Ini kisah tentang sepasang saudara kembar yang terpisah dari keluarga kandung mereka, karena suatu kejadian yang tak diinginkan.
Sepasang saudara kembar yang terpaksa tinggal di Panti Asuhan dari usia mereka dua tahun. Akan tetapi, setelah menginjak usia remaja, mereka memutuskan untuk keluar dari Panti dan tinggal di kontrakan kecil. Tak lupa pula sambil berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Tapi tak berselang lama, nasib baik mereka dapatkan. Karena kejadian tanpa sengaja mereka menolong seseorang membuat hidup mereka bisa berubah 180 derajat dari sebelumnya.
Siapa yang menolong mereka? Dan di mana keluarga kandung mereka berada?
Apa keluarga kandung mereka tidak mencari mereka selama ini?
Ayo, ikuti kehidupan si kembar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penpurple_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TELON OIL & BABY POWDER
Nanda kini sudah berada di dalam kamar Nando. Dia tadi sudah membangunkan dan membujuk kembarannya itu agar segera mandi karena hari sudah mulai gelap.
Pintu kamar mandi terbuka, Nando keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya dan memperlihatkan bagian tubuh atasnya yang terekspos.
Nanda yang melihat itu hanya menampilkan wajah biasa, lalu dia berdiri dan berjalan mendekat ke meja rias milik Nando. Setelahnya dia mengambil bedak bayi dan minyak telon yang ada di atas meja tersebut.
“Bantuin cari baju, bingung aku mau pakai yang mana.” Nando berbicara memecah keheningan. Pemuda itu tampak berkacak pinggang menatap lemari hitamnya yang terbuka dan memperlihatkan macam-macam jenis pakaian yang berbeda-beda.
Nanda menatap Nando, lalu memutar kedua bola matanya malas seraya bertanya, “Ya lo maunya pake baju apa?”
Nando menoleh ke arah Nanda yang sekarang sudah duduk kembali di atas kasur sekilas. “Nggak tau,” jawabnya.
“Dih, nih orang. Ya udah kalo gitu nggak usah pake baju sekalian,” cibir Nanda.
“Malulah, ya kali nggak pake baju. Nanti kalo akunya disangka orang gila gimana?” balas Nando tak mau kalah.
“Bukan lo-nya yang disangka orang gila, tapi tuh orang yang ngeliat lo kagak pake baju yang nantinya kayak orang gila,” batin Nanda kesal.
Lalu gadis itu berdiri mendekati kembarannya. “Sini, gue aja yang pilihin. Pake bedak sama minyak telon lo sana,” suruhnya sambil mendorong pelan punggung Nando agar sedikit menjauh dari lemari.
“Akukan nggak bisa pakainya,” ungkap Nando mencebikkan bibir.
“Iya, lo mah nggak guna. Semua aja nggak bisa, manja.” Nanda mencibir tanpa melihat Nando yang kini matanya jadi berkaca-kaca.
“Jahat,” ujar Nando lirih dengan bibir yang bergetar menahan tangis.
“Emang,” balas Nanda acuh. Dia tak menghiraukan pemuda itu, tangannya bergerak mengambil celana jeans denim dan hoodie putih.
“Couple-an, ah. Biar dikira orang pacaran. Kagak ada pacar, kembaran pun jadi,” lanjut Nanda tertawa dalam hati.
Setelahnya Nanda menyodorkan baju dan celana itu pada Nando. “Nih, pake,” suruhnya.
Nando menerimanya dengan mata yang masih saja berkaca-kaca, lalu dia menyodorkan botol minyak telon pada kembarannya.
“Pakein,” bujuknya dengan raut wajah yang dibuat seimut mungkin, membuat Nanda mendengus kesal, tapi tak urung juga gadis itu mengambilnya.
“Kapan bisanya sih, Jo? Lo mah dari dulu kagak bisa-bisa perasaan, tinggal dipakein ke perut doang. Heran gue, modusnya sabi bener,” omel gadis itu dengan tangan yang mulai bergerak memakaikan minyak telon ke perut Nando yang kini tengah duduk di pinggiran kasur.
Jangan heran. Memakai minyak telon, setelahnya memakai bedak bayi ke perut dan punggung belakang merupakan salah satu kebiasaan mereka berdua dari kecil yang tak akan pernah bisa mereka lupakan sampai sekarang.
“Nanti nggak rata. Kan itu harus dipakein ke punggung juga, jadinya susah. Satu-satunya cara, ya harus kamu yang pakein.”
“Alah, alesan. Udah nih, ambilin bedaknya.”
Nando lantas memberikan bedak bayi yang tergeletak di atas kasur pada Nanda. Setelahnya Nanda kembali memakaikan bedak bayi itu secara merata ke perut dan punggung Nando.
Tiba-tiba saja ide jahil melintas di pikirannya. Saat tangan Nanda ada di perut Nando, gadis itu mengelus perut rata itu sejenak, lalu tak lama mencubitnya keras membuat Nando yang tadinya hanya diam saja memandang wajah Nanda, kini jadi memekik kaget.
“AH, SAKIT!” teriak Nando tanpa sadar langsung menepis kasar tangan Nanda.
“Lagian sih, ngelihatin guenya gitu amat.”
***
Tak terasa jam cepat berlalu, adzan maghrib sudah selesai berkumandang sedari tadi. Sepasang saudara kembar tersebut sekarang sudah dalam perjalanan menuju Panti Asuhan.
Saat di perempatan lampu merah, Nando memberhentikan motor sejenak karena harus menunggu beberapa detik agar lampu itu kembali berganti jadi warna hijau.
Selang beberapa puluh menit mereka sudah sampai di depan pagar bambu rumah sederhana berlantai dua dengan tulisan 'PANTI ASUHAN METARANI' yang terpampang jelas di depan rumah tersebut.
“Huh, sampe juga akhirnya,” gumam Nanda saat dia sudah turun dari motor dan melepas helmnya.
“Bukain pagernya, Pey,” titah Nando.
“Iya, bentar,” sahut Nanda mendekati pager bambu itu, lalu membukanya.
Saat sudah terbuka, Nando segera mendorong motor KLX merahnya tanpa menghidupkannya kembali karena takut mengganggu ketenangan tetangga sekitar.
“Nggak ada yang berubah,” ujar Nanda memperhatikan sekitar dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.
“Pey, ayo,” ajak Nando dan Nanda hanya mengangguk singkat, lalu menyusulnya.
Saat Nanda sudah berdiri di sebelahnya, Nando mengetuk pintu coklat tua di depan matanya itu sebanyak tiga kali sembari memberi salam, “Assalamu'alaikum.”
Tak membutuhkan waktu lama, pintu sudah terbuka dan memperlihatkan sosok wanita berkerudung yang kira-kira berusia kepala empat yang tak lain adalah ibu Meta.
“Wa'alaikumussalam,” gumam wanita itu menyambut kedatangan kedua anaknya. “Ya ampun anak-anak Ibu udah pada besar.” Meta berujar dengan antusias dan tak lupa mulutnya yang sedikit terbuka karena merasa tak percaya.
Nanda jadi tertawa. “Ih, Ibu, kan nambah terus umurnya.”
Meta ikutan tertawa. “Sini-sini, peluk,” katanya dan Nanda langsung berhambur memeluk wanita itu.
“Kangen banget.”
“Ibu juga kangen. Lama nggak ketemu, kamu makin cantik aja,” puji Meta saat sudah melepaskan pelukannya.
“Ibu bisa aja, seminggu doang nggak ketemu, lho,” cicit Nanda cengengesan.
Meta tak menjawab, dia hanya tersenyum geli. Kemudian matanya beralih menatap Nando yang sedari tadi hanya diam menyimak dengan wajah datarnya.
“Kamu mau dipeluk juga nggak?”
“Mau,” balas Nando singkat dan Meta segera memeluknya erat.
“Dari dulu nggak berubah, tetep aja mukanya nggak ada ekspresi. Senyum, lho, Nando.”
“Hilih, di depan Ibu doang itu. Tadi mah habis nangis cuma karena masalah kecil,” cibir Nanda.
Meta lagi-lagi tertawa. “Kan emang cuma kamu doang yang bisa ngubah ekspresi dia,” ujarnya dan Nanda refleks mengangguk menyetujui.
“Ya udah, ayo masuk.” Meta langsung mengapit salah satu lengan Nando dan Nanda, membawa kedua anak asuhnya itu untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah sederhananya.
“Udah sholat maghrib belum?” tanya Meta.
“Nanda lagi dapet.”
Meta mengangguk paham. “Nando udah sholat?” tanyanya menatap Nando.
“Udah,” sahut Nando seadanya.
“Yang lain pada ke mana semua, Bu?” tanya Nanda saat melihat sekitar yang tampak sepi.
“Mereka lagi makan di ruang tengah, Nan.”
“Oh iya, inikan jam makan malem,” gumam Nanda pelan.
“Ayo ke sana, kita makan dulu. Ibu udah masak makanan kesukaan kalian,” ajak Meta.
“Ada semur ayam?” tanya Nanda antusias dengan mata berbinar menatap Meta, membuat Nando yang juga melihat ekspresi itu jadi gemas dibuatnya.
“Ada,” balas Meta sedikit tertawa mendengar nada antusias itu.
“Beneran?” tanya Nanda, lagi.
“Beneran dong. Ibu ada rezeki lebih hari ini, mangkanya bisa beli ayam.”
“Woah, Nanda duluan.” Gadis itu segera berlari kecil mendahului kembarannya dan juga Meta untuk sampai duluan di ruang tengah.
Tak berlangsung lama, Nanda sudah tiba di ruang tengah dan melihat kurang lebih ada lima belas anak kecil dan juga ada yang sudah memasuki usia remaja di sana.
“Malam, semuanya,” sapa gadis itu.
“Malam juga, Kakak.”
“Huaaa, Kak Nan! Cia kangen.” Salah satu dari mereka, anak perempuan berusia 5 tahun langsung berlari kecil menghampiri Nanda dan memeluk kakinya.
Nanda pun berjongkok mensejajarkan tingginya dengan anak perempuan itu, lalu memeluknya sekilas.
“Ih, Kakak juga kangen sama Cia. Cia sekarang udah gede banget, ya. Gembul, gemesin deh.”
“Iya dong, masa Cia halus kecil telus, cih.”
Nanda tertawa mendengarnya. “Udah gede, tapi sampe sekarang belum bisa ngomong huruf R tuh,” ejeknya yang terkesan bercanda.
Cia jadi mengerucutkan bibirnya. “Susah tau, Cia ndak bisa.”
“Udah-udah, ayo makan, Nan. Tuh, lihat Nando udah duluan,” ajak Meta yang membuat Nanda jadi mengalihkan pandangannya.
Nanda mendengus saat melihat kembarannya itu sudah duduk bersila dan makan duluan tanpa menunggunya lagi. Kemudian dia kembali menatap Cia yang masih berdiri di depannya. “Sana, Cia makan lagi, ya.”
“Oke, Kak Nan.”
Setelah melihat Cia kembali ke tempat duduknya, Nanda langsung mengambil tempat duduk di sebelah Nando. “Makan nggak nungguin gue, tega bener.”
“Berisik,” sahut sang kembaran dengan nada ketus.
“Idih, sok ga—” Nanda sontak langsung berhenti berbicara saat Nando dengan tiba-tiba memasukkan sendok yang sudah ada nasinya ke dalam mulutnya.
“Paijo, ih, lo mah.” Nanda merengek dengan suara yang sedikit tak jelas karena masih mengunyah, ia jadi refleks menabok lengan Nando.
“Udah, makan,” tegas Nando tanpa bantahan.
Sedangkan Meta hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka berdua yang tidak pernah berubah sedari dulu itu.
***
— t b c —