Pernikahan Rocky dan Brigita rupanya menjadi awal munculnya banyak konflik di hidup mereka. Brigita adalah bawahan Rocky di tempat kerja. Mereka harus menikah karena satu alasan tertentu.
Statusnya sebagai seorang janda yang mendapatkan suami perjaka kaya raya membuat gunjingan banyak orang.
"Aku harus bisa mempertahankan rumah tanggaku kali ini,"
Apa dia berhasil mempertahankan rumah tangganya atau justru lebih baik berpisah untuk kedua kalinya?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Dyandra?
Brigita lebih dulu menatap layar ponsel suaminya, nama sahabatnya tertera di sana. Dyandra.
"Sepagi ini Dyandra menelponmu?" tanya Brigita penasaran.
"Apa yang aneh, dia bawahanku juga sama sepertimu. Baru sehari menikah denganku membuatmu lupa siapa aku?" sambil mengambil ponsel dan menerima panggilan telepon itu.
Brigita mendengarkan percakapan mereka dengan jelas, pikirnya memang tidak ada yang aneh. Semua hanya tentang pekerjaan.
"Oke baiklah, saya akan kembali lusa. Jadi siapkan saja semua berkas yang perlu saya tanda tangani," ucap Rocky sebelum menutup telepon.
Rocky kembali duduk dan melanjutkan makan nya. Dia menatap Brigita dengan tatapan tajam.
"Setelah liburan ini kita akan kembali bekerja, menikah denganku bukan berarti kamu di spesialkan. Tetaplah profesional sebagai karyawan," ucapnya.
.
.
Tiga hari lamanya mereka habiskan di Ubud, hanya bepergian ke tempat-tempat wisata dan mengabadikan momen kebersamaan mereka.
Rocky terlihat sangat dekat dengan Ken, foto mereka bersama lebih banyak dari pada foto Rocky dan Brigita.
Hari ini adalah hari kepulangan mereka untuk mempersiapkan diri esok. Kembali ke rutinitas bekerja mereka yang memakan banyak waktu.
Teratai Residence
Jakarta menyambut mereka dengan langit abu-abu dan deru kendaraan yang tak kenal lelah. Tak ada aroma bunga tropis seperti di Ubud, tak ada gemericik air kolam pribadi.
"Tolong buatkan aku secangkir kopi pahit," perintah Rocky.
Brigita segera membuatkannya. Kemudian meletakkan di sisi kanan suaminya.
"Sayang, kamu nggak istirahat dulu? Harus langsung kerja gini?" ucapnya seraya memeluk suaminya dari belakang. Punggung besar itu terasa hangat dan nyaman.
"Mr Chris tidak akan memberikanku jeda panjang untuk beristirahat. Empat Lounge yang mana ada satu hotel sejujurnya membuatku kewalahan mengelolanya,"
Baru kali ini Brigita mendengar keluhan suaminya. Dia mengambil kesimpulan sendiri bahwa tekanan kerja suaminya begitu berat sehingga membuatnya menjadi pribadi yang keras.
"Mau aku bantu buat kamu lebih relaks? Aku pijit di bagian sini ya," tangan halusnya mulai menyentuh pundak Rocky.
Terasa nikmat hingga pria tampan itu mendes4h sambil memejamkan mata. Ia juga menarik tangan Brigita dan menciuminya.
Malam telah berganti pagi...
Brigita menatap ke luar jendela kamar, masih mengenakan kaus tipis dan celana tidur saat Rocky keluar dari kamar mandi, handuk di bahunya. Aroma sabun dan parfum maskulin memenuhi ruangan.
"Hari ini aku ada meeting di Seo Lounge, kamu nanti siang berangkat sendiri ya. Pakai saja mobilku yang hitam,"
"Sampai ketemu nanti, Sayang." Brigita loncat menciumi suaminya.
Setelah suaminya berangkat, ia bergegas menata keperluan Ken. Menyiapkan makan siang dan bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya.
Untuk pertama kalinya dia mengendarai mobil mewah bermerk Mercedes Benz warna hitam.
.
"Wih nyonya Rocky akhirnya masuk kerja juga," sindir Titi.
Brigita tahu itu hanya candaan, meskipun sedikit menyinggung perasaannya.
"Nyonya terkait event akhir bulan nanti apakah sudah selesai proposalnya?" lagi-lagi Titi melontarkan candaan yang menyakitkan.
Sebagai kepala divisi Marketing memang sudah tugasnya mengingatkan tapi seperti ada maksud terselubung di balik candaan itu.
Seolah tak ingin memperkeruh suasana, Brigita hanya tersenyum sambil mempersiapkan pekerjaannya. Ruangan meeting di lantai satu adalah tempat karyawan berkumpul.
"Hey, akhirnya masuk kerja juga. Aku sudah rindu sekali," seru Dyandra.
Dia menghampiri Brigita dan mereka berpelukan.
Menjelang pukul empat sore, pintu masuk otomatis terbuka dan Rocky melangkah masuk dengan setelan jas abu-abu gelap, rambutnya tersisir rapi, dan raut wajah yang menunjukkan ia datang dengan beban penuh di kepalanya.
Brigita spontan berdiri dari kursinya. Tapi Rocky bahkan tak melirik ke arahnya.
Pria itu langsung berjalan melewati tempat istrinya duduk, lalu berhenti tepat di depan Dyandra yang berdiri dengan map biru di tangan.
Dyandra menyambutnya dengan senyum tipis, wajahnya seolah langsung berubah dari staf biasa menjadi bawahan paling siap sedia.
“Dy, ke ruanganku. Bawa semua laporan minggu ini,” ucap Rocky tegas tanpa jeda.
“Siap, Pak,” jawab Dyandra cepat, lalu menyusul Rocky yang sudah berjalan lebih dulu ke arah tangga.
Brigita hanya bisa berdiri diam. Ia tak tahu mana yang lebih menyakitkan: sikap dingin suaminya, atau tatapan cepat nan penuh kode yang tadi sekilas terjadi antara Rocky dan Dyandra.
Beberapa staf lain mencuri pandang ke arahnya, lalu cepat-cepat mengalihkan mata. Semua orang tahu status barunya. Tapi tak seorang pun berani menanyakan apa pun.
.
.
“Semua data keuangan dari lounge sudah direkap. Termasuk pengeluaran konsumsi VIP untuk pekan ini,” ujarnya sambil meletakkan berkas di meja Rocky.
Rocky mengangguk sekilas. “Baik. Saya periksa setelah ini.”
Dyandra ragu sejenak. Lalu memberanikan diri.
“Pak Rocky…” Ia memandang pria itu hati-hati. “Tadi saya lihat Brigita di bawah. Apa… kalian sedang ada masalah?”
Rocky tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetik sesuatu di laptop, lalu menutupnya perlahan.
Ia menatap Dyandra dengan ekspresi datar, tapi matanya tajam. “Kenapa kamu tanya begitu?”
Dyandra menarik napas, mencoba tetap tenang. “Saya hanya… merasa aneh saja. Biasanya pasangan baru menikah itu… hangat. Tapi Bapak tadi bahkan tidak menyapa nya.”
Rocky bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Saya di sini sebagai direktur, bukan suami. Menikah denganku tidak membuat Brigita dapat perlakuan khusus.”
“Profesional, ya?” Dyandra tersenyum kecil, meski matanya tidak ikut tersenyum.
Rocky mendengus pelan, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela.
“Brigita tahu konsekuensi menikah denganku,” ucapnya pelan tapi tegas. “Dan kamu juga tahu, Dy… aku tidak pernah mencampur urusan pribadi dan pekerjaan. Aku tidak mau orang lain mulai melihat sesuatu yang tidak profesional,"
Dyandra menunduk. “Baik, Pak.”
Dyandra belum benar-benar keluar dari ruangan saat ia menoleh kembali, langkahnya terhenti di ambang pintu.
“Pak Rocky…” katanya pelan, nada suaranya berubah lebih lembut. “Boleh saya tanya sesuatu yang… agak pribadi?”
Rocky menoleh perlahan. “Kamu tahu saya nggak suka pembicaraan pribadi di kantor.”
“Tapi, bisa jadi pembicaraan pribadi membuat kinerja menjadi lebih nyaman kan?"
Rocky menatapnya tajam. “Hati-hati, Dy.”
“Tenang saja,” Dyandra tersenyum tipis, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Saya cuma kasihan. Bayangkan, baru menikah… tapi sudah bersikap seolah-olah istri itu bawahan biasa."
Rocky tidak langsung menjawab. Tapi matanya tidak melepaskan pandangannya dari wajah Dyandra.
Dan Dyandra melihat itu sebagai celah. Ia menyandarkan tubuh ringan di meja Rocky, mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah pria itu.
“Kalau saya jadi istri Bapak…” ucapnya pelan, nyaris berbisik, “Saya nggak akan mengganggu profesionalitas. Tapi… saya juga tahu bagaimana caranya tetap menarik, tanpa harus terlalu terlihat.”
Tatapan Rocky mengeras, tapi rahangnya mengatup kuat. “Dyandra.”
“Ya, Pak?”
“Keluar.”
Tajam. Singkat. Tegas.
Dyandra tersenyum sejenak, lalu berdiri tegak dan merapikan map yang sudah rapi dari tadi.
“Baik, Pak,” katanya manis, tanpa kehilangan pesonanya. “Maaf kalau saya… terlalu lancang. Tapi saya memang suka pria yang sulit didekati.”
Ia berjalan keluar perlahan, membiarkan kata-katanya menggantung di udara seperti parfum yang samar tapi menusuk.
Begitu pintu tertutup, Rocky menarik napas panjang. Lalu menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca apa pun.
Godaan tidak datang dari luar. Tapi dari orang-orang yang sudah kamu biarkan terlalu dekat.