Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Dek, katanya mau ambilin makan!" tegur lembut suara bariton yang masih terekam jelas di telingaku. Aku meringis, kini perumpaan yang sering aku tulis menjadi nyata. Bahwa yang memandang masih kalah dengan yang dimiliki, dan masa lalu akan terlupakan seiring dengan bergantinya waktu.
Panggilan yang pernah dia berikan padaku sudah tidak berlaku lagi, aku yang biasa memanggil 'Mas' menjadi Gus. Dia telah menjadi menantu Ayah, bukan suamiku. Namun, Alisha Khairunnisa kembaranku.
"Maaf, Mas lupa. Iya udah kita makan bersama saja! Sambil nunggu Ayah dan Ibu pulang dari masjid," usul Aisha. Aku berniat kembali ke kamar. Tidak mungkin aku mengganggu mereka.
"Lho, Kakak mau kemana?" tanya Aisha saat aku baru tiga langkah menjauh.
"Ke kamar, Aisha! Mau beresin baju."
"Makan dulu, Kak! Pasti belum makan. Sudah satu tahun kakak nggak makan nasi di rumah," ucap Aisha yang langsung menarik tanganku.
Mau tidak mau aku menuruti kemauan, Aisha. Jadilah kini aku diantara Aisha juga Azam. Dengan cekatan tangan Aisha menyiapkan makan untuk Azam.
"Mas mau makan apa?"
"Apa saja asal kamu yang pilih pasti nikmat!"
"Kalau aku pesannya tumis pare mau?"
"Mau, asal makannya lihat kamu jadi nggak pahit!"
Sekilas ingatan masa lalu bersama Azam mengisi pikiranku. Saat masih kuliah sering makan bersama, menjelajah semua kuliner karena itu hobi Azam. Dan mungkin ini teguran dari Allah karena aku mengecewakan Ayah, tidak menjaga jarak antara lawan jenis. Meski tidak pacaran kami cukup dekat. Semua teman kuliahku juga Azam tahu kedekatan kami.
Untung saat pernikahan mereka tidak tahu jika aku bukan mempelainya. Allah menyelamatkan aku saat hari terperih itu terjadi. Kakek mendadak sakit dan aku memaksa untuk merawatnya.
"Kak, kok melamun! Ayo makan. Mau aku ambilin apa?" tanya Aisha, membuyarkan lamunanku. Ternyata aku terlalu lama melamun, Azam tetap fokus pada makanannya.
"Nggak usah, Aisha. Kamu nggak makan?" tanyaku balik. Aisha hanya menggelengkan kepala. Aku segera mengambil nasi juga ayam kecap. Memasukan ayam yang terlihat sangat menggoda ke piring, yang aku rasa hanya rasa hambar ketika bersatu di dalam mulut. Semua terdiam hanya suara denting sendok juga piring.
"Kak, aku lupa ada pesanan Ibu untukmu! Tunggu bentar ya aku ambilin dulu di kamar."
Aisha langsung pergi begitu saja, kini hanya ada aku juga Azam di meja makan. Aku mencoba biasa saja. Namun, tidak dengan jantung yang berdebar hebat. Dua orang yang pernah saling dekat seolah tidak pernah bertemu itu yang kini terjadi padaku juga Azam.
"Aku tahu kecewa Neng. Tapi, aku tidak berkhianat. Semua terjadi cepat, aku tidak tahu kamu kembar Neng."
Aku dan Aisha terlahir beda setengah jam. Kami kembar identik, hanya tahi lalat di atas bibirnya Aisha yang menjadi pembeda. Jika yang baru mengenal kami, maka tidak akan ada yang bisa membedakan.
Aisha lebih suka mendalami ilmu tentang dakwah. Berbanding dengan aku yang menyukai dunia tulis menulis. Aisha menurunkan bakat Ayah sedang aku bakat Ibu. Dari cerita Ibu, dulu begitu menyukai dunia literasi. Menulis beberapa novel bestseller. Namun, sejak jadi istri Ayah, Ibu berhenti menulis juga lepas dari telah menyukai membaca. Beranjak SMP, aku belajar menulis cerita tentang diriku sendiri di buku diary.
Satu cita-cita terbesarku berdakwah lewat tulisan.
Itulah yang membuat aku memilih kuliah jurusan sastra untuk memantapkan hobiku.
"Ayah izinkan kami kuliah di Jakarta, Alisha! Dengan syarat tidak boleh pacaran!" aku yang sangat ingin kuliah jurusan sastra menyetujui syarat Ayah.
Sudah tidak heran lagi, Ayah dan Ibu jika aku pulang ke rumah kakek jika masa liburan tiba. Sejak kecil aku lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Aisha yang fisiknya ringkih sejak kecil membuat Ayah dan Ibu lebih ekstra menjaganya. Apalagi setelah kelahiran Inayah. Aku tidak tinggal di Darul Arkom, Ibu dan Ayah sibuk mengurus kedua adikku.
Apa aku iri? Tentu tidak sejak kecil aku di didik untuk mandiri, menjadi Kakak yang baik untuk kedua adiknya. Kakek selalu menasehati aku agar selalu mengalah dengan adik. Karena sejatinya adik akan selalu meniru kakaknya.
"Alisha, kamu jangan merasa kurang kasih sayang ya, Neng Geulis! (Teteh Cantik) Di sini kakek anggap saja sebagai Ayahnya Alisha. Jadi kakak yang menjadi panutan adik-adik, jangan saling berantem ya, sayang!"
Nasehat kakek yang selalu aku ingat. Aku lebih baik mengalah dan mundur teratur waktu Ayah salah melamar. Aku lupa menceritakan padanya jika aku terlahir kembar. Hanya bilang punya dua adik. Di saat kami bersama hanya mimpiku yang menjadi pembahasan.
Hari itu, aku memang pulang ke cirebon. Namun, bukan ke Darul Arkom melainkan ke rumah Kakek. Entah mengapa ponsel tiba-tiba rusak saat itu. Ketika kembali menyala pesan beruntun masuk dari Azam juga Aisha.
[ Aku kasih kejutan hari ini, Alisha! Kamu sudah sampai belum?]
[Makasih ya, Alisha! Sudah mau menerima lamaranku]
Pesan dari Azam satu tahun lalu masih teringat jelas, seakan baru kemarin terjadi. Aku yang baru menyalakan ponsel tidak mengerti maksud Azam. Menerima dia? Aku menutup mulut sendiri kala itu.
Mataku memanas saat membaca pesan dari Aisha..
[ Kak, aku bahagia hari ini. Dia tiba-tiba datang melamar aku!]
[ Allah menjawab doaku, kak! Aku bahagia pokoknya hari ini. ]
Aku tidak pernah menyangka jika lelaki yang sering Aisha ceritakan padaku itu, Azam. Dengan tangan bergetar, tiba-tiba air mata ini tak terasa bercucuran saat aku membalas pesan Aisha.
[ Selamat.. Aisha, maaf kakak tidak bisa pulang.]
Hatiku hancur, menangis histeris membuat Kakek juga Nenek kebingungan.
Aku tidak mungkin mematahkan sayap Aisha yang rapuh. Biarlah semua kisahku juga Azam menjadi masa lalu. Hati ini bagai tersayat luka yang begitu dalam. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika jujur akan lebih membuat banyak hati yang terluka, biarlah aku yang merana asal Aisha bahagia.
Udara seakan menjauh dariku, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Nasi juga lauk masih banyak di piring. Namun, mood untuk makan hilang. Mataku memanas, sekali saja aku berkedip pasti akan jatuh air mataku.
Perkataan Azam membuat aku terpaku, kejadian yang selalu aku usahakan untuk lupa malah di bahasnya lagi. Tidak tahukah dia betapa sulitnya aku menata hati? Hal yang paling aku takuti kini terjadi. Aku tidak menuntut penjelasan karena itu tidak akan merubah keadaan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan kata-kata untuk menjawab ucapan Azam. Walau bagaimanapun aku harus kuat agar dia tidak berpikiran bahwa aku makhluk paling menderita karena cinta.