dulu ya, bye"
"Bye, Quinto!"
Ketika Quinto berbelok ke arah kelasnya, seseorang lalu menghampirinya dan memberinya beberapa lembar uang kertas.
"Terima kasih ya"
"Iya, sama-sama. Lain kali bilang aja kalau perlu bantuanku lagi"
"Oke, aku akan ingat itu"
Setelah itu masing-masing dari kedua anak laki-laki itu pergi ke arah yang berlainan.
***
Jenny lalu menceritakan kejadian tadi kepada Louisa sambil memakan jellynya dengan lahap. Louisa jadi senang melihatnya.
"Jadi, apakah si Quinto ini tampan, Jen?"
"Mmm ... Lumayan sih, tapi masih cakepan Jevan"
"Jadi sekarang kamu punya penggemar baru ya?"
"Penggemar baru? Emangnya aku punya penggemar lama?"
"Kan banyak yang kagum sama kecantikan kamu. Lihat aja tuh cowok yang di pojokan aja dari tadi sampai melongo gitu liatin kamu"
Jenny jadi tersipu mendengar ucapan Louisa.
"Ah, kamu ada-ada aja, Lou"
"Tapi ada juga sih yang iri kayak trio cheerleader itu"
"Kamu tau ga siapa aja nama-nama mereka, Lou?"
"Tau. Yang rambut coklat namanya Amanda, cowok yang duduk di sebelahnya itu pacarnya yang namanya Bryan. Yang rambut pirang kayak kamu itu namanya Connie, yang rambutnya merah namanya Andrea"
"Mereka kelas berapa?"
"Kelas 11, sama kayak aku. Jangan ganggu mereka kalau ga mau dapet masalah, Jen"
'Aku ga akan ganggu mereka asalkan mereka ga ganggu aku"
"Pokoknya jangan, oke? Kita lewati masa SMA ini kayak anak-anak normal lain. Anggap aja cuma pas di sekolah ini kita bisa hidup seperti anak remaja lain. Jevan juga pernah bilang begitu sih ke aku"
"Yeah, baiklah. Walau sebenarnya aku malas sekolah tapi aku harus menghargai Jevan yang udah membiayai sekolah kita walaupun sebenarnya itu tugas ibu kita, Lou"
"Iya betul, tapi sayangnya Ibu kita ga seperti Ibu-ibu lainnya, Jen"
Jenny baru saja akan membalas ucapan Louisa, tapi secara mengejutkan trio yang tadi mereka bicarakan mendatangi meja tempat mereka makan.
"Jadi ini anak baru yang namanya Jenny itu ya?" Tanya Amanda yang berambut coklat dan sepertinya ketua dari geng tersebut.
"Iya betul, aku Jenny. Kalian siapa?"
Amanda kemudian tertawa dengan keras yang diikuti oleh kedua temannya. Bryan, pacarnya, tak terlihat bersama mereka karena ia sedang bersama teman-temannya di klub basket.
"Lucu sekali, masa sih kamu ga kenal sama kita? Louisa pasti sudah memberitahu tentang kami kan ke kamu?"
"Sudah sih, tapi tetap saja aku tak kenal sama kalian karena kalian tak memperkenalkan diri kalian secara langsung padaku"
BRAK!
Amanda yang merasa geram lalu menggebrak meja dengan keras.
"Memangnya kamu siapa sampai kami harus memperkenalkan diri padamu, hah? Dengar ya anak baru, jangan macam-macam dengan kami atau kamu akan menyesal nanti! Aku tadinya hanya ingin memastikan apakah anak baru yang bernama Jenny ini benar-benar cantik atau tidak. Ternyata kamu terlihat biasa saja, tak istimewa sama sekali!"
"Itu kan menurutmu" Ucap Jenny dengan santai. Tapi Louisa kemudian menyikut lengannya dan menegurnya.
"Jen, sudah jangan di perpanjang lagi"
"Nah, itu dengarkan Louisa baik-baik, Jenny. Jangan macam-macam dengan kami, oke?"
Tatapan para penghuni kantin jadi beralih ke arah mereka semua karena mereka takut terjadi keributan. Tetapi suasana menjadi hening ketika mereka mendengar suara miss Eileen McKeen dari loud speaker yang terdengar di seluruh sekolah.
"Untuk para siswi yang bernama Amanda, Connie, Andrea, Jenny dan Louisa saya minta untuk segera ke ruang BP sekarang juga!"