NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15. Peran Sheina Di Dunia Davison

Mobil sedan itu melaju perlahan, membelah jalanan kota yang mulai padat oleh lalu lintas sore. Sheina duduk di kursi penumpang dengan posisi tubuh sedikit tegang. Ia menyender ke jendela, memperhatikan bangunan dan toko yang berganti-ganti lewat begitu saja.

Namun saat mobil mulai masuk ke kawasan perumahan mewah, detak jantungnya seakan ikut berubah ritme. Gerbang besar dengan ukiran besi tempa otomatis terbuka, menyambut mereka masuk ke sebuah halaman luas berlapis batu alam. Air mancur kecil berdiri di tengah bundaran taman, dan rumah tiga lantai berdiri megah di ujung jalan masuk, lengkap dengan balkon lebar dan jendela-jendela tinggi yang berjajar simetris.

Sheina terdiam.

Rumah ini bisa dibilang seperti istana. Pilar-pilar besar berdiri kokoh di depan teras utama, langit-langitnya tinggi, dan pintu kayu utama tampak berat, penuh ukiran. Taman di kiri-kanan terawat rapi, dengan pohon-pohon bonsai, lampu taman, dan kursi-kursi besi tempa warna emas.

Ia tidak pernah menyangka Davison dulu tinggal di tempat semewah ini.

Nenek turun lebih dulu. Ia sempat menoleh, dan ketika melihat ekspresi Sheina yang masih tak percaya, nenek tersenyum.

“Jangan kaget, Sheina. Rumah ini memang agak besar. Tapi bagian dalamnya tetap hangat, kok.”

Sheina hanya tersenyum canggung, masih belum menemukan kata yang pas. Ia melangkah masuk melewati pintu utama dan disambut oleh lantai marmer mengilap, chandelier besar menggantung di tengah ruang utama, serta tangga melingkar yang naik ke lantai dua.

Di antara segala kemewahan ini, Sheina merasa seperti potongan puzzle dari kotak yang berbeda. Ia tahu perannya di sini, tapi tetap saja, rasanya seperti memakai sepatu yang satu nomor lebih kecil. Ia merasa kecil di tengah semua kemewahan ini. Tapi ia juga sadar semua ini bagian dari peran yang harus ia mainkan.

Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kecil kue. Langkahnya tenang, rautnya ramah. Tak jauh di belakangnya, seorang perempuan muda membawa baki kecil berisi sendok dan susu cair. Mereka menyapa nenek dengan hormat, lalu menatap penasaran ke arah Sheina.

Nenek menoleh ke pembantunya, lalu menepuk tangan Sheina dengan pelan.

“Art, Bu Inah, kenalin ini Sheina. Istrinya Davison.”

Mata keduanya membelalak singkat. Tapi Art yang terlihat lebih muda langsung tersenyum lebar.

“Wah, akhirnya saya ketemu juga istri Tuan Davison,” ucapnya, antusias. “Selamat datang di rumah, Mbak Sheina.”

Sheina mengangguk sopan. Ia belum terbiasa dengan sapaan seperti itu. Tapi sapaan Art dan Bu Inah terasa tulus.

“Davison nikah diam-diam,” kata nenek santai. “Nenek baru tahu beberapa waktu lalu. Dia ngaku sendiri, akhirnya.”

Art terkekeh pelan, lalu pamit kembali ke dapur. Saat ruangan kembali tenang, nenek menarik napas dalam, lalu bicara pelan.

“Tapi sampai sekarang, nenek belum dikasih tahu alasan di balik semua itu.”

Sheina langsung menegakkan punggungnya. Pertanyaan itu akhirnya datang. Ia menatap teh di tangannya, mengulur waktu sejenak. Tapi ia tahu ia nggak bisa lari.

“Nek,” suaranya keluar pelan, “Davison belum siap.”

Nenek menatapnya penuh perhatian.

“Dia belum selesai sama masa lalunya. Aku rasa dia belum kuat kalau semua orang tahu kami sudah menikah. Dia mungkin akan merasa tertekan.”

Kalimat itu keluar perlahan, tapi hati-hati. Tidak sepenuhnya bohong. Dan Sheina tahu, itu juga yang dulu pernah dikatakan Davison.

Nenek menunduk pelan, diam cukup lama sebelum bicara.

“Ternyata Davison benar-benar tidak bisa berdamai dengan masa lalu itu.”

Sheina menoleh. Matanya mencari jawaban dalam wajah nenek. Tapi ia menahan diri untuk tidak bertanya.

Nenek meneruskan, suaranya nyaris seperti gumaman. “Semenjak kejadian itu dia homeschool waktu SMP. Tiga tahun penuh di rumah. Nutup diri. Bahkan bicara pun hampir nggak mau. Hanya sama ibunya dan satu pengasuhnya. Waktu itu kami takut dia nggak akan pernah pulih.”

Sheina menelan ludah. Ia tak tahu harus berkata apa. Pikirannya berputar cepat, membayangkan versi lain dari Davison yang selama ini tidak ia tahu. Yang sembunyi di balik semua kekakuan dan kendali diri itu.

“Tapi pas SMA dia mulai bangkit. Pelan-pelan. Mulai berani berteman, berani keluar rumah, walau masih penuh batas. Dan sekarang dia udah sejauh ini.” Nenek tersenyum kecil.

Belum sempat Sheina bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Tegas. Teratur.

Pintu terbuka.

Davison masuk, mengenakan jas hitam yang masih rapi. Wangi cologne-nya tercium bahkan sebelum ia mendekat. Sorot matanya langsung menuju Sheina, tenang, dalam, sedikit lelah.

“Maaf lama,” ucapnya singkat. “Macet.”

Nenek berdiri. “Nenek nggak peduli alasanmu. Yang penting kamu pulang. Duduk. Temani istrimu.”

Davison menurut. Ia duduk di samping Sheina, tubuh mereka nyaris bersentuhan. Satu detik. Dua.

Nenek memandang mereka berdua.

“Davison,” katanya pelan. “Kamu masih belum mau memperkenalkan istrimu ke publik?”

Davison menoleh ke Sheina. Lalu ke neneknya.

“Belum saatnya, Nek.”

Nenek mulai mengomel dengan suara yang sedikit meninggi, tapi tetap ada rasa sayang yang terselip di setiap kata-katanya. Nada suaranya terasa campur aduk antara khawatir dan kesal, seolah ingin menegur sekaligus mengingatkan.

“Kenapa kamu biarin istrimu pulang sendirian, sih?” tanyanya dengan nada yang agak keras, menatap Davison seakan ingin memastikan jawaban yang memuaskan.

Davison menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri supaya suaranya tetap stabil dan tak ikut terbawa emosi. Ia tahu neneknya cuma khawatir, tapi membahas masalah lama seperti ini selalu membuatnya lelah.

“Lagi banyak banget pekerjaan, Nek. Aku beneran nggak bisa nemenin terus,” jawabnya dengan suara pelan tapi tegas, mencoba membuat neneknya mengerti situasinya.

Tapi neneknya tidak langsung puas. Ia malah makin getol mengomel, suaranya makin lantang dan sedikit berdebar karena kekhawatiran yang sudah lama terpendam.

“Banyak banget pekerjaan? Harusnya kamu bisa bagi tugas dong. Dasar ayahmu nggak becus, pindah ke desa dan ninggalin semuanya begitu aja,” katanya dengan nada kecewa, seolah ingin menyampaikan rasa sakit yang sudah lama dia simpan.

Mendengar kalimat itu, tangan Davison tanpa sadar mengepal di samping tubuhnya. Matanya yang biasanya tenang kini memancarkan amarah dan kesedihan yang belum juga sembuh dari luka lama yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Ia tahu kata-kata neneknya mengandung kebenaran yang pahit, tapi sulit untuk dihadapi.

Sheina yang duduk di sampingnya memilih diam. Ia enggan ikut campur, tahu bahwa momen ini adalah sesuatu yang hanya bisa dihadapi Davison sendiri. Ia menunduk sedikit, menahan perasaan campur aduk yang mulai menyelimuti hatinya.

Davison menatap neneknya dengan tatapan dalam, penuh emosi yang disembunyikan rapat. Suaranya pelan, tapi tegas dan jelas, menandakan batas yang ia tetapkan untuk pembicaraan malam itu.

“Aku capek, Nek. Aku sayang nenek, tapi aku nggak mau bahas ini sekarang,” ucapnya dengan nada yang sedikit berat, mencoba menghentikan pembicaraan yang mulai memuncak.

Kemudian, pandangannya beralih ke Sheina. Suaranya berubah jadi lebih lembut dan penuh perhatian.

“Sepertinya Sheina capek, tadi ada acara penting di tempat kerjanya. Mending dia istirahat malam ini. Kita pulang aja.”

Sheina dalam hati langsung merasa sedikit bingung, bertanya-tanya sendiri, Davison tahu dari mana kalau tadi ada acara penting?

Meski penasaran, ia memilih untuk tidak mengajukan pertanyaan. Ia tahu Davison punya caranya sendiri untuk tahu hal-hal seperti itu. Rasanya ia cuma perlu percaya saja.

Tanpa banyak bicara, Davison berdiri dengan tenang dan mengulurkan tangan hangatnya ke arah Sheina. Perlahan, ia menggandengnya, memberi rasa nyaman dan perlindungan tanpa perlu kata-kata.

“Ayo, sayang. Kita pulang.”

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!