Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Malam anniversary
Malam itu, Harry Stevenson berdiri di depan pintu apartemen Raline Anindya, membawa sebuah kotak hitam berukuran sedang dengan pita emas yang melilit rapi di atasnya. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan kegembiraan. Hari ini adalah hari yang spesial, hari anniversary pertama mereka. Sebagai CEO dari perusahaan transportasi ternama, waktunya selalu sibuk, tetapi untuk Raline, ia akan selalu menyempatkan diri.
Ketukan lembut di pintu membuat Raline, yang sedang bersiap-siap, bergegas membukanya. Saat pintu terbuka, ia menemukan Harry berdiri dengan senyum khasnya. "Happy anniversary, my love!" ucapnya seraya menyerahkan kotak yang dibawanya.
Raline mengerjapkan mata, sedikit terkejut. "Apa ini?" tanyanya penasaran.
"Buka dan lihat sendiri," jawab Harry, masih dengan ekspresi tenangnya.
Dengan hati-hati, Raline membuka kotak itu dan matanya membulat saat melihat isinya. Sebuah gaun hitam seksi berbahan satin dengan potongan yang elegan namun menggoda. Pipinya sedikit merona.
"Harry… Ini terlalu indah," gumamnya, jemarinya menyentuh kain lembut itu.
Harry melangkah lebih dekat, menatapnya dengan penuh arti. "Aku ingin kamu mengenakannya malam ini. Aku punya kejutan untuk kita."
Raline menggigit bibir bawahnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Ke mana kita akan pergi?"
Harry tersenyum samar. "Rahasia. Tapi aku jamin, ini akan menjadi malam yang tak terlupakan untuk kita."
Raline tersenyum malu-malu lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan mengenakannya. Tunggu sebentar, ya."
Harry menunggu di ruang tamu, memperhatikan sekeliling apartemen yang sederhana namun mencerminkan kepribadian Raline yang lembut dan penuh warna. Tak lama, suara langkah kaki halus terdengar, dan ketika ia menoleh, napasnya seketika tertahan.
Raline berdiri di hadapannya, mengenakan gaun yang dipilihkannya. Kainnya membalut tubuh gadis itu dengan sempurna, menonjolkan keanggunan serta pesona alaminya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, menambah kesan memikat.
"Bagaimana?" tanyanya dengan suara pelan, sedikit malu dengan tatapan Harry yang seakan tak berkedip.
Harry tersenyum lebar, melangkah mendekat, lalu mengecup keningnya lembut. "Kamu terlihat luar biasa."
Raline tersenyum bahagia. "Jadi, sebenarnya kita mau ke mana?"
Harry menggenggam tangannya, menuntunnya keluar. "Tempat spesial, hanya untuk kita berdua."
Malam itu, mereka melaju dengan mobil mewah Harry menuju kejutan yang telah disiapkannya—sebuah dinner romantis di kapal pesiar pribadi di bawah gemerlap bintang. Malam yang akan menjadi kenangan indah dalam perjalanan cinta mereka.
•
•
Begitu mereka tiba di dermaga pribadi, Raline ternganga melihat kapal pesiar mewah yang berlabuh di sana. Matanya membulat, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Harry… ini?" suaranya tercekat, tangannya menggenggam erat lengan Harry.
Harry tersenyum kecil, menikmati ekspresi kekaguman kekasihnya. "Ini kapal pribadiku. Dan malam ini, hanya ada kita berdua di dalamnya."
"Kamu serius?" Raline hampir tidak bisa berkata-kata. Ia tahu Harry adalah pria sukses, tapi ia tidak pernah menyangka pacarnya akan menyiapkan sesuatu semewah ini hanya untuk malam anniversary mereka.
Tanpa menunggu jawaban, Harry menggenggam tangannya dan membimbingnya menaiki kapal. Begitu mereka melangkah ke dek utama, Raline kembali dibuat terpesona. Kapal itu dihiasi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip indah, meja makan yang tertata sempurna dengan lilin-lilin di tengahnya, serta aroma bunga mawar yang menyebar di udara malam yang sejuk.
"Harry, ini luar biasa…" Raline berbisik, benar-benar terharu.
"Aku ingin malam ini menjadi spesial untuk kita," ujar Harry lembut. "Ayo, kita duduk!"
Mereka pun duduk di meja yang telah disiapkan. Makanan mewah tersaji di hadapan mereka, mulai dari steak berkualitas tinggi, seafood segar, hingga wine yang dipilih khusus oleh Harry sendiri. Sambil menikmati hidangan, mereka mengobrol santai, mengenang kembali momen-momen yang telah mereka lalui selama satu tahun terakhir.
Namun, di tengah suasana romantis itu, ponsel Raline yang diletakkan di atas meja tiba-tiba bergetar. Layar menyala, memperlihatkan nama yang membuat wajahnya langsung berubah pucat—Calvin.
Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan mematikan panggilan tersebut. Lalu, ia menoleh ke arah Harry, mencoba tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Harry sempat melihat perubahan ekspresi di wajah Raline dan bertanya, "Siapa yang menelepon?"
Raline tersenyum kecil, berusaha tetap santai. "Hanya teman. Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang, makanya aku matiin aja telponnya."
Harry menatapnya beberapa detik, seolah mencoba membaca ekspresi wajahnya. Namun, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah. Malam ini memang hanya untuk kita berdua."
Raline tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Siapa pun yang berada di balik telepon itu, ia berharap tidak akan merusak malam istimewa ini.
•
•
Meskipun ia mencoba fokus pada Harry, bayangan Calvin tetap menghantui pikirannya. Setelah beberapa suapan, Raline akhirnya meletakkan garpunya dan menatap Harry dengan senyum manja.
"Sayang, aku ke toilet sebentar ya?"
Harry mengangguk tanpa curiga. "Tentu. Mau aku antar?"
Raline tertawa kecil dan menggeleng. "Nggak perlu, aku bisa sendiri kok."
Salah satu pelayan di kapal itu menunjukkan arah toilet kepada Raline. Setelah memastikan bahwa ia benar-benar sendirian, Raline segera mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan cepat ke nomor Calvin.
"Dad, maaf ya aku gak bisa respon telpon kamu sekarang! Aku lagi sibuk, maaf!"
Ia menghela napas lega setelah mengirim pesan itu. Namun, saat ia bersiap untuk kembali ke meja makan, ponselnya kembali bergetar. Calvin menelepon lagi. Hatinya mencelos.
"Astaga..." gumamnya cemas.
Pesan lain menyusul. "Angkat teleponnya sekarang!"
Raline menatap layar dengan gelisah, jemarinya ragu-ragu di atas tombol jawab. Ia tidak ingin membuat Harry curiga, namun ia juga tahu bahwa Calvin bukan tipe orang yang bisa diabaikan begitu saja. Akhirnya, dengan enggan, ia mengangkat teleponnya dan menempelkannya ke telinga.
"Halo..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
"Di mana kamu sekarang?" Suara Calvin terdengar dalam dan tegas di seberang telepon.
Raline menelan ludah, jantungnya berdetak cepat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... sedang di luar, Dad. Lagi sama teman-temanku."
"Jangan bohong," suara Calvin terdengar tajam. "Aku tahu kamu bersama laki-laki lain. Siapa laki-laki itu, ha? Cepat jawab!"
Mata Raline membesar. Bagaimana Calvin bisa tahu?
"A-aku—"
"Dengar baik-baik, Raline! Aku tidak suka kamu berada di dekat pria lain selain aku." Suara Calvin semakin menekan. "Kamu tahu aturan kita, bukan?"
Raline meremas ujung gaunnya, hatinya berdegup semakin kencang. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini, tapi ia tahu bahwa Calvin tidak akan membiarkannya begitu saja.
"Aku harus kembali sekarang, Dad," bisiknya panik. "Aku tidak bisa bicara lama-lama."
Namun sebelum ia sempat menutup telepon, suara Calvin kembali terdengar, lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan memastikan kamu tidak pernah bisa pergi dari aku, Raline."
Raline menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia menatap cermin di depannya, melihat wajahnya yang sedikit pucat. Malam anniversary yang seharusnya indah ini kini terasa lebih mencekam.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya keluar dari toilet dan kembali ke meja makan, mencoba berpura-pura bahwa tidak ada yang terjadi.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa semuanya akan menjadi semakin rumit dari sini.