Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Di ruang makan yang luas dan tertata rapi, tiga orang duduk mengelilingi meja makan dengan hidangan sederhana namun menggugah selera.
Ada nasi panas, sayur bening, tempe goreng, dan telur dadar. Di tambah harum aroma teh melati yang mengepul dari cangkir hingga membuat suasana menjadi hangat.
Namun, di balik kehangatan itu, suasana disana juga terasa tegang.
Miska duduk dengan wajah malas, sambil menyuap makanannya tanpa semangat. Sementara itu, Umi Farida dan Abi Rasyid makan dengan tenang, mengikuti kebiasaan mereka untuk tidak berbicara saat makan.
Hening...
Yang terdengar hanya suara sendok yang beradu dengan piring.
Namun, Miska tahu betul, begitu sarapan selesai, maka perang akan dimulai lagi.
Setelah suapan terakhir, Umi Farida meletakkan sendoknya dan mengambil tisu. Sementara Abi Rasyid langsung berdoa lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Kemudian, Abi Rasyid menatap putrinya yang tampak enggan menatapnya.
"Sudah selesai? Kalau sudah, kita bicara sebentar," ucap Abi Rasyid terdengar tegas, tapi tetap lembut.
"Haaah... Tuh kan, aku bener. Pasti Abi mau ngelanjutin masalah semalam," batin Miska.
Dalam hati, Miska ingin menghindari ini, tapi ia pikir tak ada gunanya juga melawan. "Iya," jawabnya singkat, lalu mendorong piringnya ke tengah meja.
Abi Rasyid melipat tangannya di atas meja, seraya menatap Miska dengan tajam. "Miska, kamu tahu kenapa Abi dan Umi ingin bicara denganmu lagi?," tanyanya.
Tapi Miska malah mengangkat bahunya dan acuh tak acuh. "Karena semalam aku pulang malam, kan?," tanyanya, yakin.
Abi pun Rasyid mengangguk.
"Itu salah satunya. Tapi ini bukan sekadar soal pulang malam, Miska. Ini tentang keseluruhan sikapmu. Kami sudah cukup lama mengamati dan menegur, tapi tidak ada perubahan. Justru kamu malah semakin menjadi," ujar Abi Rasyid.
Mendengar penuturan ayahnya, Miska malah memainkan ujung bajunya seraya menghindari tatapan orang tuanya.
"Miska," panggil Umi Farida yang terdengar lebih lembut. "Kamu sadar nggak, setiap hari kamu semakin jauh dari didikan yang seharusnya?," jelasnya.
Miska mendongak, lalu menatap ibunya dengan tatapan tidak suka. "Maksudnya?," tanya Miska.
"Kamu sering pulang larut malam tanpa izin. Pergaulanmu makin bebas. Jilbab yang seharusnya kamu pakai dengan baik malah sesuka hati. Dan yang paling penting, kamu mulai jauh dari kewajiban sebagai seorang muslim. Shalat diabaikan, apalagi mengaji. Kami bukan hanya kecewa, Miska. Kami khawatir," jelas Abi Rasyid.
Miska kini menggigit bibirnya, tapi tetap diam dan tidak mengelak.
"Kita ini keluarga yang menjunjung agama. Semua orang di keluarga besar kita menjaga nilai-nilai Islam. Tapi kamu… kamu satu-satunya yang berbeda," tambah Abi Rasyid.
Namun Miska hanya mendengus, lalu matanya melirik ke samping. "Jadi karena aku beda, aku jadi masalah?," tanyanya.
"Ini bukan soal beda, ini soal benar dan salah. Kamu bisa melihatnya sendiri, kan? Perilakumu selama ini… Apa kamu pikir ini jalan yang benar?," jawab Abi Rasyid sambil menatapnya serius.
Miska pun membisu. Ia ingin membantah, tapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah yang berusaha ia abaikan.
Beberapa saat kemudian, Abi Rasyid menyandarkan dirinya ke kursi dan menghela napas panjang. "Karena itu, Abi dan Umi sudah membuat keputusan," ucapnya, terdengar semakin serius.
"Keputusan?," tanya Miska seraya mengangkat wajahnya dengan kening berkerut.
"Mulai semester depan, kamu akan pindah sekolah dan masuk pesantren," kata Abi Rasyid dengan menatapnya langsung.
"APA?!."
Saking terkejut, Miska hampir melompat dari kursinya. Matanya membulat sempurna, seolah baru saja mendengar sesuatu yang paling buruk dalam hidupnya.
"Abi becanda, kan?!," tanya Miska dengan suara yang meninggi, lalu menatap kedua orang tuanya dengan tidak percaya.Tapi ekspresi Abi Rasyid tetap tenang.
"Abi tidak pernah main-main dalam hal ini, Miska," jawab Abi Rasyid.
Miska lalu menatap Umi Farida, berharap ibunya itu akan membelanya. Tapi wajah ibunya juga menunjukkan ketegasan yang sama.
"Umi… serius ini? Aku masuk pesantren?," tanyanya lagi dengan suara yang mulai terdengar panik.
"Iya, Sayang. Ini keputusan terbaik untuk kamu," jawab Umi Farida seraya mengangguk pelan.
"Hah 😐." Miska tertawa sinis lalu berkata, "Keputusan terbaik? Bagi siapa? Jelas bukan untuk aku!," serunya.
"Ini bukan soal keinginan kamu, Miska. Ini soal apa yang terbaik buat kamu. Dan kami, sebagai orang tuamu, tahu bahwa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu sebelum kamu makin jauh."
"Tidak! Aku nggak mau! Aku bukan anak kecil yang bisa kalian atur sesuka hati!," ujar Miska seraya menggeleng cepat dengan napas yang memburu.
"Justru karena kamu bukan anak kecil lagi, kamu harus belajar disiplin!," potong Abi Rasyid. "Dan kalau kamu tetap keras kepala, Abi nggak punya pilihan lain."
Miska menatap orang tuanya dengan mata berkilat marah. "Ini nggak adil! Kalian cuma mikirin apa yang kalian anggap benar tanpa peduli aku maunya apa!," teriak Miska.
Umi Farida lalu mendekatinya dan berusaha menyentuh tangannya, tapi Miska langsung menolak dan menjauhkan dirinya.
"Kami peduli, Miska," kata Umi Farida. "Justru karena kami peduli, kami tidak bisa membiarkan kamu terus seperti ini."
Miska menahan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk mata. Ia bangkit dari kursinya, lalu mendongak menatap mereka dengan penuh perlawanan.
"Kalau kalian pikir ini cara yang benar, silakan. Tapi jangan harap aku akan terima begitu saja!," ancam Miska.
Tanpa menunggu jawaban, Miska langsung berbalik dan berlari menuju kamarnya. Ia membanting pintu dengan keras, hingga membuat suara dentuman menggema di seluruh rumah.
Sementara itu, di ruang makan, Umi Farida menunduk sambil menggigit bibirnya untuk menahan tangis.
"Biarkan dia. Dia butuh waktu," kata abi Rasyid.
**
Dalam beberapa saat, rumah masih terasa hening setelah suara pintu kamar Miska dibanting keras tadi.
Umi Farida masih duduk di meja makan dengan kepala menunduk, sambil memainkan ujung jilbabnya dengan gelisah.
Sementara itu, Abi Rasyid tetap tenang, walau dari sorot matanya jelas terlihat rasa khawatir.
Tap! Tap! Tap!
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langkah yang cepat dan terburu-buru.
Miska muncul dengan wajah masam, dengan tas ransel hitam yang sudah tergendong di punggungnya.
Dia tidak mengenakan seragam sekolah, melainkan kaus oversized dengan celana jeans longgar. Jilbabnya terpasang asal menutupi sebagian kepalanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia langsung berjalan menuju pintu depan, dan tidak sekali pun melirik kedua orang tuanya.
"Mau ke mana, Miska?," tanya Abi Rasyid seraya menegakkan tubuhnya di kursi sambil menatap putrinya dengan pandangan tenang namun tajam.
Namun, Miska tidak menggubris dan tetap melangkah tanpa menoleh. Ia terus melangkah seolah tidak mendengar apa pun.
Baru ketika tangannya menyentuh gagang pintu, suara Abi Rasyid kembali terdengar, dengan suara yang lebih tegas. "Miska, Abi tanya."
Miska pun menghentikan langkahnya sejenak, tapi tidak berbalik. "Ke sekolah," jawabnya dingin.
Umi Farida kini berdiri dan mencoba mendekati anaknya lalu berkata, "Miska, setidaknya pamit dulu. Jangan pergi seperti ini."
"Nggak perlu, kan? Aku cuma pergi sekolah, bukan mau kabur," jawab Miska ketus tapi tetap tidak menoleh.
Abi Rasyid menatap punggung putrinya dengan sorot mata tajam dan berkata lagi, "Kalau sudah pulang, langsung ke rumah. Hari ini kita akan ke rumah nenek sesuai janji."
"Lihat nanti," jawab Miska datar, masih dengan punggung yang menghadap mereka.
Setelah itu, tanpa menunggu respons lagi, ia membuka pintu dan keluar, membiarkan angin pagi menyambut wajahnya.
Di luar, jalanan kompleks perumahan masih sepi. Matahari baru saja mulai naik, sinarnya lembut menyapu permukaan bumi. Miska menarik napas dalam-dalam lalu melangkah dengan cepat.
Sementara di dalam rumah, Umi Farida hanya bisa menatap pintu yang kini tertutup rapat dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Dia marah sekali ya, Bi?," gumamnya dengan suara lirih.
Abi Rasyid menghela napas panjang, lalu berdiri. Ia menatap ke arah pintu dengan ekspresi penuh pertimbangan lalu berkata, "Biarkan saja dulu. Kita lihat apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak."
"Kalau dia nekat kabur gimana, Bi?," tanya Umi Farida seraya menatap suaminya dengan cemas.
"Dia masih marah. Tapi sejauh apa pun dia pergi, dia tetap akan pulang. Karena bagaimanapun, dia tahu ke mana harus kembali," jawab Abi Rasyid.
Namun, keduanya tidak menyadari bahwa hari itu, Miska tidak langsung pergi ke sekolah seperti yang ia katakan.
Ia punya rencana lain. Rencana yang mungkin akan membuat orang tuanya semakin kecewa.
BERSAMBUNG...