Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Citrus dan Hujan
Setelah sarapan, gue langsung masuk ke kamar mandi. Tapi entah kenapa, di bawah shower, gue diam lebih lama dari yang seharusnya. Mata gue merem, kepala menunduk, tangan gue bertumpu di dinding.
Air hangat mengucur dari kepala sampai ke punggung, tapi rasanya kayak gue gak ada di sini. Fisik gue ada, tapi pikiran gue entah ke mana, kayak masuk ke ruang kosong di mana gue gak merasakan apa-apa.
Ironis.
Gue ke sini buat kuliah psikologi, tapi baru minggu pertama, gue malah mengalami trauma. Gue nyengir tipis, pahit.
Gue matiin shower, diam beberapa detik sebelum membuang napas dan mengibaskan kepala, bukan cuma buat menghilangkan air dari rambut, tapi juga buat bawa diri gue balik ke realita.
Gue keringkan badan, melilit handuk di pinggang, terus keluar kamar mandi. Untung apartemen ini besar dan tiap kamar ada kamar mandinya sendiri. Tapi pas gue mau ganti baju, baru sadar kalau celana dalam gue masih di mesin pengering.
Jadi, ya… Gue terpaksa keluar kamar cuma pakai handuk, satu membungkus pinggang, satu lagi menggelantung di leher.
Pas gue sampai ruang tengah, Vey lagi selonjoran di sofa, sibuk main HP. Tapi begitu dia lihat gue, dia langsung turunin HP-nya dan angkat satu alis.
"Gila," katanya, matanya naik turun memperhatikan gue. "Lo nyembunyiin semua itu di balik muka polos lo?"
Gue mendengus, sebel juga dibilang "anak polos."
"Apa yang bikin lo mikir kalau gue anak polos?"
"Ya elah, Asta. Lo tuh ketebak banget." Dia bangkit sedikit, menyandar di sikunya sambil menyengir. "Gue bahkan bisa nebak kalau lo masih perjaka."
Gue langsung ketawa, terus memutar badan buat lanjut mencari celana dalam gue di mesin pengering.
Sebenarnya, gue pengen menutup obrolan ini karena gue nggak tahu ini cuma perasaan gue doang atau dia memang lagi menggoda. Mungkin karena dia memperhatikan otot di lengan dan perut gue. Dan gue gak mau bikin masalah sama Dino.
Pas gue mau balik ke kamar, dia udah duduk di sandaran sofa sambil memperhatikan gue dengan tatapan mengejek.
"Gue bikin lo takut, ya?
Gue langsung keinget kata-kata Anan pas dia pernah menjelaskan tipe-tipe flirting yang biasa dipakai sama seseorang.
"Gue nyebut tipe yang ini 'flirting menantang'. Mereka bakal ngehadapin lo langsung dan ngasih pertanyaan yang maksa lo harus buktiin hal yang sebaliknya, biasanya, itu emang tujuan mereka."
Gue nggak nyangka, omongan bocah itu ada benarnya juga. Mungkin karena dia mantan playboy, jadi udah pengalaman. Tapi ya, gue bukan tipe orang yang gampang nge-judge, jadi gue kasih Vey keuntungan dari keraguan ini.
Gue senyum tipis.
"Sama sekali nggak." Gue angkat bahu santai.
Dia balas senyum, terus berdiri pas banget di depan gue. Tiba-tiba dia menepuk tangan ke perut gue yang nggak pakai baju, terus memiringkan kepala.
"Lo masih banyak yang harus dipelajarin, anak polos."
Gue merasa rahang gue sedikit tegang. Gue ambil pergelangan tangannya pelan buat menjauh dari perut gue.
"Gue bukan anak kecil," jawab gue santai, "tapi kalau lo mau mikir gitu, terserah. Gue nggak ada niat buat ngebuktiin sebaliknya."
Habis itu, gue lepas tangannya dan langsung jalan balik ke kamar.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Keesokan harinya, gue ada kelas Orientasi. Kelasnya nggak berat, cuma diisi sama tips dan arahan buat membantu kita di awal-awal masa kuliah. Ruangan penuh banget sama mahasiswa, dan dosennya mulai ngomong sesuatu tentang kantin sama jadwal istirahat di antara kelas.
Gue buka buku catatan, tapi tangan gue yang nggak bisa diam malah mulai coret-coret pakai pensil. Waktu udah selesai, gue sadar apa yang gue tulis.
Selma.
Itu namanya.
Selma Melisandi.
Cewek yang nolongin gue malam itu, waktu hujan turun. Itu satu-satunya hal yang gue punya tentang dia, namanya dan dia juga kuliah di sini.
Itu semua info yang dikasih dokter pas gue sadar keesokan harinya. Dari yang gue dengar, dia juga bantu polisi buat kasih kesaksian soal kejadian itu. Mereka masih menyelidiki kasusnya karena kelihatannya bukan cuma perampokan biasa. Polisi bilang serangannya terlalu brutal, padahal gue udah menyerahkan semua barang gue tanpa perlawanan.
Tapi, gue belum pernah ketemu Selma lagi. Satu-satunya yang gue punya cuma ingatan tentang malam itu, suara dia, siluetnya, aroma parfumnya yang menyegarkan.
Itu saja.
Jujur, gue pengen banget ketemu dia, ngucapin terima kasih, tahu wajah dia kayak gimana, terus kenal lebih jauh.
Gue udah coba mencari dia di media sosial, tapi pas gue ketik "Selma," yang keluar malah foto-foto minyak goreng. Mungkin gue saja yang mikirin dia terlalu berlebihan, sementara dia sendiri mungkin udah lupa sama gue.
Gue senyum kecil.
Ayo lah, Asta, lo baru mulai kuliah dan lo udah mulai kepikiran cewek?
"Lo gambar Payung?" Suara cewek, bikin gue keluar dari lamunan.
Gue langsung mencari sumber suara itu dan melihat cewek berkacamata dengan rambut bergelombang duduk di sebelah gue. Dia cantik, matanya cokelat dan berkilau dikit pas dia ngomong, "Berarti lo suka Hujan?"
Gue butuh beberapa detik buat jawab karena, jujur aja, ini pertama kalinya ada yang menyapa gue di kelas.
Gue agak kaget.
"Sebenarnya, gue udah nggak suka hujan lagi."
Dia mengangguk. "Gue kira lo bakal kasih gue ceramah soal suara hujan, kata orang sih bikin rileks dan membawa kita ke nostalgia."
Gue nggak tahu harus jawab apa, tapi dia malah senyum terus nyodorin tangannya ke gue.
"Gue Bessie, dan gue ngulang mata kuliah ini."
Gue jabat tangannya dan mau buka mulut buat mengenalkan diri, tapi dia keburu lanjut ngomong, "Senang kenal lo, Asta."
"Lo tahu nama gue dari mana?"
Dia angkat sebelah alis. "Di kampus ini, semua orang tahu nama lo, Asta Batari."
"Lo ngomong apa sih?"
"Lo udah jadi berita utama di universitas selama berminggu-minggu. Gue turut sedih atas apa yang terjadi sama lo. Lo baik-baik aja, kan sekarang?"
Tatapan penuh belas kasihan di wajahnya bikin gue risih. "Gue baik-baik aja, kok," jawab gue sambil berdiri.
Gue minta izin ke dosen buat ke toilet, terus langsung cabut dari kelas.
Gue jalan ke papan pengumuman fakultas, dan di sana, gue lihat banyak artikel tentang gue, lengkap sama foto dan nama gue. Baru sadar kalau selama ini gue benaran jadi bahan berita di kampus.
Selma pasti pernah melihat gue di suatu tempat. Dia tahu di mana harus mencari gue, tahu nama gue, jurusan gue.
Tapi dia nggak pernah mencari gue?
Gue mendengus pelan dan baru kepikiran, mungkin emang Selma nggak ada niat buat ketemu sama gue.
Kenapa juga dia harus mencari gue?
Dia udah menyelamatkan gue, dia nggak punya hutang apa-apa sama gue.
Gue usap muka dan berbalik.
HP di kantong gue tiba-tiba bergetar. Pas gue lihat, ada chat dari Dino.
...📩...
Dino : Pesta pembukaan apartemen! Kita ketemu nanti malem. Dan tolong simpen nomor gue pakai nama lain, atau gue tendang lo.
Gue mendengus, terus ngetik balasan. Dia tahu gue nggak bisa nolak kalau ada anjing di situ.
^^^Gue: Dino. Lo ngundang siapa aja?^^^
Dino: Beberapa teman dari fakultas gue. Gue harus ngenalin lo ke anak-anak. Pakai setelan terbaik lo.
Gue baru saja masuk ke kampus ini, sementara Dino udah setahun di sini. Dia udah punya lingkaran pertemanan yang solid, sementara gue cuma punya dia doang.
Gue ketinggalan dua minggu pertama kuliah buat pemulihan, jadi anak-anak di jurusan gue udah bikin geng mereka sendiri. Lagi-lagi, gue jadi orang luar.
Gue emang nggak pernah jago cari temen. Waktu SMA, gue kenal orang-orang gara-gara saudara gue. Teman mereka jadi teman gue, cuma karena gue ada di situ. Gue nggak ngeluh sih, karena sahabat terbaik gue juga muncul dari situ. Tapi gue sadar, gue belum pernah punya teman yang gue dapetin sendiri.
Mungkin ini waktunya buat berubah.
^^^Gue: Lo ngundang berapa orang sih?^^^
Dino: Angka itu cuma ilusi yang ada di ruang dan waktu.
Kadang gue benaran penasaran, otaknya Dino ini kerja normal atau nggak. Gue nggak pernah bisa ngerti cara dia mikir.
Gue ngeluh pelan, terus nelpon dia. Dari suara berisik di belakangnya, gue ragu dia benaran masuk kelas. Kayaknya lebih mungkin dia lagi nongkrong sama gengnya.
...📞...
^^^"Berapa orang, Dino?"^^^
"Dua belas setengah?" Dia ketawa, dan gue otomatis menyipitkan mata.
^^^"Setengah?"^^^
"Salah satu cewek bawa anjingnya."
Gue langsung lebih santai. Gue suka banget sama anjing.
^^^"Anjingnya siapa namanya?"^^^
"Pipop."
^^^"Oke, gue dateng."^^^
Dino bilang sesuatu lagi sebelum menutup telepon. Dan baru setelahnya gue sadar, dia pakai taktik licik buat bikin gue setuju. Dia tahu gue nggak bakal nolak kalau ada anjing di pesta.
Dino pasti sengaja manfaatin kelemahan gue. Gue yakin apartemennya bakal penuh sama orang. Yah, mungkin ini emang kesempatan gue buat mulai bersosialisasi.
Pas gue balik ke kelas, lorongnya rame banget. Beberapa orang melirik gue, ada yang kelihatan penasaran, ada juga yang tatapannya penuh rasa kasihan.
Lebam-lebam di muka gue sih udah hilang, tapi jahitan di sisi kiri rahang sama dekat mata kanan masih kelihatan jelas. Jadi gue cuma menunduk dan pura-pura sibuk ngecek HP.
Citrus.
Gue langsung mendongak begitu mencium bau parfum yang familiar.
Aromanya membawa gue kembali ke malam itu, ke dinginnya hujan, ke sakit yang menyiksa di badan, ke suara pelan yang waktu itu bilang, "Lo bakal baik-baik aja."
Gue refleks nengok ke belakang.
Ada sekelompok cowok dan cewek yang baru saja melewati gue, terus mereka langsung larut dalam kerumunan.
Gue berdiri di tengah lorong, bengong, mata gue mengikuti mereka sampai mereka makin jauh.
Cukup, Asta.
Gue paksa diri buat lanjut jalan. Tapi di kepala gue, cuma ada satu pertanyaan yang berputar-putar.
Gue bakal ketemu lo lagi gak, sih, Selma?
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢