Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Munafik!
Tiga bulan berlalu dengan cepat. Murid-murid kelas dua belas sudah selesai mengerjakan ujian akhir dengan lancar. Sekarang, sambil mengumumkan kelulusan, Pesantren Al-Raudhah mengadakan acara perpisahan.
"Juara umum pertama diraih oleh Syahla Nafisa!"
Dengan didampingi Gus Sahil, kakak laki-lakinya, Syahla naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Semua murid bertepuk tangan riuh.
Setelah menerima hadiah, Syahla menjadi perwakilan yang membacakan pidato di atas panggung. Suaranya yang tegas serta isi pidatonya yang berbobot kembali mendapatkan tepuk tangan meriah.
Saat turun dari panggung, tampak beberapa santri putra mendekatinya, beramai-ramai memberikan buket bunga dan cokelat.
"Selamat La,"
"Ingat aku ya!"
"Di bunga ini ada nomorku, nanti calling-calling ya!"
Syahla dengan terpaksa menerima semua hadiah itu. Meski dia tidak suka, dia menerimanya untuk sekedar menghargai si pemberi.
"Ternyata Dek Syahla populer banget ya," goda Hafsa, kakak iparnya. "Banyak banget loh hadiahnya,"
Syahla tersenyum simpul. Gadis itu memang punya wajah yang cantik, serta tubuh yang tinggi semampai. Ditambah dengan kecerdasan otaknya, banyak santri putra yang diam-diam mengaguminya. Tapi Syahla tak pernah memikirkan hal itu, dia lebih senang membaca novel di pojok ruangan daripada menjalin hubungan dengan laki-laki. Menurutnya berpacaran sama saja dengan menambah masalah baru dalam hidupnya.
"Syahla!" Laksmi berlari menghampiri Syahla dan langsung memeluknya erat-erat. "Kita sebentar lagi akan berpisah.."
"Iya.. Kamu jaga kesehatan ya Mi.." Air mata Syahla merebak.
"Ehem!" Deheman seorang laki-laki membuat air mata mereka seketika menyusut. Syahla dan Laksmi sama-sama menoleh, terlihat Ustadz Amar berdiri di belakang mereka.
"Eh, Ustadz Amar ya?" Gus Sahil menyapa laki-laki itu, menjabat tangannya erat-erat. "Saya Sahil, kakaknya Syahla. Saya sudah sering dengar soal njenengan,"
"Suatu kehormatan dikenal oleh njenengan Gus," jawab Ustadz Amar sambil tersenyum lebar. "Kira-kira darimana njenengan mendengar soal saya?"
Gus Sahil melirik ke arah Syahla sebelum menjawab. "Syahla sering cerita kalau ada ustadz galak di—"
"Mas!" Syahla membungkam mulut sang kakak, mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
"Jangan jujur-jujur dong," Bisik Syahla. Kedua tangannya bekerja sama dengan baik. Karena tangan kanannya membungkam mulut sang kakak, dan tangan kiri mencubit pinggangnya. Gus Sahil hanya sanggup mengaduh menahan sakit.
"Ini," Ustadz Amar menyerahkan sebuah buku kwarto pada Syahla. "Saya sudah janji mau kembalikan buku kamu, jadi sekarang saya kembalikan."
"Ustadz telat," Meski sambil bersungut-sungut, Syahla tetap menerima buku itu. "Janjinya kan dua bulan sejak saya dihukum,"
"Tapi karena itu kamu bisa juara umum satu angkatan kan? Jadi seharusnya tidak ada masalah,"
Syahla berdecak sebal. Ustadz Amar selalu bisa menjawab perkataannya.
"Kok jadi lecek begini sih, Ustadz?" Syahla tampak membuka-buka halaman bukunya yang terlihat kusut. "Ini dipake buat bantal, ya?"
"Yah, begitulah," Ustadz Amar mengangkat bahu tak peduli. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Gus Sahil. "Njenengan bisa nginep di kamar saya Gus. Pasti capek sekali kalau langsung pulang hari ini,"
"Ah, kami menginap di rumah saudara Ustadz, mungkin besok pagi pulangnya. Sekalian mau membereskan barang-barang Syahla,"
Ustadz Amar melirik ke arah Syahla sebentar, kemudian tersenyum pada Gus Sahil. "Yasudah Gus, saya pamit undur diri. Mari Ning,"
"Mari Ustadz," Hafsa menganggukkan kepalanya. Sedangkan Syahla dan Laksmi tampak sibuk sendiri dengan hadiah-hadiah yang mereka terima.
"Eh, ada nomornya Zaky nih. Cepetan dicatat!" Laksmi buru-buru mengeluarkan handphonenya. Memang, karena orangtua mereka datang, mereka diperbolehkan memakai benda pintar itu khusus hari ini saja.
"Kamu saja yang catat deh. Aku malas," sahut Syahla yang malah fokus memakan salah satu cokelat hadiahnya.
"Nanti kalau Zaky suka sama aku jangan nyesel ya,"
"Ambil saja, ambil. Cuma Zaky saja direbutin,"
Laksmi mencibir. "Dasar nggak punya hati!"
Syahla tidak menjawab. Ia masih tetap cuek dan malah membuka bungkus cokelat keduanya.
...----------------...
"Dari mana Kang?" Sapa Ustadz Yasir yang melihat kedatangan Ustadz Amar.
Ustadz Amar hanya tersenyum. "Dari depan, lihat perpisahan,"
"Tumben," Ustadz Yasir mengerutkan kening. Selama ini, Ustadz Amar memang jarang sekali muncul di acara-acara seperti itu. Kalau ada keramaian, biasanya Ustadz Amar memilih untuk membaca buku di dalam kamar.
"Cuma lihat-lihat saja," jawab Ustadz Amar sambil lalu, kemudian ia menuju meja di pojok kamarnya dan mulai membuka laptop.
"Oh.." Ustadz Yasir tidak mau memperpanjang pertanyaannya lagi. Lagipula tidak terlalu penting juga. Ia beralih menuju rak kecil berisi buku dan kitab-kitab.
"Loh, buku tulisnya mana Kang?" Ustadz Yasir mencari-cari. "Kok sudah nggak ada?"
"Buku tulis apa?" Ustadz Amar menjawab dengan pandangan masih di depan laptop.
"Buku tulis yang ada ceritanya soal ustadz yang galak itu,"
Kali ini Ustadz Amar menoleh dan memandang Ustadz Yasir lekat-lekat. "Sampeyan baca buku itu?"
"Iya lah, masih seru-serunya. Meskipun ceritanya tentang cinta-cintaan remaja, tapi cukup menghibur kepala saya kalau sedang ruwet."
Ustadz Amar menghela napas. "Bukunya sudah dikembalikan,"
"Loh?" Raut wajah Ustadz Yasir terlihat kecewa. "Memangnya punya siapa?"
"Punya salah satu santri,"
"Memangnya itu bukan sampeyan yang nulis?"
Ustadz Amar memandang Ustadz Yasir dengan tatapan seolah berkata: 'serius kamu berpikir begitu?'. Ustadz Yasir yang mengerti arti tatapan Ustadz Amar menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya siapa tahu kan sampeyan punya bakat terpendam,"
Ustadz Amar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Daripada baca buku begituan, lebih baik baca ini,"
Ustadz Amar bangkit dan menyerahkan sebuah buku di tangan Ustadz Yasir. Ustadz Yasir mengerutkan kening, membaca judul buku tersebut: Ilmu Nahwu.
"Serius nih Kang?" Ustadz Yasir mengangkat buku itu. "Bukannya terhibur malah makin pusing!"
"Tapi kan lebih ada manfaatnya, lebih ada ilmunya."
Ustadz Yasir menghembuskan nafas, mencoba bersabar. Padahal dia sudah sering melihat Ustadz Amar membaca buku tulis itu setiap hari, sampai-sampai ia kira buku itu adalah surat dari pacarnya. Tapi sekarang dia bilang buku itu tidak ada manfaatnya?
"Munafik," celetuk Ustadz Yasir dengan nada agak keras, membuat Ustadz Amar menolehkan kepala dengan dahi berkerut.
Melihat tatapan tajam teman sekamarnya, Ustadz Yasir buru-buru berlari keluar kamar sebelum terjadi perang dunia ketiga.
Ustadz Amar menggeleng-gelengkan kepala melihat kepergian Ustadz Yasir. Diam-diam, ia melihat ke luar dan memastikan teman sekamarnya itu benar-benar sudah pergi. Setelah dirasa aman, Ustadz Amar menutup pintu dan membuka salah satu folder dalam laptopnya.
UG, begitu nama yang dicantumkan Ustadz Amar pada folder tersebut. Saat dibuka, tampak puluhan foto yang tersimpan di sana, foto yang ia ambil dari buku milik Syahla sebelum ia kembalikan. Sambil tersenyum miring, laki-laki itu mulai membaca kembali tulisan Syahla dari halaman pertama.
apalagi suaminya lebih tua