🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Untuk Siapa Senyuman Itu Gus?
Satu hari berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja, Hafsa sudah harus berangkat menuju Pondok Pesantren Darul Quran, Pondok Pesantren yang telah dibesarkan oleh Abah Yai Baharuddin, ayah Gus Sahil.
Sejak subuh, Umi Hana sudah kalang kabut menyiapkan segala sesuatu. Memberi perintah kepada para santri untuk melakukan berbagai hal.
"Ayo cepat, bawa itu kue-kue nya ke dalam mobil,"
"Eh, eh, Hati-hati. Nanti kuenya rusak,"
"Nduk, kamu sudah siap belum to?" Umi Hana membuka pintu kamar Hafsa yang sedari pagi belum terbuka.
"Sudah Mi," Hafsa tersenyum menyambut kedatangan Umi Hana yang datang tergopoh-gopoh, mematut wajahnya yang sudah selesai dirias. "Gimana? cantik to aku?"
"Masyallah, cantik sekali anak Umi," Umi Hana memberikan jempol pada mbak santri yang bertugas merias Hafsa. "Mbak Leila memang pinter kalo suruh dandanin,"
"Maturnuwun Mi," Mbak Leila, santri yang dimaksud tersenyum puas.
(maturnuwun: terimakasih)
"Yasudah, ayo segera turun. Sudah ditunggu sama Abah dan Gus Sahil,"
Hafsa mengangguk, berjalan dengan penuh ragu. Hatinya tiba-tiba terasa berat. Sebelum keluar dari kamar, ia pandangi dulu satu persatu perabot di dalam ruangan itu. Ah, bagaimana bisa ia meninggalkan kamar yang sudah dua puluh tahun ia tempati? Apa ia bisa betah tidur selain di tempat tidurnya sendiri nanti?
"Nduk.." Umi Hana rupanya menyadari perasaan putrinya. "Ndak usah sedih begitu. Toh kamu juga masih bisa pulang ke rumah to, masih bisa kembali lagi ke kamar ini," Umi Hana mencoba menghibur.
"Iya Mi, tapi rasanya beda. Rasanya ada yang hilang di sini," Hafsa menyentuh dadanya. "Apa semua pengantin yang pergi ke rumah mertua merasakan hal yang sama ya Mi?"
"Ya jelas lah," Umi Hana meraih kedua tangan putrinya. "Dengarkan Umi. Umi dulu juga begitu Nduk. Merasa berat harus meninggalkan rumah, meninggalkan suasana yang sudah bertahun-tahun dirasakan. Tapi lama kelamaan, Umi jadi terbiasa. Umi mulai dengan kesibukan-kesibukan baru, hobi baru. Umi juga punya Abah yang selalu menghibur Umi,"
Umi benar. Dia bisa mulai dengan hal-hal baru di sana. Sayangnya, di poin terakhir, Hafsa tidak akan punya kesempatan untuk itu. Dihibur Gus Sahil saat sedang rindu rumah? Bermimpi pun ia tidak berani. Lalu bagaimana ia bisa bertahan di sana seumur hidup?
"Semuanya akan baik-baik saja Nduk," Umi Hana mengeratkan pegangan tangannya. "Kalau ada masalah, kamu bisa tinggal pulang ke rumah. Ada Abah dan Umi yang selalu menunggumu,"
Perkataan Umi Hana seketika menghempaskan batu besar yang menindih hatinya. Ayolah Hafsa, jangan jadi lemah. Ada Abah dan Umi yang selalu ada di sisimu.
"Terimakasih karena sudah membesarkan Hafsa selama ini ya Mi,"
Hafsa memeluk sang ibunda erat-erat.
...----------------...
Perjalanan menuju pondok pesantren Darul Quran berjalan lancar. Tidak ada satu orang pun yang curiga jika Gus Sahil dan Hafsa tidak saling bicara. Tidak ada yang menyadari kalau Hafsa menjadi satu-satunya istri yang menangis di hari pertama pernikahannya. Tidak ada yang tahu kalau Gus Sahil tidak mencintainya.
Rombongan mereka segera berbelok menuju gang pesantren. Mabrur melambatkan laju kendaraan karena iring-iringan para santri yang membawa rebana sambil bersholawat ramai menyambut. Gus Sahil menurunkan kaca jendela mobil, tersenyum pada semua orang.
Hafsa yang berada di sisi lain juga melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan pada para santri putri yang memanggil namanya. Merasa bahagia karena disambut dengan sangat meriah.
Turun dari mobil, semua santri putri berebut bersalaman. Mencium tangan Hafsa. Astaga, ada pula yang sampai dorong-dorongan. Hafsa berusaha menyalami mereka semua, sembari mendoakan mereka di dalam hati.
"Barokalloh.. Barokallah.."
Berjalan di sampingnya, Gus Sahil juga melakukan hal yang sama. Sibuk menyalami santri putra. Mereka berdua kemudian dituntun menuju kursi pelaminan yang telah dipersiapkan.
Di daerah ini, ada adat pernikahan yang disebut ngunduh mantu. Ngunduh mantu sendiri berarti memetik atau mengambil menantu. Biasanya hal ini dilakukan oleh keluarga mempelai laki-laki yang mengambil menantu perempuan untuk tinggal bersama mereka.
Upacara adat ini juga berlangsung cukup lama, sama seperti pernikahan. Ada sambutan dari pihak keluarga mempelai wanita, lalu disusul sambutan dari keluarga mempelai laki-laki. Bedanya tidak ada akad nikah di acara tersebut. Biasanya acara dilanjutkan dengan pengajian dari seorang kyai yang sudah diundang oleh keluarga mempelai laki-laki.
Kali ini, kyai yang diundang adalah kyai kondang yang sudah sering mondar mandir di acara televisi. Maka wajar saja jika tamu undangan pada hari ini cukup membludak.
Gus Sahil yang semula duduk tenang di samping Hafsa tiba-tiba beranjak dari tempatnya. Seorang wanita paruh baya keluar dari arah ndalem dituntun oleh seorang santriwati, ikut duduk bersama mereka di atas panggung pelaminan.
"Umi.." Hafsa menyalami wanita tersebut dengan takzim. Wanita itu adalah Umi Zahra, ibu kandung Gus Sahil. Umi Zahra memang memiliki penyakit jantung yang membuat tubuhnya lemah. Tidak heran beliau sangat jarang keluar rumah, bahkan kemarin Umi Zahra tidak hadir di pernikahan mereka karena kondisi badannya yang tiba-tiba drop.
"Nduk Hafsa.." Umi Zahra memeluk menantunya erat-erat. Lanjut memeluk Umi Hana dan menyapa Abah Ali.
"Umi sehat kan Mi?" Hafsa duduk berjongkok, memastikan mertuanya itu tidak perlu mendongak untuk melihatnya.
"Alhamdulillah, Umi jadi semakin sehat kalau lihat kamu,"
"Umi di dalam saja ndak papa, nanti disini dingin," Gus Sahil membujuk. "Bawa Umi ke dalam saja mbak," perintah Gus Sahil pada santriwati yang sejak tadi mendampingi Umi Zahra.
"Nanti lah, Umi masih mau lihat kalian gandengan," Umi Zahra berseloroh. "Lagian kata dokter kondisi Umi juga udah tambah sehat. Iya to, Ha?" Umi Zahra bertanya pada santriwati di sampingnya, meminta dukungan.
"Njeh Gus, kata dokter begitu," santriwati tersebut menjawab dengan suara lembut.
"Yasudah, tapi nanti kalau sudah ndak kuat jangan dipaksa ya Mi,"
"Iya, iya, kamu itu cerewet sekali,"
Hafsa mengulum senyum. Meski masih terlihat lemas, rona wajah Umi Zahra terlihat bersemangat. Beliau pasti senang bisa berada di acara pernikahan putranya meski bukan acara yang utama.
Tapi, ada satu hal yang membuat Hafsa terpaksa menelan senyumannya sendiri. Di sampingnya, Gus Sahil tampak tersenyum sepanjang waktu, tapi sepertinya senyumnya tidak tertuju untuk acara ini, apalagi untuk dirinya.
Senyum Gus Sahil tertuju pada seorang wanita, santriwati yang sedari tadi duduk di samping Umi Zahra. Bahkan saat tadi Umi Zahra keluar dari ndalem bersamanya, raut wajah Gus Sahil tampak lebih cerah, sorot matanya bahkan terlihat berbinar.
Siapa sebenarnya santriwati itu? Hafsa akui, gadis itu sangat cantik. Perawakannya tinggi kurus, tapi bukan kurus yang cungkring, lebih ke ideal. Wajahnya lonjong, matanya besar dengan hidung mancung menghiasi wajahnya. Bibirnya juga tampak berwarna merah muda alami, karena sepertinya wajahnya tidak tersentuh make up sama sekali. Pakaiannya cukup sederhana, baju tunik berwarna biru muda yang dipadukan dengan rok hitam. Jilbab biru muda bermotif tulisan Arab tampak ayu ia pakai, membuatnya terlihat sederhana tapi juga mempesona.
Siapa wanita itu Gus? Hafsa kembali melirik suaminya, yang pada saat itu pula juga melirik santriwati itu.
Untuk siapa senyuman itu Gus? Apakah wanita itu yang mengunci hatimu? Yang membuat cintamu habis tak bersisa untukku?
Hafsa buru-buru memalingkan muka, mencoba pura-pura tidak terganggu. Menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh.
Jangan sampai Umi tahu. Jangan sampai Abah tahu. Jangan sampai semua orang tahu.
Untunglah, fokus semua orang kini tertuju pada ceramah sang kyai yang melontarkan kalimat-kalimat lucu.
Semua orang tertawa. Umi dan Abah tertawa. Gus Sahil tertawa. Hafsa juga tertawa, meski dalam hatinya ia tersayat berdarah-darah.