"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinar pergi.
"Sama Abi..." Irham berusaha menjangkau tangan Ilyas tapi buru-buru Dinar menghalanginya.
"Apa sih? Kamu nggak bisa ajarin anakku dengan baik dan benar." sentak Irham ketika berhasil memegang tangan kecil Ilyas untuk di tarik kearahnya.
Sedikit kasar dan membuat Dinar khawatir.
"Mas benar, aku memang tidak becus melakukan apa-apa." perkataan Dinar membuat Irham tercubit, nampaknya ucapannya tempo hari benar-benar menyakiti perasaan perempuan itu. Tapi memang benar Dinar tidak bisa melakukan hal apapun dengan benar.
Irham pergi membawa Ilyas meninggalkan Dinar dengan perasaan kesal.
Tanpa Irham tau bagaimana lelahnya Dinar menemani perkembangan putranya. Jangankan berbenah rumah, untuk mandi saja Dinar jarang ada waktu karena Ilyas selalu mengajaknya main tiada henti. Jika saja Dinar tidak menuruti maka sifat tentrum sang anak akan kambuh, membanting dan berteriak.
Bisa saja ia kena lemparan barang seperti tadi jika tak sempat menghindar, tapi Irham tak pernah tahu sejauh itu.
Jika terlalu lelah yang dilakukan Dinar hanya bersalawat sambil berusaha menidurkan anaknya. Kadang Dinar menangis di kamar mandi, meluapkan air matanya agar hatinya tenang.
Dinar sadar jika Irham berharap ia bisa membantu banyak hal di rumah, suaminya dikenal sangat disiplin. Pernah Irham seolah menyindirnya beberapa kali, Irham ingin juga seperti temannya yang lain. Begitu sampai di rumah melihat istrinya yang menyambutnya dengan gembira, sedikit bersolek untuk suami tidak ada salahnya, rumah bersih, anak terjaga.
Dinar bukanya tidak peka atau kurang pengertian. Ia seperti ini juga karena menghargai Irham.
Menolak ketika orang tuanya menawarkan ingin menyewakan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya mengurus rumah.
Kala itu Irham bilang, membantu pekerjaan istri juga Rasulullah lakukan, suami istri harus saling membantu, hakikat rumah tangga saling menyenangkan pasangannya.
Tapi, kini laki-laki itu berkata lelah hidup dengannya.
******
Hampir jam tujuh pagi. Irham baru kembali dengan Ilyas yang terlelap di gendongannya.
Hari ini sebenarnya dia sangat ingin menceramahi istrinya banyak hal, sayangnya dia harus berangkat ke pondok sebab akan ada pemberangkatan santriwati yang akan mengikuti perlombaan Tartil Al Qur'an mewakili pesantren.
Irham merasa rumahnya jauh lebih rapi ketimbang biasanya, saat dia selesai mandi dan berpakaian, di meja makan sudah terhidang makanan, ada secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Di dapur ada Dinar yang terlihat jauh lebih enak dipandang tampilannya.
Tumben.
Emosinya sedikit mereda melihat hal itu.
Irham duduk untuk menikmati sarapannya. Masakan Dinar memang tidak seenak hidangan diluar sana, tapi Irham tidak pernah cerewet, asalkan Dinar masak dia selalu memakannya dengan lahab.
Dinar saja yang kurang bersyukur bersuamikan dirinya.
Usai sarapan dia pamit. Dinar mencium tangannya dengan lembut seperti biasa, bedanya Dinar tak lagi menyodorkan pipinya untuk di cium.
"Mas..." panggilnya. Dalam hati Irham mencibir, Dinar tetaplah Dinar, kecupan Irham tetaplah prioritas utama, dasar manja.
"Hmm..." ia berbalik melihat Dinar yang masih berdiri di tempatnya semula dengan tangan memilih ujung bajunya.
Kok nggak mendekat? Batinnya.
"Mau dimasakkan apa untuk makan malam?"
Hening!
"Apa sih? Aku udah telat kamu malah tanya hal nda penting." kesalnya sebab yang di harapkannya tak terwujud.
Yang Irham sadari sejak ucapannya hari itu sikap manja istrinya berubah. Jika biasanya Dinar akan merayunya kala marah, tapi sekarang wanita itu hanya terus diam dengan kepala yang di tundukkan.
"Aku ingin masak sesuatu yang mas inginkan sebelum pulang ke rumah Abah sore nanti."
Irham acuh, malah buru-buru menaiki mobilnya.
******
Di pondok Irham mengecek ponselnya, siapa tahu ada pesan dari sang istri. Tapi nihil, tak ada satupun pesan di sana. Ah, berarti perkataannya tadi hanya asal bicara. Irham memasukkan ponselnya lagi kedalam celana, dia akan mengantarkan Ibu mertuanya untuk mengantar para santriwati tampil.
"Assalamualaikum Gus," sapa salah seorang santri.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Bu yai ada?"
"Ada, njenengan sudah di tunggu."
Baru saja Irham hendak melangkah, Ibu mertuanya sudah keluar dari dalam.
"Maaf Ham, Umi jadi ngerepotin kamu, tadinya mau berangkat sama Abah, tapi dapat telepon dari istrimu ngakunya rindu rumah minta di jemput."
Deg!
Eh, seperti ada benda tajam yang menggores hatinya. Tapi, bukankah ini keinginannya untuk berjauhan dengan Dinar?
Irham termenung. Apakah ini ada hubungannya dengan kalimat yang diucapkan waktu itu? Apakah perpisahan adalah pilihannya?
Tapi, kok hatinya tak karuan hanya mendengar istrinya minta di jemput oleh orang tuanya.
*****
Irham pulang lebih awal, berharap masih bisa bertemu dengan Dinar. Dia benar-benar ingin bicara pada istrinya.
Namun, sesampainya di rumah mereka, sudah tidak ada siapa-siapa.
Rumahnya lenggang, sunyi sepi. Terasa aneh. Padahal ini yang ia inginkan bukan? Kesunyian.. Tanpa suara berisik Dinar yang memekakkan telinga.
Irham meraih ponselnya, tapi tidak ada satupun pesan yang dikirimkan Dinar. Padahal selama ini wanita itu tidak pernah berpergian tanpa dirinya.
Malam itu ia tak bisa tidur. Padahal selama ini meskipun Dinar berada di rumah ia tak pernah terlalu perduli pada sang istri.
Sudah ada setahun Irham memendam perasaannya. Rasa bosan beristrikan Dinar. Dia selama ini sudah sangat banyak mengalah untuk Dinar. Tapi perempuan itu tidak mau memperbaiki kesalahannya.
Dia seorang kepala keluarga. Tapi, sudah layaknya babu. Sekedar ganti gas LPG saja Dinar tidak bisa. Mentang-mentang orang tuanya orang berada dia jadi manja dan tidak tahu apa-apa. Dia wanita sudah menikah, sudah punya anak satu pula, mengapa masih begitu merepotkan Irham.
"Kalau sampai besok kamu tidak juga menghubungiku awas saja kamu Dinar." kesalnya sambil melempar ponsel nya ke kasur.
******
Pagi itu Irham bangun tanpa ada Dinar di sampingnya.
Sejak ucapannya kala itu Dinar memang seperti menghindarinya. Dan kini Dinar benar-benar pergi dari sisinya.
Hatinya tiba-tiba terasa kosong.
Di tatapnya sudut kamar yang tampak lenggang.
Dinar biasanya akan shalat begitu azan berkumandang.
Lucunya terlihat buru-buru bahkan tidak menyempatkan diri mandi padahal waktu masih sangat panjang.
Kadang ia dimasakkan, lebih sering masak sendiri. Harusnya Irham tidak usah resah, toh dia sendiri yang ingin menenangkan dirinya tanpa suara bising Dinar yang selalu banyak bicara ini dan itu yang sebenarnya tidak penting.
Tapi kenapa dia merasa kehilangan?
Pintu kamar Ilyas seolah memangilnya untuk di masuki, padahal tentu disana tidak ada anak dan istrinya.
Ya Allah, kenapa jadi sedih begini?
Ia jadi tak bersemangat mengajar, kenapa jadi begini perasaannya? Padahal baru semalam Dinar pergi, bukankah kemarin dengan lantang ia ingin agar Dinar pulang kerumah orang tuanya.
Mendadak wajah lelah istrinya ketika dia datang dari mengajar terbayang di pelupuk mata.
Benarkah dia se lelah itu? Padahal tidak ada yang wanita itu kerjakan dirumah.
Nyatanya tiap kali ia pulang. Rumah masih sama seperti saat ketika dia pergi, kadang yang bikin tercengang, Dinar pun masih mengenakan pakaian yang dipakainya sejak pagi.
Apa yang dikerjakan wanita itu sampai mandi saja tidak sempat?
.