Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dari Labirin Rahasia
Udara di dalam mobil terasa sesak, seolah semua ketakutan Raya berkumpul menjadi gas yang menyesakkan paru-parunya. Tangan Raya menggenggam setir begitu erat, buku-buku jarinya memutih. Klinik Harapan Bunda. Nama itu sekarang seperti kutukan, menyimpan bayangan gelap di balik janji-janji kebahagiaan. Ia sudah menelepon. Berpura-pura sebagai pasien lama yang ingin memeriksa riwayat medis, namun suara berat di ujung telepon itu dingin dan kaku, menolak dengan dalih privasi dan prosedur yang rumit.
“Nyonya harus datang langsung dan membawa identitas. Bahkan itu pun, kami hanya bisa memberikan ringkasan,” kata petugas itu tanpa empati, seolah Raya hanya satu dari jutaan kasus yang sama. Raya tahu, mereka tidak akan membiarkannya masuk dengan mudah. Rahasia itu terlalu besar untuk disembunyikan di balik folder kertas yang usang.
Besok, pikirnya, besok ia harus pergi ke sana. Sendiri. Tanpa Arlan. Tanpa seorang pun tahu. Beban rahasia ini terasa seperti memanggul bongkahan es yang berat, dingin, dan perlahan-lahan mencair, membasahi setiap sudut hatinya dengan kecemasan. Bagaimana jika Arlan tahu? Bagaimana jika kebenaran ini menghancurkan keluarga kecil yang sudah susah payah mereka bangun?
Semalam, Raya hanya bisa tidur sebentar. Bayangan Langit yang tersenyum, tangannya yang mungil menggenggam jemarinya, terus berkelebat. "Mama, Langit sayang Mama." Kalimat itu seperti mantra yang menguatkannya, tapi juga pisau yang mengiris hatinya. Langit adalah dunianya, darah dagingnya atau bukan, ia adalah jantungnya. Untuk Langit, ia akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Pagi tiba dengan awan mendung yang seolah mencerminkan perasaannya. Raya meminta izin pada Arlan untuk pergi ke pameran seni yang sebenarnya tidak ada. Arlan, sibuk dengan pekerjaan dan persiapan untuk pertemuan penting, hanya mengecup keningnya dan tersenyum. “Hati-hati, Sayang. Jangan pulang terlalu sore.”
Senyum Arlan, tatapan matanya yang penuh cinta, terasa seperti duri yang menusuk Raya. Betapa ia membenci dirinya sendiri karena berbohong. Tapi kebenaran ini... kebenaran ini adalah racun yang bisa membunuh segalanya. Ia tidak punya pilihan.
Raya mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju Klinik Harapan Bunda. Jalanan macet, setiap lampu merah terasa seperti jeda yang mencekik. Sepanjang perjalanan, otaknya sibut menyusun strategi. Ia tak bisa langsung menyerbu dan menuntut. Ia harus cerdik. Ia harus seperti detektif, mengumpulkan petunjuk kecil, merangkai teka-teki.
Setibanya di sana, bangunan klinik tampak megah dan modern, ironisnya, seolah menyembunyikan sisi gelap di balik fasad yang bersih. Jantung Raya berdebar tak karuan. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia turun dari mobil, pura-pura memeriksa ponselnya, lalu melangkah masuk dengan langkah mantap.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Ibu?” sapa resepsionis muda dengan senyum ramah yang tidak mencapai matanya. Raya membalas senyum itu dengan kikuk.
“Selamat pagi. Saya Raya, Bu. Saya ingin mengecek data terkait kehamilan saya lima tahun lalu. Ada beberapa informasi yang saya butuhkan untuk asuransi.” Raya berbohong lagi, kali ini dengan alasan yang lebih meyakinkan. Asuransi selalu menjadi kartu yang kuat.
Resepsionis itu mengerutkan kening. “Lima tahun lalu? Apakah Nyonya masih ingat nama dokter yang menangani atau bulan persalinan?”
“Tentu saja. Dokter Andini. Dan saya melahirkan sekitar bulan Agustus.” Raya menyebut nama dokter Andini, dokter yang ia ingat menanganinya saat itu, meskipun ia tidak yakin apakah dokter itu yang secara langsung terlibat dalam seluruh proses bayi tabung atau persalinan. Otaknya merangkai kenangan, ia ingat dokter Andini adalah dokter utamanya.
Resepsionis itu mengetik di komputernya. Layar monitor memancarkan cahaya biru di wajahnya. Beberapa detik kemudian, ia mendongak, ekspresinya berubah menjadi sedikit bingung. “Maaf, Nyonya Raya. Dengan nama lengkap Nyonya dan tanggal lahir yang tercatat di sini, kami tidak menemukan data persalinan pada bulan Agustus lima tahun lalu. Apakah Nyonya yakin dengan nama klinik dan tahunnya?”
Dunia Raya serasa runtuh. Tidak ada data? Itu tidak mungkin! Ia melahirkan Langit di sini! Ia ingat semuanya! Rasa panik mencengkeramnya. Tapi ia tahu, ia tidak boleh menunjukkan kepanikannya.
“Maaf, mungkin ada kesalahan sistem? Atau apakah ada nama lain yang tercatat? Raya Permatahati? Atau mungkin… saya melahirkan lebih awal? Akhir Juli?” Raya mencoba berbagai kemungkinan, suaranya berusaha terdengar santai, meskipun di dalam, ia berteriak histeris. Otaknya berputar cepat. Apakah mereka menghapus datanya? Tapi kenapa?
Resepsionis itu kembali mengetik, kali ini lebih lama. “Maaf, Nyonya. Saya sudah mencoba dengan beberapa variasi. Data persalinan atas nama Nyonya Raya Permatahati, atau Raya dengan tanggal lahir Nyonya, lima tahun lalu di bulan Juli hingga Agustus, tidak ada di sistem kami. Hanya ada riwayat konsultasi dan pemeriksaan awal saja.”
“Tapi… saya menjalani prosedur bayi tabung di sini!” Raya tak bisa lagi menahan dirinya. Nada suaranya sedikit meninggi. Beberapa pasien di ruang tunggu menoleh. Resepsionis itu menatapnya dengan tatapan was-was.
“Mohon maaf, Nyonya, tapi jika memang demikian, pasti ada di catatan kami. Apakah Nyonya masih menyimpan kartu pasien atau bukti pembayaran?”
Raya terdiam. Kartu pasien… bukti pembayaran… semua itu ia serahkan pada Arlan setelah melahirkan, sebagai bagian dari berkas-berkas penting Langit. Arlan yang menyimpannya di brankas mereka. Ia tidak mungkin mengambilnya tanpa dicurigai.
“Saya… saya akan mencarinya di rumah,” kata Raya, berusaha mengendalikan suaranya agar tidak bergetar. “Bisakah saya berbicara dengan Dokter Andini? Mungkin beliau bisa membantu mengingatkan.”
“Dokter Andini sudah tidak praktik di sini, Nyonya. Beliau pindah ke luar kota sekitar dua tahun lalu. Sejak itu, semua pasiennya dialihkan ke Dokter Saraswati.”
Satu lagi jalan buntu. Raya merasa seperti terperangkap di labirin tanpa peta. Semua pintu seolah tertutup rapat di hadapannya. Ia berterima kasih dengan sopan, mencoba menutupi kekecewaannya, lalu melangkah pergi, keluar dari klinik dengan hati hancur.
Di dalam mobil, ia menekan setir, kepalanya tertunduk di antara lengan. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh. Bukan air mata kesedihan semata, tapi juga frustrasi dan kemarahan. Mengapa tidak ada datanya? Mengapa Dokter Andini pindah? Ini terlalu banyak kebetulan!
Tidak. Ini bukan kebetulan. Ini pasti disengaja. Seseorang telah menghapus jejaknya. Tapi siapa? Dan mengapa?
Raya menyeka air matanya dengan kasar. Ia tidak bisa menyerah. Langit membutuhkan jawaban ini. Ia menarik napas panjang, lalu menyalakan mobil. Kali ini, tujuannya bukan pulang. Ia perlu mencari informasi lebih lanjut tentang Dokter Andini. Mungkin dokter itu tahu sesuatu.
Ia mengemudi ke sebuah kafe, mencari ketenangan di sudut ruangan, dan membuka ponselnya. Ia mulai mencari nama Dokter Andini di media sosial, di forum-forum kesehatan. Setelah beberapa menit pencarian yang sia-sia, ia mencoba mencari nama klinik lama tempat Dokter Andini pernah praktik sebelum di Harapan Bunda. Dan di sana, ia menemukan sebuah nama. “Klinik Pelangi Kasih.” Sebuah klinik kesuburan kecil yang tampaknya sudah tutup.
Raya merasa ada sengatan listrik di dalam dirinya. Instingnya mengatakan, ini adalah petunjuk. Ia ingat samar-samar, sebelum memutuskan ke Harapan Bunda, ia memang sempat berkonsultasi di beberapa klinik kecil. Apakah Dokter Andini pernah bekerja di sana?
Ia menggali lebih dalam, mencari ulasan lama, artikel berita yang mengulas penutupan klinik kecil itu. Sampai matanya terpaku pada sebuah artikel lokal lama dari sebuah blog. Judulnya, “Skandal Pencurian Data Pasien di Klinik Pelangi Kasih: Mantan Perawat Ungkap Modus Operandi”.
Tangannya gemetar. Otaknya mulai bekerja, menghubungkan titik-titik yang selama ini terpisah. Skandal? Pencurian data? Mantan perawat? Sebuah nama tercetak kecil di bawah foto artikel: Bunga.
Raya tidak tahu mengapa, tapi nama itu, Bunga, tiba-tiba memicu secercah ingatan yang terkubur dalam-dalam. Sosok seorang perawat muda, dengan rambut dikepang rapi, senyum yang tulus, dan sepasang mata yang penuh perhatian, yang sering membantunya selama masa konsultasi awal di salah satu klinik kecilnya. Perawat Bunga. Mungkinkah? Mungkinkah perawat itu menyimpan kunci rahasia yang ia cari?
Raya merasakan jantungnya berdetak kencang, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena secercah harapan yang baru saja menyala. Ia harus menemukan Bunga. Ia harus tahu. Karena di balik artikel usang itu, seolah ada bisikan pelan yang memanggilnya, menguak tabir rahasia yang mungkin jauh lebih kelam dari yang ia bayangkan.
Dan Bunga, entah di mana ia berada sekarang, adalah satu-satunya harapan Raya untuk membuka pintu labirin yang mengunci kebenaran tentang Langit.
Bunga… nama itu kini menjadi mantra baru dalam pencarian Raya. Mantra yang menjanjikan cahaya, namun mungkin juga kegelapan yang tak terduga.
Di sudut kafe yang ramai, Raya merasa seperti sendirian di tengah badai, memegang selembar kertas tua yang mungkin adalah tiketnya menuju pusat pusaran.
Ia harus menemukan Bunga.
Apapun yang terjadi.
Ia tidak bisa berhenti. Tidak akan pernah berhenti, sampai ia tahu kebenaran tentang putranya. Tentang Langit. Walaupun kebenaran itu mungkin akan meruntuhkan seluruh dunianya.