Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 03 — Meet Him Again
Ashana sibuk memilih pakaian yang pantas untuk ia kenakan dalam pertemuan pentingnya malam ini. Meskipun ia bukan tipe yang terlalu mementingkan penampilan, tapi untuk malam ini, ia bebar-benar ingin membuat kesan yang baik pada calon investornya.
Setelah setengah jam memilih, pilihannya jatuh pada maxi dress berwarna cokelat tua, ia padankan dress itu dengan hijab warna senada. Setelahnya, Ashana membubuhkan make up tipis guna mempercantik dandanannya malam itu.
Tak lupa sebuah belt yang melingkari pinggangnya, dan sebuah clutch di tangan semakin melengkapi penampilannya.
Beberapa menit kemudian, ia dengar deru suara mobil Bartha memasuki pelataran rumahnya. Ashana meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan ke bawah.
Benar saja, Bartha sudah berdiri di depan pintu. Ketika melihat Ashana menuruni tangga, ia pun tersenyum.
"Kau sangat cantik malam ini, Ashana," pujinya tulus, ia harap Ashana baik-baik saja.
"Kau sudah siap?" tanyanya yang langsung diangguki perempuan itu. "Baiklah, ayo kita pergi."
30 menit berkendara, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. "Kau sudah tahu kan apa yang harus kau katakan?" tanya Bartha memastikan. Ternyata, bukan hanya Ashana yang gugup dengan pertemuan ini, namun Bartha juga.
Ashana mengangguk, seraya mengikuti langkah Bartha menuju sebuah restoran. "Reservasi untuk empat orang atas nama Albert," kata Bartha kepada seorang waiter.
Sang waiter terlihat mengecek daftar reservasi kemudian berkata, "Maaf, Pak, tapi reservasi atas nama Tuan Albert hanya untuk dua orang saja, dan beliau sudah menunggu di dalam," katanya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Apa kau yakin? Bisa tolong diperiksa kembali?" pinta Bartha masih tak yakin. Wajahnya berubah panik dan cemas.
"Maaf, Tuan. Tapi reservasinya memang hanya untuk dua orang," jawab sang waiter.
Bartha beralih pada Ashana, "Jangan khawatir, aku akan melakukan reservasi ulang. Kau tunggu di sini."
Belum sempat Bartha melangkah, tangannya sudah dicekal Ashana. "Aku rasa tidak perlu, Om."
Ashana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. restoran yang mereka kunjungi sangat ramai dan ia tak yakin akan mendapatkan tempat duduk jika mereka melakukan reservasi ulang.
"Sepertinya, calon investor kita hanya ingin membicarakan kesepakatan itu hanya denganku. Aku akan menemuinya sendirian," kata Ashana sambil mengulas senyumnya.
"Kau yakin?" tanya Bartha memastikan, melihat Ashana mengangguk ia pun menjadi yakin.
Bartha menghela napas lalu berkata, "Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu di lobi, kabari aku jika kau membutuhkan sesuatu dan ingatlah untuk tidak mengambil keputusan apapun jika kau merasa ragu. Katakan padanya kau akan mengambil keputusan setelah berdiskusi denganku. Kau paham itu Ashana?"
Jelas sekali bahwa Bartha mengkhawatirkan Ashana, pasalnya, calon investor yang akan mereka temui itu menolak memberitahukan informasi detail mengenai dirinya, membuat sebagian kepercayaan Bartha menipis. Tapi, ia dan Ashana tak memiliki jalan lain lagi.
Perempuan itu mengangguk paham lalu tersenyum, berusaha meyakinkan Bartha dengan kemampuannya untuk bernegosiasi. "Aku paham, Om, kalau begitu aku ke dalam dulu, ya. Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini."
Setelahnya, Ashana mengikuti seorang pelayan yang membawanya menuju meja untuk dua orang yang berada di tengah-tengah ruangan. Jantungnya berdegup kencang saat melihat seorang pria berdiri tak jauh dari meja.
Ashana tersenyum lalu mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang sudah mengantarnya itu. Pandangannya beralih pada sosok tinggi tegap dengan setelan formal yang tersenyum ramah padanya.
"Ibu Ashana Lazuardi?" tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Ashana menerima jabatan tangan itu, "Benar. Anda Tuan Albert Kanagara?"
Pria itu tersenyum ramah, "Panggil Albert saja, silakan duduk dulu, Bu." Albert menarikkan kursi dan membantu Ashana untuk duduk dengan nyaman.
"Saya permisi untuk memanggil atasan saya. Mohon menunggu sebentar," ujar Albert sambil menarik diri dari sana.
Ashana hanya menganggukkan kepala, meskipun ia merasa sedikit aneh, tapi ia tak ingin banyak berkomentar. Apalagi di saat ia tak tahu apapun tentang calon investor yang akan ia temui itu.
Matanya mengikuti sosok Albert yang berjalan keluar restoran dan terlihat menelepon seseorang, gelagatnya terlihat tak biasa dan Ashana tak bisa menampik perasaan janggal yang mulai muncul ke permukaan.
Tak lama setelah Albert pergi, Ashana menangkap sosok seorang pria yang sangat dikenalnya berjalan mendekat ke tempat di mana ia duduk sekarang. Napas Ashana tercekat, perasaan dingin yang menusuk mulai merambati kaki dan tangannya.
Ini mustahil, pikir Ashana.
Pria itu tersenyum miring, berjalan dengan angkuh dan penuh determinasi saat mendapati Ashana yang menatapnya tanpa berkedip. Sepasang mata Ashana terpaku pada wajah tampan pria itu.
Tak ada yang berubah, pikir Ashana. Yang membedakan penampilan pria itu sekarang hanyalah penampilannya yang menunjukkan seberapa tinggi jabatan dan betapa terhormatnya ia. Pria itu terlihat lebih tua dan dewasa dari yang pernah diingatnya.
7 tahun berlalu begitu cepat.
Selama beberapa saat, Faza Nawasena mengunci pandangannya pada Ashana yang sepertinya sangat terkejut dengan kehadirannya. Faza dapat melihat dengan jelas gurat keterkejutan itu dari wajah Ashana.
Merasa dipandang dengan begitu intens, hati Ashana kembali berdesir untuk pertama kalinya setelah 7 tahun tak bertemu dengan pria yang pernah dicintainya itu.
Pandangan mata Faza yang tertuju padanya berhasil mengusik kepingan-kepingan kenangan yang telah dikuburnya dalam-dalam.
"Ashana," sapa Faza dengan senyum khasnya.
Senyum dan suara yang sama, yang pernah membuat Ashana tergila-gila pada pria itu. Menelan saliva, ia sekuat tenaga mempertahankan raut wajahnya agar terlihat biasa-biasa saja. Setidaknya, pria itu tak boleh tahu jika kehadirannya membuat hati Ashana terguncang hebat.
"Faza," ucap Ashana lirih. Pada akhirnya, nama itu harus ia sebut atas nama kesopanan. Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, nama itu tetap terasa getir di bibirnya. "Jadi kau calon investor kami?"
Faza tersenyum, ia tak menjawab melainkan menarik kursinya dan duduk dengan arogan di hadapan Ashana. Tangannya terangkat ke atas untuk memanggil seorang waitress.
"Aku ingin Ratatouille dan Tarte aux pommes dan berikan aku minuman terbaik." Sang waitress terlihat menulis pesanan.
Faza beralih pada Ashana yang masih menatapnya tak percaya. "Kau mau pesan apa?"
"Aku tidak lapar," kata Ashana seraya memalingkan wajahnya ke samping. Muak sekali rasanya melihat rupa pria yang selama bertahun-tahun ini berusaha untuk ia lupakan.
"Well, apa kau masih ingat? Aku tidak ingin membicarakan apapun dalam keadaan perut kosong dan tidak akan pernah membiarkan lawan bicaraku kelaparan," kata Faza penuh penekanan.
Ashana mendengus, "Steak au poivre dan air putih saja, thanks," ujarnya, lalu sang pelayan itu mundur setelah berkata akan mengantarkan pesanan mereka selama beberapa menit lagi.
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Ashana tak ingin berbasa-basi setelah pelayan itu pergi.
Faza tersenyum miring, "Coba tebak."