NovelToon NovelToon
Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: chery red

Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Jejak Luka dan Pertemuan Takdir

Pagi itu, seragam sekolah Alea terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena bebannya yang semata-mata material, melainkan karena bayang-bayang ejekan dan dorongan yang hampir pasti menantinya. Sudah bertahun-tahun ia hidup dalam neraka kecil di sekolah, tempat ia bukan lagi sekadar Alea yang tak diinginkan di rumah, tetapi juga target empuk bagi Tiara dan kroninya yang penuh kebencian. Kebencian Papa dan Abang Kevin di rumah seolah berlanjut menjadi siksaan fisik dan verbal yang tiada akhir di sekolah, semua berkat Tiara, sepupu yang selalu dimanjakan itu, yang entah mengapa sangat membencinya.

Alea melangkah menyusuri koridor, kepalanya menunduk dalam, mencoba menjadi tak terlihat. Ia berharap dirinya bisa menjadi embusan angin, lenyap tanpa jejak. Namun, harapannya sia-sia. Keberadaannya tak pernah bisa luput dari radar Tiara dan dua pengikut setianya, Dita dan Sari. Mereka sudah menunggunya di dekat loker lama yang berkarat, di sudut sepi koridor, senyum tipis yang penuh ejekan terukir di bibir merah Tiara. Aura mereka yang mendominasi memenuhi udara, menciptakan ketegangan yang menyesakkan.

"Lihat siapa ini," suara Tiara melengking, memecah kesunyian koridor yang sepi. Nada suaranya sinis, mengiris tajam. "Si Anak Pembawa Sial. Sudah sembuh dari rumah sakit? Sayang sekali tidak langsung mati saja, ya. Mungkin akan lebih baik bagi semua orang."

Dita dan Sari terkikik geli, tawa mereka menusuk telinga Alea lebih dalam dari tusukan pisau terpanas. Alea mencoba melengos, mempercepat langkah, ingin segera menghilang. Tetapi tangan Dita dengan cepat mencengkeram lengannya. Cengkeraman itu begitu kuat, kuku-kukunya terasa menancap di kulit Alea yang masih sensitif dari memar sebelumnya.

"Mau ke mana? Tidak sopan sekali, ya, disapa tidak menjawab," hardik Dita, mencengkeram erat lengan Alea hingga rasa nyeri menjalar.

Tiara mendekat, sorot matanya penuh ejekan, seolah Alea adalah serangga menjijikkan. "Baru saja keluar dari rumah sakit, sudah berani melawan? Apa sih yang kamu harapkan dari kami? Kasihan? Kamu pikir kami peduli dengan drama murahanmu?" Jemari panjangnya tiba-tiba menarik kasar rambut Alea, memaksa kepalanya mendongak, memperlihatkan wajahnya yang masih sedikit bengkak dan memar. "Wajahmu itu, selalu membuatku mual. Kamu itu harusnya sadar diri, Alea. Tidak ada yang menginginkanmu. Bukan di rumah, bukan di sini, bukan di mana pun."

Kalimat terakhir itu bagai cambuk, mengulang ucapan Papa yang sering didengarnya. Air mata mendesak keluar, perih membakar di balik kelopak mata, namun Alea menahannya sekuat tenaga. Ia tak akan memberikan kepuasan itu pada mereka, tidak akan membiarkan mereka melihatnya hancur. Ia tidak akan menangis.

"Dasar lemah," ejek Sari, mendorong bahu Alea hingga tubuhnya terhuyung dan menabrak loker di belakangnya. "Cengeng! Bahkan hanya untuk berdiri tegak saja tidak becus."

Tiara mendengus, lalu tiba-tiba tangannya yang dihiasi kuku rapi menampar pipi Alea yang masih memar. Suara tamparan itu menggema di koridor yang kosong, disusul rasa perih membakar yang menjalar. "Itu untuk pelajaran, agar kamu tahu tempatmu," desis Tiara, wajahnya mendekat hingga Alea bisa mencium aroma parfumnya yang terlalu kuat. "Jangan pernah lupa siapa kamu. Kau itu hanya parasit di keluarga kami. Tidak ada yang peduli padamu."

Setelah beberapa tamparan lagi, dan dorongan bertubi-tubi hingga Alea tersungkur ke lantai yang dingin, tas punggungnya yang sudah usang direnggut paksa. Isinya diobrak-abrik tanpa ampun, buku-buku berhamburan, pensil-pensil patah dan bergulir jauh. Tasnya sendiri, yang sudah tua dan lusuh, kini sobek lebar di bagian jahitannya, tak mungkin diperbaiki lagi. Puas dengan aksi kejamnya, Tiara dan kedua temannya tertawa geli, melenggang pergi, meninggalkan Alea sendirian, tergeletak tak berdaya di lantai koridor yang dingin.

Dengan napas tersengal, tubuh yang terasa sakit di setiap sendi, dan hati yang remuk, Alea berusaha bangkit. Otot-ototnya menjerit protes. Ia mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam tasnya yang sobek, lalu berjalan tertatih menuju kelas. Pandangannya kosong, menahan perih fisik dan batin yang seolah tak berujung. Ia memasuki kelasnya yang sudah agak ramai, menuju bangkunya yang berada di paling belakang dan paling pojok ruangan. Sebuah tempat di mana ia bisa bersembunyi dari pandangan dunia, dari rasa kasihan atau ejekan. Mengeluarkan buku pelajaran yang kusut dari tasnya, ia memaksakan diri fokus. Pelajaran hari itu pun dimulai, namun pikiran Alea jauh melayang, hanya menyisakan rasa perih yang mendalam, dan benih amarah yang kini mulai berakar.

Bel pulang sekolah berbunyi, membebaskan Alea dari siksaan pelajaran dan tatapan acuh tak acuh teman sekelasnya. Biasanya, ia akan langsung berlari pulang, mencari perlindungan di balik dinding kamarnya, seolah tempat itu adalah satu-satunya benteng di dunia ini. Namun hari ini, kakinya terasa berat, setiap langkah terasa menyakitkan, dan ia merasa terlalu lelah untuk sekadar berlari. Ia memutuskan untuk berjalan kaki, membiarkan angin sore yang dingin menerpa wajahnya, berharap rasa sakit di hatinya sedikit mereda.

Jalanan yang ia lalui adalah jalur alternatif yang lebih sepi, melewati area perkebunan dan semak belukar di pinggiran kota. Alea sengaja memilihnya untuk menghindari keramaian, menghindari kemungkinan bertemu Tiara lagi atau kelompoknya. Ia berjalan dengan pandangan kosong, menendang kerikil di depannya, sibuk dengan pikirannya sendiri, merenungi nasibnya yang malang.

Tiba-tiba, suara erangan pelan dan berat menarik perhatiannya. Bukan suara hewan, melainkan suara manusia yang menahan rasa sakit. Alea menghentikan langkah. Jantungnya berdebar, rasa takut seketika menyergap, namun rasa penasaran dan entah mengapa, dorongan untuk membantu, jauh lebih kuat. Ia melangkah hati-hati mendekat, matanya menyipit mencari tahu sumber suara itu.

Dan di sana, di balik rimbunnya semak-semak lebat di sisi jalan, tergeletak di tanah yang sedikit berlumpur dan basah, adalah sesosok tubuh lelaki dewasa. Pemandangan itu membuat darah Alea seolah berhenti mengalir. Tubuhnya kaku dalam posisi aneh, terpelintir. Darah merembes dari sisi tubuhnya, membasahi kemejanya yang robek, membentuk noda merah gelap yang meluas di tanah.

Alea sontak berlutut, hatinya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia belum pernah melihat seseorang terluka separah ini di depan matanya. Wajah lelaki itu pucat pasi, penuh memar keunguan dan goresan, dan napasnya terdengar memberat, terengah-engah. Matanya terpejam rapat menahan nyeri. Yang paling mengerikan, lengan kanannya mengeluarkan darah yang tidak sedikit, merembes deras dari sebuah sayatan panjang dan dalam yang menganga, seolah disayat benda tajam. Darah itu menetes ke tanah, membentuk genangan kecil.

"Bapak! Bapak tidak apa-apa?" tanyanya panik, suaranya tercekat di tenggorokan, tangannya gemetar hebat. Ia tidak tahu harus berbuat apa, pikirannya langsung tertuju pada rumah sakit, tempat ia baru saja keluar.

Lelaki itu mengerang lagi, matanya yang sayu perlahan terbuka, menatap Alea dengan susah payah. Ada secercah keputusasaan, namun juga keteguhan di sana. Bibirnya sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Suaranya serak dan nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin. "J-jangan... jangan bawa aku ke rumah sakit..."

Alea terkejut. Kenapa tidak? Luka-lukanya sangat parah. Lelaki itu batuk, darah kental mengalir dari sudut bibirnya, membasahi dagunya. "Tolong... bawa aku ke tempat yang aman... jangan ke rumah sakit... bahaya..." Sebelum Alea bisa bertanya lebih lanjut, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci, mata lelaki itu terpejam rapat, dan ia kehilangan kesadaran, pingsan sepenuhnya. Tubuhnya terkulai lemas di lumpur.

Alea panik. Jantungnya berpacu semakin kencang, memukul-mukul rusuknya. Lelaki ini terluka parah, meminta untuk tidak dibawa ke rumah sakit, bahkan mengatakan 'bahaya'. Permintaan itu sangat aneh, mencurigakan, namun matanya yang memohon sebelum pingsan telah mencengkeram Alea. Ia tidak tahu siapa lelaki ini, dari mana ia berasal, atau mengapa ia terluka separah ini. Namun, ia merasa bertanggung jawab. Tangannya yang kecil terangkat, menyentuh lengan lelaki itu yang berlumuran darah. Rasanya dingin, dan darahnya terasa lengket di jemarinya. Di sinilah, di pinggir jalan yang sepi, takdir Alea dan lelaki itu, Paman Alexander yang tak ia kenali, mulai terjalin dengan cara yang tak terduga. Pertemuan tak sengaja ini akan menjadi titik awal perubahan Alea, bukan hanya secara mental—dari gadis yang hanya bisa meratap menjadi gadis yang berani mengambil tindakan—tetapi juga secara fisik, membuka jalan bagi kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Ia harus menyelamatkannya, apa pun risikonya, apa pun alasannya. Ini adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk melakukan sesuatu yang berarti, untuk seseorang yang mungkin lebih putus asa darinya.

1
Naruto Uzumaki family
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!