Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung
Harlan dengan perhatiannya memijat pundak Amelia saat entah untuk ke berapa kalinya dia muntah. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dengan waktu 2 jam, mereka baru bisa sampai ke rumah Harlan setelah tiga setengah jam karena sering berhenti untuk istirahat.
Tubuhnya sangat lemah karena terkuras energinya. Dia bahkan tidak sadar sepanjang perjalanan tadi memeluk dan bersandar pasrah pada punggung Harlan.
“Assalamualaikum, Bu.”
Tidak ada jawaban.
Harlan membuka pintu yang tidak terkunci itu.
“Awww!” Amelia berjinjit saat menginjakkan kaki di teras rumah Harlan yang masih menggunakan tegel berwarna kuning.
“Kenapa?” Tanya Rehan cemas.
“Dingin banget, ih. Padahal adek pake kaos kaki, Bang.”
“Iya, di sini memang sangat dingin. Apalah terasnaya masih tegel gini.”
“Ngaruh ya?”
“Ngaruh bange,” ucap Harlan. “Ayo, masuk.”
Pintu terbuka, aroma lembab begitu kuat menusuk hidung. Rumah itu terlihat sangat rapi dengan perabotan jaman dulu. Bukan sembarang perabotan. Kayu jati premium dan ukiran khas Jepara terlihat begitu menawan meski sudah usang.
“Rapi bener rumahnya, Kak.”
“Ibu memang sangat cinta kebersihan.”
“Bahaya dong, soalnya aku pemalas.”
“Hubungannya apa?” Tanya Rehan meledek.
Amelia melirik sinis sang kakak yang duduk di sampingnya.
Harlan pergi ke satu ruangan. Tidak lama dia kembali dengan membawa minuman dan toples berisi keripik singkong pedas. Dia kembali masuk, lalu keluar dengan dua toples yang isinya berbeda.
“Sepi banget, bro. Ibu lo ke mana?”
“Solat kayaknya di kamar.”
Amelia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 09.45 wib. Solat duha.
Setelah ngobrol beberapa saat, seorang wanita masih dengan mukena terusan, keluar dari kamar. Mungkin umurnya tidak muda lagi, tapi wajahnya terlihat bersih dan cerah. Dia tersenyum pada Rehan dan Amelia. Mereka betiga bangun, lalu mencium punggung tangan ibu Harlan secara bergantian.
“Kenapa gak bilang, lan, kalau mau ajak teman ke rumah.”
“Dadakan, Bu. Ini juga gak niat sebenernya.”
“Adik saya ngebet pengen main ke sini.”
Ih, apa? Kenapa jadi aku yang dijual?
“Cantik sekali ya adiknya. Mau bantu ibu ke dapur gak? Tunggu Ibu ganti mukena dulu.”
“I-iya, Bu.”
Amelia menyikut kakaknya sambil berbisik “adek mau disuruh apa, Bang? Adek kan gak bisa ngapa-ngapain selain belajar.”
“Paling disuruh cuci piring atau baju.”
“Gimana caranya?”
“Ya dikucek, lah. Masa dikunyah.”
“Ihhhh, abang! Gak seru, ah!”
“Ayo, Nak.”
Amelia langsung merubah sikapnya dalam hitungan detik. Bersikap manis dan sopan.
Dia perlahan melangkah dan mengikuti ibu Harlan ke dapur. Ibu mengambil keranjang dan juga topi yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu memakaikan nya pada Amelia.
“Ayo kita ke kebun.”
Kebun? Kalau ada ulet gimana? Aduuuhhhhh
“Kelas berapa, Mel?”
“Tiga, Bu.”
“SMA?”
“SMP.”
“Aduh, masih kecil atuh ya.”
Kecil? Ih, aku udah gede kali.
“Kalau ada nyamuk, gimana?”
“Gak apa-apa asal jangan ada ulet aja, Bu.”
“Takut ulet ya. Padahal kita mau ke kebun kacang. Di sana banyak banget ulet bulu.”
Amelia menghentikan langkahnya.
“Ada apa? Gak jadi ikut?”
“Hehehe. Jadi, Bu. Nanti saya di pinggir aja ya.”
Ibu Harlan tertawa kecil. “Biasa tinggal di kota, gimana bisa main ke kebun. Biasa main ke mol, ya kan?”
Amelia merasa hatinya sedikit tidak enak mendengar notasi ucapan ibu Harlan yang terkesan mengejeknya. Langkahnya perlahan melambat. Dia yang awalnya antusias, menjadi enggan.
Ibu Harlan yang sudah berjalan di depan. Melirik sekilas, lalu bibirnya menyungging sebelah.
Bodo amat! Mau ada ulet atau nggak. Aku gak akan diem di pinggir. Harus berani. Tunjukkan pada ibunya kak Harlan kalau aku bukan cuma bisa main ke mall doang.
Saat tiba di kebun, Amelia dibuat terkejut. Karena ekspektasi dia sangat jauh berbeda. Kebun yang dia bayangkan penuh dengan daun merambat, semak belukar, banyak nyamuk, banyak ulat. Langsung sirna.
“Ini kebunnya, Bu? Waaaah, rapi banget. Ini sih bikin betah lama-lama juga. Mana sayurannya yang suka dibeli mama di supermarket. Mama nih, kalau diajak ke sini dia bisa bawa sambel sama kerupuk. Anteng deh.”
Ibu Harlan tertawa mendengar celotehan Amelia.
“Harusnya liwetan juga, ya. Biar tambah mantap.”
“Bisa gak berhenti makan itu sih, Bu. Ini Ibu yang tanam sendiri? Dibantu Bapak?”
“Bapak Harlan maksudnya? Harlan udah yatim sejak dia berusia lima tahun.”
Amelia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Maaf, ya, Bu.”
“Gak apa-apa, kamu kan gak tau. Ayo, mau coba panen gak? Bawa sekalian buat mama nanti.
“Ini beneran boleh bawa buat mama?”
Ibu Harlan mengangguk pelan.
“Waaaaah, makasih, ibu. Ibu baaaaik,” ujar Amelia sambi bergelayut manja pada tangan ibu Harlan.
Melihat Amelia tidak segan bersikap seperti itu, membuat hati ibu Harlan menghangat. Dia teringat pada almarhumah adiknya Harlan yang meninggal bersamaan dengan bapaknya karena sebuah kecelakaan.
Gadis itu terlihat sangat girang saat memilih beberapa sayuran yang sedang dia petik. Ibu Harlan hanya menatap sesekali sambil tersenyum.
Setelah dirasa cukup, ibu mengajak Amelia ke tempat lain.
“Kolam ikannya jernih bangetttttt. Berasa pengen ikut nyebur sama ikan.”
“Hahaha. Jangan, ini airnya kotor.”
“Segini terbilang kotor, gimana yang bersihnya. Duh, jadi pengen lama-lama tinggal di rumah ibu. Asik tau ibu di sini. Sejuk, udaranya bersih. Sayuran ya fresh. Gak berisik.”
“Kalau sebentar mah mungkin seru, kelamaan mah pasti kamu bosan. Jauh ke warung, susah sinyal, kendaraan umum jarang ada yang lewat.”
“Tapi aku suka di sini.”
“Sering-sering atuh main ke sini ya.”
“Kalau ada yang nganter ya, Bu.”
“Biar nanti Harlan yang jemput.”
“Mau. Kalau itu aku mau.”
Ibu Harlan mengernyitkan dahinya mendengar Amelia begitu bersemangat saat mendengar nama Harlan.
Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan, mereka akhirnya kembali ke rumah. Ibu mencuci ikan, sementara Amelia mencuci sayuran.
“Mau coba goreng dong, Bu.”
“Jangan. Menggoreng ikan itu minyaknya suka muncrat. Takut kena tangan atau muka kamu. Nanti cantiknya berkurang.”
“Gak apa-apa, aku bisa kok.”
Benar saja, baru saja Amelia memegang sutil, minyak panas itu meletup dan mengenai tangan Amelia. Sontak gadis itu berteriak lalu menangis karena panas.
Harlan dan Rehan yang mendengar teriakan Amelia segera berlari menuju dapur. Melihat ikan di atas kompor, dan Amelia yang sedang meniup tangannya, Harlan tau apa yang terjadi meski tidak ada yang menjelaskan.
Dia berlari, lalu menarik Amelia menuju keran air. Tangannya dibiarkan diguyur air tanpa henti.
“Panas bangetttttt.” Amelia masih menangis histeris.
Harlan masih memegang tangan gadis itu sambil diletakkan dibawah kucuran air keran. Setelah hampir setengah jam, tangisan Amel baru mereda.
“Masih panas?” Tanya Harlan cemas.
Amelia menggelengkan kepala dengan bibir bawah maju lebih depan. Air matanya masih menetes.
“Pakai ini,” ujar ibu yang sangat cemas sejak tadi sambil membawa pasta gigi.
Tidak ada kotak P3K. Terpaksa ikut apa kata orang tua jaman dulu. Memakai pasta gigi sebagai salep meredakan panas dan bengkak. Dengan hati-hati Harlan mengoleskan pasta gigi tersebut pada tangan Amelia yang terlihat sangat merah.
Gak apa-apa deh kena minyak lagi juga kalau yang ngobatin kak Harlan sih.